Pagi itu sinar mentari memancarkan kehangatan. Waktu menunjukkan pukul 08.00 WIT, saya menyisir jalan Desa Kusu, Sofifi, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara. Tepat di depan gereja Masehi Injili, saya menyetop sepeda motor. Di seberang jalan dari posisi saya berdiri, sebuah gerobak kayu yang dicat warna mencolok: merah dan hijau, telah terparkir di depan rumah salah satu warga.
Saya menyambangi gerobak berukuran 1×1,5 meter itu, yang ternyata milik Anisa Bobol, penjual ikan keliling. Setelah mengamati gerobak tersebut, saya mengunjungi rumah Ci Anton (sapaan akrab Anisa Bobol) untuk menggali informasi perihal profesinya. Di teras rumahnya, tampak dua box berwarna hitam dan abu-abu. Box-box itu tampaknya sebagai menampung ikan untuk dijual.
Saat berada di beranda rumahnya, saya memberi salam beberapa kali, tapi tak seorang pun yang menyahut. Mungkin sedang berada di dapur sehingga tak mendengar suara saya. Setelah berulang kali memberi salam, terdengar suara seorang lelaki menyahut dari dalam rumah seraya menghampiri saya. Lelaki yang berusia 52 tahun itu memiliki tubuh atletis. Wajahnya penuh antusias menyambut saya. Nama lelaki itu Ahmad Manumpil, yang tidak lain adalah suami Ci Anton. Ahmad lalu bergegas ke dapur untuk memanggil istrinya untuk menemui saya.
Sepasang suami istri itu menyambut saya dengan hangat. Sikap yang ramah tampak mengental di diri mereka. Mereka kemudian mempersilahkan saya duduk di sofa di ruang tamu. Kami mengawali obrolan ringan, dari pengenalan hingga mengulik lebih dalam perihal profesi Ci Anton sebagai penjual ikan keliling.
Tantangan Penjual Ikan
Perempuan 47 tahun ini mulai melakoni pedagang ikan sejak 1993, saat masih remaja (15 tahun), dan duduk di bangku kelas 2 SMP. Karena kondisi kedua orangtuanya yang kian menua dan tak lagi kuat mencari nafkah, Ci Anton memutuskan meninggalkan sekolah. Ia memilih bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Dari situ, ia mesti pontang-panting mengais rezeki hingga ikut menjala ikan dengan pajeko.
“Semula saya belum berjualan menggunakan gerobak. Dengan modal nekat saya ikut orang basoma (menjala) ikan di laut dengan pajeko di perairan Kusu. Hasil tangkapan ikan dijual ke Kota Ternate,” kenang Ci Anton saat ditemui, Selasa (14/3/2023).
Sebelum krisis moneter melanda pada tahun 90-an, semua barang-barang terbilang murah, termasuk ikan. Ikan waktu itu satu kilo hanya seharga Rp 600 ribu. Dan ia bisa meraup untung Rp 50 ribu dalam seminggu. Saat itu, Rp 50 ribu sangat bernilai. Kendati begitu, pendapatan dalam seminggu tidak menetap. Saat cuaca di laut tak bersahabat, hasil tangkapan hanya cukup untuk dibawa ke rumah. Dan selama empat tahun ia melakukan pekerjaan ini.
Tak hanya mendapat untung dari sisi ekonomi, menjalani profesi pedagang ikan membawa Ci Anton bertemu Ahmad Manumpil, lelaki asal Manado yang kelak menjadi suaminya. “Torang (kami) bakudapa hingga beradu kasih sampai di pelaminan. Kami menikah pada tahun 1997,” ujar Ahmad, yang mencoba membuat kami terkekeh dengan nostalgianya.
Karena mempunyai latar belakang mata pencaharian yang sama, mereka bersepakat melakoni bisnis ikan secara bersama. Ci Anton bersama sang suami mengarungi lautan Halmahera menggunakan katinting (perahu) menuju Pulau Bacan. Sekitar 13 jam mereka habiskan di tengah lautan, dan 3 hari di daratan Bacan. Tujuannya, menunggu kedatangan kapal penampung ikan agar bisa menjual ikan hasil tangkapan mereka. Lalu dibawa ke Ternate. Sisanya dijual kembali ke pelanggan tetap mereka. Ci Anton mengaku, dari situlah mereka meraup sedikit rupiah untuk menyambung hidup.
“Sayangnya, hanya satu kami melakukan rutinitas seperti itu. Karena saat itu kerusuhan, tepat pada 1999. Sebab itu, torang sempat tra bajual ikan lagi ,” kata Ci Anton. Di saat genting seperti itu, mereka bertolak ke Manado untuk mengamankan diri selama tiga tahun. Setelah kerusuhan mulai mereda pada tahun 2022, baru mereka kembali ke Sofifi dan mulai melakoni bisnis ikan lagi.
Terima Sertifikat Penghargaan
Sejak 2002, Ci Anton dan suami menjual ikan dengan sepeda motor dan gerobak. “Paitua (suami) berjual ikan deng motor dari Kusu sampai Kaiyasa. Sementara, saya jula ikan pakai gerobak hanya sampe di Garoju (desa tetangga),” tutur Ci Anton.
Ahmad memilih menggunakan motor agar bisa menjangkau pelanggan diberbagai kampung. Sedangkan Ci Anton mendorong gerobak, karena sudah punya banyak langganan di Desa Garojou. Kegigihan sepasang suami istri itu, bukan tanpa sebab, melainkan ada harapan besar yang bikin mereka tetap jualan. Ada anak-anak yang mesti menggapai mimpinya. Ci Anton tak mau anak-anaknya serupa dengan nasibnya sewaktu kecil yang berhenti sekolah hanya karena tak punya biaya sekolah.
