Akhir-akhir ini, dunia pers terus ditimpa dengan pelbagai ancaman kematian. Saat sebagian besar media massa menghadapi keterpurukan ekonomi di masa pandemi Covid-19, media sosial hadir menggerogoti pasar pembaca dan pengiklan. Ditambah lagi perilaku jurnalis yang menyimpang, membikin kualitas jurnalisme semakin terpuruk dan tergerus dari kepercayaan publik.
Seperti diberitakan cermat pada Rabu (13/7/2022) kemarin, pers kembali dilecehkan oleh oknum jurnalis yang memeras salah satu pemilik Panti Pijat di Ternate, Maluku Utara. Jurnalis itu meminta uang 15 juta, dengan ancaman jika tidak diberikan, dia akan memberitakan Panti Pijat tersebut sebagai tempat prostitusi agar ditutup.
Sebelumnya, sebagaimana pemberitaan Harian Halmahera (13/7/2022), kasus serupa juga terjadi di Halmahera Utara. Pada 20 Mei 2022, seorang oknum mengaku sebagai jurnalis dan memeras guru SD Alkhairaat I Tobelo sebesar 3 juta.
Perbuatan begitu bahkan sudah marak dilakukan di Indonesia. Jika kita mengetik “kasus wartawan peras narasumber” di mesin pencarian Google, kita akan menemukan pelbagai laku pemerasan sejurus di daerah, mulai dari peras pejabat, kepala sekolah hingga kepala desa.
Bila diamati, kasus pemerasan ini banyak dilakukan oleh jurnalis media “abal-abal”. Jurnalis yang lahir tanpa keterampilan mumpuni tapi memaksakan membikin media sendiri, lalu mengklaim diri sebagai pemimpin redaksi. Media seperti ini biasanya hadir dalam momentum politik atau sekadar untuk membangun relasi agar mendapatkan proyek dan uang.
Mirisnya, mereka juga merekrut orang lain untuk menjadi jurnalis tanpa melalui pendidikan dan pelatihan. Jadinya, dalam kerja-kerja peliputan, mereka tak tahu etika profesi. Apalagi, jurnalis yang bersangkutan tidak digaji, mereka tentu harus putar otak sendiri untuk mendapatkan cuan. Karena itulah, kasus pemerasan seperti istilah wartawan bodrex dan wartawan amplop tak bisa terhindarkan.
Jurnalis tipe ini, hanya bermodalkan id card, sudah merasa punya kewenangan karena dilindungi oleh Undang-undang Pers dalam menjalankan tugas peliputan. Namun, karena salah memahami, dia tak tahu batasnya dalam mengakses informasi, sehingga cenderung merasa punya kekuasaan untuk melakukan pemaksaan narasumber.
Padahal, karena dilindungi dengan regulasi itulah, membuat jurnalis memiliki tanggung jawab besar dalam pengabdian pada publik. Jurnalis harus mendidik publik dengan terus menyajikan informasi yang menarik dan benar. Jika publik jenuh dengan pelbagai macam hiruk-pikuk problem sosial-politik, jurnalis memiliki kewajiban membangun optimisme sembari menghibur publik.
Tugas dan tanggung jawab itu yang membuat pers tercatat memiliki peran besar dalam pembangunan di Indonesia. Selain sebagai pilar demokrasi yang berperan penting dalam mengontrol kekuasaan, pers menjadi alat kemerdekaan saat Indonesia merangkak tumbuh.
Peran tersebut membuktikan bahwa kerja-kerja jurnalisme tak gampang dilakoni. Karena bukan sekadar memikirkan berapa cuan yang harus didapat dari profesi ini, melainkan seberapa tinggi kualitas informasi yang disajikan untuk publik.
Di zaman lampau, kerja-kerja ini lebih banyak dilakoni para intelektual publik yang saat ini pemikiran dan karya-karyanya mewarnai pembangunan negerinya. Di Indonesia, tak sedikit para pendiri bangsa yang terlibat dalam kerja-kerja jurnalisme.
Itu mengapa, Muhidin M. Dahlan dalam esainya, “Tidak Ada Jurnalis di Revolusi Agustus”, menyebut hari proklamasi di bulan Agustus adalah momentum kemenangan kaum jurnalis. Sebab, jurnalis berlaga di medan penyadaran untuk mendongkol kolonialisme yang kemudian membuahkan kemerdekaan.
Memang, karena pelopor utama kemerdekaan itu, Soekarno dan Mohammad Hatta adalah juga jurnalis. Di sidik jari Soekarno, terdapat sejumlah nama media di mana ia duduk sebagai pendiri dan sekaligus hoofdredacteur, seperti Soeloeh Indonesia Merdeka, Fikiran Ra’jat, Persatuan Indonesia, dan Suluh Indonesia. Sementara Hatta, adalah pemikir ekonomi yang menahkodai dua majalah sekaligus: Indonesia Merdeka dan Daulat Ra’jat.
