Mitos, Sains, dan Momen Hierofani

Tolire Besar dengan latar Pulau Hiri, di Kota Ternate, Maluku Utara. Terbentuk menjadi danau kawah yang memiliki luas sebesar 500 x 700 meter. Foto: Faris Bobero/cermat

Oleh: Wawan Ilyas

Sekretaris Yayasan Pustaka Pangaji Kie Raha 

Saya menyampaikan belasungkawa mendalam atas peristiwa naas, yang mencirikan kandungan natural, dan relasi dunia mistis/mitologi di Danau Tolire. Seraya bersyukur kepada sang Pencipta dan berterima kasih kepada pihak yang terlibat, mengevakuasi jasad korban dalam situasi dan di medan yang begitu sulit.

Kepada keluarga korban, kepada 5 orang pemuda bernyali di Takome dan TIM SAR Gabungan dalam kepedulian kemanusiaan secara kolektif. Peristiwa sekian waktu lalu itu memberi kesan dan pesan begitu dalam, tentang keberpihakan kita atas penghayatan kebudayaan di negeri para momole, Kota Ternate.

Andai tidak dilakukan “ritual adat” dan “siloa se himo-himo” oleh warga setempat, kita mungkin tidak menemukan jasad korban di Tolire. Ritual dan siloloa menjadi wujud penghayatan sosial-budaya yang terwarisi dari generasi ke generasi, berdasarkan mitos kemunculan danau dan kodifikasi budaya lokal.

Kita juga harus menerima fakta ilmiah, penelitian Pusat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menemukan Danau Tolire terbentuk bukan melalui cerita dalam mitologi Gam Jaha, melainkan akibat aktivitas vulkanik Gamalama 247 tahun lalu (TribunTernate.com, 2022), dan spesies yang hidup di dalam danau murni kekayaan biologi.

Kita butuh penerimaan dua perkara tersebut. Pertanyaannya, bagaimana bentuk penerimaan kita menjadi “keberpihakan” yang utuh, murni dan khas sebagai perwujudan luhur narasi peradaban lokal? Tulisan ini berkepentingan besar mengenai keberpihakan tersebut.

Mitos dan Sains

Adalah mitos dan sains. Dua keseimbangan ini, fakta duniawi yang mendialektikakan peradaban tiap suku bangsa di sepanjang sejarah. Pandangan pertama atau istilah keren sebagai “Sains”, adalah model pembuktian “kebenaran” yang didasarkan pada prinsip observasi, verifikasi, falsifikasi, uji laboratorium, uji hipotesis, atau lainnya, dengan kekuatan daya nalar dan sistem kerja indra manusia secara objektif.

Kebenaran satu peristiwa tidak dapat diterima secara “taken for granted,” tanpa proses uji validitas terlebih dahulu secara empirik-objektif menggunakan teropong saintifik. Meski Sains mulai berkembang sekitar 500 tahun lalu, tetapi kampanye dan perdebatan seputar sains dan ilmu pengetahuan lebih massif pada abad ke-20. Karl Popper salah satu intelektual terkemuka, melalui buku “The Logic of Scientific Discovery” (britannica.com, 2022).

Popper menguji prinsip penemuan ilmiah dengan logika falsification (falsifikasi/penyangkalan), bahwa suatu metode ilmiah boleh diterima, apabila objek/kasus/ruang lingkup yang dikaji membuka ruang bagi proses “penyangkalan” secara ilmiah juga bagi penemuan lain. Suatu temuan tidak harus diterjemahkan sebagai satu-satunya kebenaran yang hakiki.

