Oleh: Budhy Nurgianto
Jurnalis I Anggota AJI Ternate
Satu waktu pada pertengah Januari 1979, Edward Koch, Wali Kota New York City duduk santai menatap Kota New York dari sisi ruangan kerja di lantai tertinggi di kantornya. Ditemani seorang kawan karibnya yang seorang ekonom, Edward membahas sebuah rencana jangka panjang membangun New York menjadi kota maju dan modern. Ia bertekad ingin menjadikan New York sebagai pusat ekonomi dunia dan mengeluarkannya dari krisis ekonomi secepat mungkin.
Sejak pertengahan 1970-an, Kota New York mengalami kesulitan fiskal parah. Bisnis dan sektor ekonomi yang menjadi penopang ekonomi kota ambruk. Usaha-usaha kecil gulung tikar. Banyak orang-orang kelas menengah atas berbondong-bondong memilih pindah di luar kota, bangunan banyak kosong karena ditinggalkan pemilik, lingkungan makin kotor. Orang miskin dan pengangguran meningkat, dan kemerosotan ekonomi tak henti-hentinya. Kota New York runtuh dan bangkrut.
Edward lalu melakukan sebuah gerakan “radikal” yang oleh banyak pakar ekonomi disebut sebagai “crazy city-building movement”.
Edward membangun tatanan politik baru di Kota New York. Mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. Memberikan subsidi atau bantuan modal untuk bisnis warga, terutama sektor keuangan, asuransi, dan real estat, dan melakukan memprivatisasi ruang publik.
Ia juga memanfaatkan kekuatan ekonomi dari ribuan bangunan yang terbengkalai dan sebidang tanah kosong. Edward lalu menciptakan program perumahan terjangkau yang dalam sejarah Kota New York adalah yang terbesar. Menginvestasikan $5,1 miliar untuk membangun 150 ribu rumah. Menghidupkan kembali daerah-daerah terpencil di Bronx Selatan, Harlem, dan Brooklyn tengah. Membangun jalur transportasi publik terintegrasi dengan wilayah-wilayah ekonomi baru. Melakukan transformasi Times Square yang sebelumnya terbengkalai menjadi pusat perbelanjaan paling modern.
Edwar dengan keberanian membangun kota. Mengandalkan perencanaan kota jangka panjang yang matang. Mengumpulkan pikiran-pikiran dari ilmuwan, media dan praktisi, dan mendengar kritikan Publik. Hasilnya, New York adalah Kota dunia dan menjadi pusat ekonomi dan keuangan. Kekuatan dan stabilitas ekonomi Amerika Serikat. Pusat jaringan perdagangan global. Menjadi tempat menaruh harapan dan mimpi banyak warga dunia terhadap kemakmuran, pendidikan dan kesehatan berkualitas. Penduduk dunia mulai berbondong-bondong untuk hidup di New York.
Cerita tentang keberanian dan langkah radikal si Edward dalam membangun kota New York, mengingatkan saya pada Kota Ternate, sebuah Kota kecil yang kaya akan rempah-rempahnya. Saya memimpikan seorang Wali kota yang memiliki keberanian besar membangun Ternate dengan langkah berbeda seperti keberanian Edward. Dapat mengubah Kota Ternate menjadi modern dan maju dengan banyak modal sosial. Menata pendidikan berkualitas, kesehatan murah dan memberikan ruang publik yang luas. Dapat mengintegrasikan transportasi publik, serta mendorong ekonomi baru.
Saya mendambakan ada seorang Wali Kota yang mampu mengurangi kesenjangan wilayah dengan gerakan kilat. Bekerja dengan mengurangi kata-kata. Bisa mengikrarkan diri bahwa badan, pikiran dan hidupnya sebagai pembantu masyarakat dan siap mengemban amanat untuk kepentingan masyarakat.
Meski saya tahu, secara kontekstual, membangun Ternate tidaklah mudah. Ada banyak masalah kompleks yang perlu diselesaikan secara serius, seperti misalnya ancaman krisis air bersih, lingkungan yang kotor, rendahnya ketersediaan ruang publik, urbanisasi warga luar kota, ekonomi mahal, jalur transportasi dan kesenjangan pembangunan antar wilayah, serta tingginya ancaman bencana hingga mentalitas birokrasi yang masih mengagungkan semangat “puja-puji”.
Membangun Ternate juga tidak hanya sekadar menambah jumlah bangunan, menyambung jembatan dan mempercantik jalan, ataupun mengubah warna jalan dan berpose tentang kemajuan di sosial media.
Saat ini yang diperlukan dalam membangun Ternate adalah bagaimana menyelesaikan hambatan-hambatan tersebut atau minimal memanusiakan Kota dengan nilai daya saing tinggi. Tentu dengan konsep perencanaan yang matang, penuh gagasan, dan diisi dengan semangat kolaborasi.
Seorang Wali Kota harus mampu menjadikan Kota Ternate sebagai tonggak utama peradaban yang penuh dialektika publik. Bisa menginisiasi kolaborasi multi pihak, merangkum pikiran-pikiran kaum intelektual, praktisi, media dan anak muda untuk sebuah konsep perencanaan pembangunan, dan menggagas sebuah perencanaan berbasis pengetahuan dan aspirasi publik.
Keberanian membangun dengan langkah “radikal” adalah modal besar dan itu diperlukan Wali Kota. Apalagi secara kultural, Kota kecil dengan sejuta sejarah ini memiliki nilai yang dapat digunakan sebagai kekuatan menggagas kota yang maju dan modern. Ada ruang kebebasan dan kreativitas nyata yang bisa digunakan pengambil kebijakan dan warga kota membangun Kota.
Tetapi toh, semua itu pada akhirnya tergantung pada kita, bermimpi mendapatkan Wali Kota yang memiliki keberanian seperti seperti Edward akan menjadi nyata jika ada pula keberanian pada warga kotanya.
Apakah kita akan bisa mewujudkan itu atau memilih jalan berbeda, jinak pada janji kekuasaan, semua terserah pada kita. Bagi saya, untuk pertama kalinya dan sekian lama memimpikan wali kota yang berani, akan tampak seperti harapan, dan itu terus berlanjut setiap lima tahunan. (***)