“Dari bajual ikan, torang bisa kase sekolah anak tiga orang dan bisa membangun rumah,” ujar Ahmad.
Namun, semangat yang membuncah kerap saja ada hambatan. Pada 2005, Ahmad terpaksa berhenti menjual ikan menggunakan sepeda motor. Ia sempat sakit dan sebulan menginap di rumah sakit. Dari situlah, Ci Anton menjadi ibu, sekaligus mengambil alih posisi suami membanting tulang menghidupi keluarganya. Memang tak mudah, tapi ia harus bertahan, dan hingga saat ini ia tetap berjuang menghidupi keluarga.
Namun, belakangan, terutama selama dua minggu, ia sempat berhenti berjualan ikan, karena ikan yang kerap dipesan dari Weda dan Jailolo, tak kunjung datang. Mau tak mau ia mesti menganggur dan bersabar. Ia menduga cuaca buruk belakangan ini yang menjadi penyebabnya sukar mendapat ikan. “Tapi alhamdulillah, sekarang sudah bisa jualan lagi,” katanya.
Saat ngobrol beberapa menit, langganan Ci Anton yang dari Weda datang membawa ikan dua ember. Tak menunggu lama, Ci Anton kemudian mengisi ikan tersebut ke dalam kantong plastik kecil, karena ukuran ikan yang tak terlalu besar. “Sekatong tas diisi 8 ekor ikan dijual dengan harga Rp 20 ribu. Ikan 1 ember tadi harga Rp 500 ribu. Ci ambe 2 ember jadi Rp 1 juta,” jelasnya.
Usai mengisi ikan ke dalam beberapa kantong plastik, Ci Anton bergegas mengambil air laut dan es batu untuk disirami ke ikan tersebut. Hal itu dilakukan semata-mata demi ketahan ikan selama 5 hari ke depan. Bila sehari tak terjual habis, masih boleh dijual selama empat hari.
Ia tampak menyeka peluh yang menetes di wajahnya dengan sehelai bajunya. Ia lalu merogoh handphone di dalam sakunya untuk melihat jam. Waktu menunjukkan pukul 09.00 WIT. Sudah waktunya berjualan. Ia membawa beberapa kantong berisi ikan dan bergegas menyisir Desa Kusu.
Di bawah terik mentari pagi dan langit biru Ibu Kota, saya mengekor menemani Ci Anton berdagang. Kami menyusuri Desa Kusu hingga ke desa-desa tetangga.
Ketika tengah berjualan, banyak orang yang menyapa Ci Anton. Sesekali pelanggan mampir membeli ikan. Dan setelah itu, ia kembali mendorong gerobaknya. “Ikan, ikan, ikan,” teriak Ci Anton. Sebagian ibu-ibu bisa mengenal suara lantang Ci Anton saat mendengarnya, dan langsung bergegas ke jalan untuk menengok dagangannya. Ada yang langsung beli dengan harga yang telah dipatok Ci Anton, Rp 20 ribu. Pun ada pula yang melakukan negosiasi atau tawar untuk dapat 2 kantong dengan harga Rp 50 ribu.
Namun, karena sudah menjadi langganan, mau tak mau ia mengiyakan tawaran tersebut. Ada pula pelanggan yang hanya menengok dagangan Ci Anton. Tak membelinya. Saya menyaksikan sikap warga yang tak mengenakan itu. Saya sedikit kecewa, tapi Ci Anton menganggap wajar saat berdagang. “Tara apa, sudah biasa begitu,” katanya.
Langka kaki yang tegap menyusuri jalan koridor demi menjual ikan akhirnya berbuah manis. Ikan Ci Anton diborong habis saat jarum jam menunjukkan pukul 10.29 WIT. Kami pun membalik arah langkah balik ke kediaman Ci Anton. Di tengah perjalanan, ia bilang, biasanya hingga selesai berjualan ia bisa dapat keuntungan 500 ribu sampai Rp 600 ribu. Dan, apabila saat musim ikan ia bisa meraup keuntungan Rp 9 juta per bulan. Tapi ketika ikan langka ia hanya meraup Rp 4 juta.
Konsistensi melakoni bisnis ikan ini membuat Ci Anton mendapat sertifikat dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku Utara sebagai pedagang ikan. “Hanya 2 orang yang mendapat sertifikat. Saya dan teman, Pak Warmer,” ujarnya.
Sebelum sertifikat diberikan dinas terkait, ada tim yang survey ke lokasi untuk menguji kelayakkan terhadap pedagang yang berhak mendapatkan sertifikat. Hasilnya, dari 20 pedagang ikan, Ci Anton tergolong salah satu pedagang yang layak mendapatkan sertifikat. Namun, kini Warmer tak lagi melakoni bisnis ikan.
Berkat penghargaan itu, sudah dua tahun terakhir (2021-2022), Ci Anton mengaku mendapat bantuan uang tunai sebesar Rp 3 juta (per tahun) dari Dinas Perikanan. Dan uang tersebut ia gunakan untuk membeli gerobak dan box tempat menyimpan ikan.
Hingga saat ini Ci Anton merasa masih cukup kuat untuk menjalankan pekerjaannya. Ia mengaku akan berhenti berdagang ikan bila usianya sudah menginjak 50 tahun, dan kembali menjadi ibu rumah tangga. Sebab, ketiga anaknya mungkin sudah mempunyai pekerjaan masing-masing.
——
Penulis: Nurul Mawani M. Djafar
Editor: Ghalim Umabaihi