Pembuktian melalui penyangkalan harus ada dalam seluruh logika ilmu, agar ilmu pengetahuan terus berkembang dan menerima paradigma yang lain. Pada umumnya, perdebatan Sains berupaya mendepak masyarakat dari kepercayaan atas “roh halus”, “buaya putih penjaga danau”, pohon yang “bertuan”, takhayul, “paranormal”, atau “pawang buaya”, yang semua kerja sesajenan tak terjangkau oleh indra dan rasio manusia

Sementara, mitologi, “memistifikasi objek,” adalah cara menerangkan dunia yang tak terjangkau indra. Berlawanan dengan sains, yang butuh pembuktian empiris. Tetapi ketakterjangkauan indra dalam mitos bukan berarti meniadakan “dimensi material.” Artinya, mitos selalu dibangun dari kondisi objektif sejarah dan pemaknaan tertentu. Tak ada cerita rakyat yang tak punya alasan kontekstual kebudayaan.

Baca Juga:  Tes Kesehatan Cagub Sherly Tjoanda Bermasalah? Ini Penjelasan KPU Malut

Tak perlu uji hipotesis, verifikasi, falsifikasi dan lain sebagainya seperti yang disyaratkan sains. Mitos diciptakan untuk “dihayati”, “dipercaya”. Bukan diuji atau dibuktikan kebenarannya melalui metode empiris-objektif. Pemahaman ini menandakan ciri masyarakat bersejarah dan berperadaban selama berabad-abad di pelbagai penjuru dunia. Sains bersifat universal, sedangkan mitos bersifat lokal, unik dan kaya kultural.

Persoalannya, mitologi tidak dianggap prosedur ilmiah. Ilmiah artinya dapat dilihat, didengar, dihitung, direduksi, ditentukan ukuran dan waktu kontemporer. Ilmiah berarti rasional, dapat dijamah akal, dan karenanya semua diluar dunia empiris adalah irasional.

Sains menolak bahwa mistifikasi Danau Tolire adalah bagian terpenting dari proses penemuan jasad korban terkaman buaya, yang dilakukan melalui ritual adat tetuah setempat. Berkat siloloa kepada “penjaga” Danau dan ritual adat, beberapa saat kemudian kita mengetahui posisi jasad mengapung/muncul ke permukaan air, dimana reptil pemangsa buas selalu berada di dekat korban, dan akhirnya sehari kemudian mengantarkan jasad itu ke tepian.

Secara metodis, Sains biologis menanggapi kemunculan ini merupakan akibat perilaku normal dari jenis hewan buas/liar bermulut panjang itu. Menurut telaah Amir Hamidy, Kepala Laboratorium Herpitologi Puslit Biologi LIPI, itu kebutulan saja karena biasanya buaya secara alamiah tidak bisa menelan mangsanya dalam ukuran besar/utuh, dan hewan ini biasanya menyimpan selama beberapa hari sisa potongan makanan di daratan hingga membusuk, baru memangsanya lagi secara bertahap (detikcom, 2017).

Tidak ada hubungan dengan “permintaan” pawang atau hasil ritual. Itulah mengapa, dalam kasus Tolire, spesies purba yang satu ini menunjukkan insting “amfibi” dengan mendorong/membawa korban (makanannya) ke tepian/daratan supaya memudahkan aktivitas biologisnya.

Kita menerima penjelasan ilmiah atas perilaku buaya seperti itu. Tetapi yang belum terjawab oleh Sains hingga sekarang adalah, dari mana evolusi buaya sejak tahun 1775 ketika terjadi erupsi freato-magmatik Gamalama yang mengakibatkan kemunculan Maar (danau) Tolire sebagai habitatnya saat ini? Sejak kapan reptil berdarah dingin ini mulai berkembang biak di Danau tersebut?

Jawaban pertanyaan ini tidak cukup rasional jika dikemukakan argumen universal, bahwa buaya termasuk hewan purba (selain Dinosaurus), jenis karnivora (pemakan daging) yang mampu bertahan dari serangan asteroid menghancurkan bumi ribuan tahun lalu hingga kini. Jawaban semacam itu tidak mencerminkan sifat sains untuk kasus buaya Danau Tolire.

Di posisi inilah, dua pertanyaan di atas memungkinkan kita percaya kalau mistifikasi Danau Tolire dapat dibenarkan secara eksistensial. Pada konteks ini, tindakan siloloa dan ritual adat bermakna filosofis dalam kerangka menguraikan relasi ekuilibrium manusia dengan alam secara kultural. Bahwa ada relasi “non ilmiah” yang patut dihayati sebagai unsur kehidupan di kawasan Tolire.