Bahkan, saat pembentukan Badan Persiapan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang menjadi peristiwa penting sejarah ide dan perdebatan melahirkan Indonesia pada 29 Mei 1945, kaum jurnalis turut berlaga di sana.
Dari 79 sosok yang menggodok ide negara baru, termasuk asas negara, terdapat 21 orang jurnalis. Selain Soekarno dan Hatta, dua nama di antaranya A.R. Baswedan yang pada 1934 menjadi pemimpin redaksi majalah Sadar dan Ki Hajar Dewantara, seorang jurnalis kawakan dengan menaungi banyak koran/majalah, antara lain De Expres, De Beweging, Persatoen Hindia, Hindia Poetra, Pemimpin, dan Soeara Taman Siswa. Termasuk Haji Agus Salim, seorang politikus dan diplomat ulung yang pernah menjadi jurnalis Neratja, Bataviaasch Niewsblad, Hindia Baroe, Fadjar Asia, dan Moestika (Jawa Pos, 23 Agustus 2020).
Di era Orde Baru, kita kenal jurnalis kondang yang tak kalah besar dalam memberi sumbangsi untuk Indonesia. Sebut saja Mochtar Lubis, Pemimpin Redaksi Indonesia Raya sekaligus sastrawan dan budayawan penerima nobel Magsaysay; Rosihan Anwar, seorang sejarawan yang pernah menggerakkan Pedoman; P.K. Ojong dan Jakob Oetama, pendiri Kompas sekaligus penerbit KPG dan Bentara Budaya. Ada juga nama Goenawan Mohamad, pendiri Tempo yang saat ini masih hidup dengan karya-karyanya.
Melihat jalan karir para tokoh pers itu, nampaknya tak mudah menjadi jurnalis. Mereka harus memiliki kemampuan kognitif dan keterampilan yang mumpuni. Seperti dirasakan Hanna Rambe (1992), seorang sastrawan kondang dan mantan jurnalis. Saat masih di bangku SD, lewat sehelai surat, ia pernah menyampaikan keinginannya untuk menjadi jurnalis di Indonesia Raya. Oleh Mas Kluyur, seorang redaktur di media itu, memintanya untuk belajar salah satu bahasa asing hingga mahir, misalnya Bahasa Inggris. Bahkan, kata Kluyur, lebih baik lagi jika ditambah bahasa lain seperti Bahasa Belanda dan Jerman. Bermodal itulah, kelak ia bisa lulus diterima sebagai jurnalis Indonesia Raya melalui seleksi yang ketat.
Setelah itu, media-media konvensional tumbuh dengan pakem perekrutan jurnalis yang selektif. Ada kualifikasi tertentu yang menjadi standar untuk menjadi calon jurnalis. Media cetak, misalnya, calon jurnalis harus bisa menulis dengan baik, bahkan termasuk menguasai bahasa internasional bagi media tertentu. Dapat pula mengoperasikan mesin ketik (komputer) dan menggunakan kamera. Kemudian, berbulan-bulan bahkan tahun, mereka masih akan digodok melalui training hingga magang, sebelum diterima sebagai karyawan tetap.
Namun kini, tak sedikit media yang menghilangkan kualifikasi tersebut. Jurnalis tidak diberikan syarat yang ketat dan pendidikan yang layak. Cukup dengan keinginan, seseorang bisa keluar masuk media dan melakukan kerja-kerja jurnalisme. Karena itu, tak jarang produk dan perilaku jurnalis tipe ini melenceng jauh dari hakikat jurnalisme.
Padahal, saking mulianya kerja-kerja media massa, di kalangan muslim, peran jurnalis sering diidentikan dengan menjalankan kerja-kerja kenabian dalam mendakwahkan kebenaran. Mantan Pemimpin Redaksi Indonesia Raya, Atmakusumah Astraatmadja, ketika diwawancara Janet Steele (2018), menyebut tujuan jurnalisme adalah untuk mendapat keadilan, kebajikan dan kemajuan. Untuk mencapai itu, mereka menyebut Indonesia Raya sebagai koran jihad.
Dalam hal etika jurnalis, kata Fathi Aris Omar, jurnalis Malaysiakini, seratus persen hampir sama dengan tujuan agama, yakni mencari keadilan, kemakmuran, dan berjuang melawan korupsi.
Bahkan, selain menyampaikan kebenaran pada orang lain, sebagaimana prinsip dasar jurnalisme, keadilan dalam Islam kerap dihubungkan dengan keberimbangan (cover both side) dalam jurnalisme. Termasuk isnad (memeriksa rantai penyebaran) ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad, persis dengan verifikasi dalam jurnalisme.
Atau seperti perintah Al-Hujurat (ayat 6), “… Jika seorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu”.
Begitu mulianya kerja-kerja jurnalisme. Sayang, hanya karena kepentingan membangun relasi untuk mendapatkan cuan, profesi ini dinodai lalu membiarkan masyarakat buta dan penguasa merajalela mengeksploitasi kedaulatannya. []
—
Ghalim Umabaihi, redaktur cermat partner kumparan dan penulis buku Jurnalisme yang Tergadai