Baca Juga:  Legalitas Eksekusi dengan Petikan Putusan

Apalagi bukti Geologi menerangkan belum ada temuan untuk semua Maar di seluruh Indonesia yang dihuni buaya (TribunTernate.com, 2022). Sains mengakui, jarang sekali terdapat buaya dalam Maar, karena spesies ini cenderung hidup pada dua transisi muara yang ada sirkulasi airnya.

Penjelasan ini dapat dipahami, bahwa Maar Tolire memberi fakta berbeda dari temuan geologi itu. Karena Danau Tolire tidak memiliki dua transisi muara, tetapi terdapat kehidupan buaya di dalamnya. Selama Sains belum membuktikan, menjelaskan fakta alam (biologis) berdasarkan kandungan natural di Tolire, maka sains butuh dicurigai, bermasalah dalam logika internalnya sendiri. Logika falsifikasi Karl Popper dapat digunakan dalam rangka ini.

Tolire, Mitos dan Momen Hierofani

Bangsa bersejarah seperti orang-orang Yunani kuno memiliki pasokan ilmu pengetahuan di pelbagai bidang. Ketika berbicara pengetahuan dan kebijaksanaan, dunia senantiasa merujuk sejarah filsafat Yunani. Negeri itu kaya mitologi, cerita para dewa, sebagai fondasi dasar membangun filosofi peradaban bangsa.

Imajinasi tentang kemajuan politik, negara dan budaya dibangun lewat mitos-mitos, bukan sains. Sangat tidak mungkin jika kita mengabaikan mitologi dalam melacak akar kultural dan dinamika peradaban di Eropa.

Pentingnya memahami mitos karena berhubungan dengan cara manusia menafsirkan agama, kebaikan, keburukan, dimensi supranatural, gejala alam, struktur geografis, perkembangan sejarah dan sebagainya. Dalam tulisannya Mircea Eliade, Mitos Gerak Kembali Yang Abadi, Kosmos dan Sejarah (2002), ia menawarkan pemahaman terkait kedudukan homo religiosus, membagi dunia manusia terdiri dari tiga tingkat.

Pertama, dunia sebagaimana kita tinggal, terbatas dan kasat mata. Kedua, dunia atas, yaitu dunia yang ilahiah, dunia para dewa, dunia para nenek moyang dan sebagainya. Ketiga, dunia bawah, yaitu dunia yang benar-benar tak dikenal, tak terjamah. Menurut homo religiosus, ketiga dunia ini tak terpisahkan, berelasi satu sama lain melalui satu keterhubungan yang disebut poros dunia (axis mandi).

Dunia paling tinggi atau yang hakiki dalam tingkatan ini adalah “dunia atas.” Dimana seluruh gerak kosmik menuju pada level pencapaian ke arah tersebut. Konstruksi sosial-sejarah mitologi pada takaran tertingggi mengarahkan manusia pada kemampuan menyadari relasi “non-ilmiah”, dengan model konsep eskatologi pada masing-masing cerita masyarakat.

Secara praktik, Mircea Eliade menyebut perilaku menghayati dunia atas (Yang Suci) oleh homo religiosus ini melalui momen hierofani. “Peristiwa hierofani adalah peristiwa penampakan Yang Suci kepada manusia. Kapan saja, lewat apa saja, dan dimana saja” (Pamungkas, 2016).

Hierofani memuat syarat kebendaan dimana “Yang Suci” memanifestasikan dirinya melalui suatu tempat, suatu benda, atau objek tertentu. Dalam makna ini, Yang Suci hadir tidak secara absolut, melainkan mewujud dan terbatas melalui alam, atau makhluk yang menjadi media kehadirannya.

Sejauh cara penampakkan itu bernuansa “kekuatan,” maka media hierofani disebut kratofani. Maka, setiap benda, tempat, makhluk atau objek yang menjadi media kratofani menimbulkan rasa menakutkan (Pamungkas, 2016). Pada skala ruang fenomenologis, benda, makhluk atau tempat kratofani dikemas dalam pelarangan budaya tidak didekati, dihubungi, atau karena berbahaya, oleh karena itu seringkali “dikeramatkan.” Di sana adalah penampakan Yang Suci. Mitos menjelaskan hubungan ini dengan metode yang lain sama sekali.

Baca Juga:  Kunjungi Dinas Kearsipan, Guru Besar UI: Banyak Peristiwa Besar Terjadi di Ternate

Dapatkah dipahami mitos Tolire Gam Jaha adalah “bukti” dari kehendak “dunia atas”? dan prosesi ritual dan siloloa sebagai pengalaman yang mengantarkan pada peristiwa hierofani? Ini tentang imajinasi. Suatu upaya untuk mencapai hubungan Yang Suci.

Danau Tolire dan buaya berkepala putih yang “dikeramatkan” menjadi media kratofani, karena diceritakan mengandung nilai, atau unsur mistikal yang dapat menakutkan. Penerimaan masyarakat masa kini tentang “murka” sehingga satu kampung ditenggelamkan justru merupakan kodifikasi mitologi, bahwa unsur supranatural jauh lebih besar menentukan ketiga dunia kehidupan manusia.

Terkaman buaya di Tolire dan ritus budaya setempat mencari jasad korban, adalah peristiwa yang mensyaratkan hubungan ini; hierofani, kratofani, axis mandi. Upaya menafsirkan Yang Suci. Suatu pelajaran yang nyata. Inilah kekuatan terbesar dari suatu mitos, adalah “nilai” yang butuh dihayati.

Tak ada metode sains mengiyakan peristiwa hierofani di Tolire, karena semua unsur harus diuji. Tetapi sains dan mitos sama-sama merupakan produk pikiran. Secar kognitif, saya menyebut mitos dan sains sebagai keseimbangan imajiner. Mitos harus dipersepsi lewat indra, sementara sains membuktikan lewat indra.

Bagi saintis kognitif, Donald Hoffman dalam buku The Case Against Reality: Why Evolution Hid The Truth From Our Eyes (2019), manusia modern masih percaya mitos karena sains dan mitologi adalah upaya menjelaskan cerita yang sama melalui narasi yang berbeda (Luwarso, 2022). Kedua-duanya diterima sebagai “kejeniusan.” Penyingkapan misteri alam Tolire selebihnya mensyaratkan pada persepsi otak dan perasaan manusia.

Bertubi-tubi otak kita digempur oleh informasi yang tak beraturan lewat indra, dari hasil penelitian yang berbeda-beda hingga kemiripan cerita rakyat dan pelbagi ritus-ritus budaya lokal di daerah. Dalam ketidakteratruran itulah kita membutuhkan tugas Sains dan mitos untuk memberi “keteraturan” hidup melalui sudut pandang masing-masing. Menurut Mircea Eliade, mitos selalu berhubungan dengan sesuatu yang “kudus”.

Saya menaruh “keberpihakan” pada keharusan mendemonstrasi mitologi secara kultural, tanpa harus meninggalkan sains. Keberpihakan yang mistikal ini bagian penting penghayatan lokal-eksoterik terhadap nilai keagamaan. Kita butuh memahami momen hierofani.

Dalam tulisan “Neo-Sufisme,” Nurkholis Madjid mendedah sebagai agama yang lengkap dan utuh, Islam memberi ruang penghayatakan esoterik maupun eksoterik. Penghayatan eksoterik dapat dihidupi melalui kepercayaan terhadap mitos dan nilai-nilai budaya, yang artinya memberi keleluasaan agama untuk secara kontinuitas berkembang secara kultural.

Peristiwa terkaman buaya di Tolire sudah seharusnya “didesain,” “di-framing,” “dikonstruksi,” sebagai langkah, khususnya kepada generasi muda untuk belajar betapa pentingnya mitologi sebagai bangunan peradaban kita.

Wallahu’allam