Oleh: Wajo, AR.
“Meski promosi Kanda sudah jelang beberapa hari, rasanya tak pantas manakala keharuan dan kebanggaan adinda tak tertuang dalam catatan sederhana ini”.
BEGITULAH suasana kebatinan saya menyaksikan keberhasilan Dr. Mohtar Umasugi, S. Ag., M PdI, seorang sahabat, senior, sekaligus figur inspiratif yang baru saja menorehkan capaian akademik jenjang Strata Tiga (S3) melalui Sidang Promosi Doktor di Universitas Muhammadiyah Parepare pada 13 Oktober 2025 lalu. Sebuah gelar yang membuktikan reputasi akademiknya sebagai pengembara intelektual yang selalu haus ilmu pengetahuan.
Bang Mo, demikian sapaan akrabnya, adalah sosok yang menapaki jejak panjang petualangan intelektual yang pantas diberi apresiasi–sebuah perjalanan mencari makna di antara huruf-huruf ilmu untuk selanjutnya dihadirkan pada denyut kehidupan masyarakat.
Betapa tidak, Bang Mo bukan sekadar pembelajar di ruang kelas, melainkan seorang pengelana ilmu yang menjadikan setiap pengalaman sebagai pelajaran dan setiap tantangan sebagai ayat kehidupan. Dalam dirinya tergambar betapa ilmu, ketika disertai iman dan keikhlasan, akan menjelma menjadi cahaya yang menuntun banyak orang menuju kemuliaan.
Ada kalimat bijak yang mengatakan, “Ilmu bukanlah sesuatu yang datang karena usia, tetapi karena usaha dan kesungguhan hati.” Ungkapan itu seolah menemukan sosok nyatanya dalam diri Bang Mo.
Dengan selesainya pendidikan doktoral ini, Bang Mo meneguhkan dirinya sebagai salah satu putra terbaik Kepulauan Sula yang telah mempersembahkan hidupnya bagi pengabdian ilmu, pendidikan, dan masyarakat. Suatu capaian yang berbarengan dengan kutipan Imam Syafi’i sering dikutip olehnya, “Barangsiapa yang tidak mampu menahan lelahnya belajar, maka ia harus mampu menahan perihnya kebodohan”.
Bang Mo lahir di Desa Waisakai, 11 Februari 1962. Sejak kecil, ia tumbuh dalam lingkungan masyarakat pesisir yang sederhana, dimana semangat gotong royong, religiusitas, dan kerja keras menjadi nilai yang hidup setiap hari. Pendidikan dasar ia tempuh di SD Negeri Waisakai, kemudian melanjutkan pada Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah di Sanana, yang kelak menjadi titik awal kecintaannya terhadap ilmu agama.
Selepas menamatkan Madrasah Aliyah, Bang Mo tidak tergesa mengejar karier pribadi. Ia memilih untuk mengabdi terlebih dahulu sebagai guru di MTs Waisakai, sebuah keputusan yang menandai wataknya sebagai pendidik yang berjiwa pengabdian.
Tahun demi tahun berlalu, dan pada akhir 1990-an, Bang Mo melanjutkan pendidikan tinggi di STAIN Ternate hingga meraih gelar sarjana pada tahun 1999. Tak lama setelah itu, ia kembali mengabdi sebagai pekerja akademik (dosen) pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ternate di Sanana, daerah asalnya sendiri. Di sinilah muasal tumbuh kembangnya gelora akademik seorang Mohtar, meski harus dihadapkan dengan keterbatasan fasilitas dan sumber daya manusia.
Spiritnya dalam menyuluh api ilmu tidak pernah padam. Pada tahun 2016, Bang Mo berhasil menyelesaikan pendidikan Magister di IAIN Ternate, dan puncaknya — dua dekade kemudian — menyelesaikan Program Doktor Bidang Pendidikan Agama Islam dengan judul disertasi: “Optimalisasi Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Riset untuk Membentuk Karakter Akademik Peserta Didik pada Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Sanana.”
Judul disertasi yang memantik spirit pembelajaran di era distrupsi ilmu pengetahuan yang demikian dinamis, sekaligus mengandung pesan strategis dalam konteks pendidikan Islam modern. Pembelajaran berbasis riset adalah pendekatan yang menempatkan peserta didik bukan sekadar sebagai penerima pengetahuan (knowledge receiver), tetapi juga sebagai pencari dan penghasil pengetahuan (knowledge creator).
Dalam konteks pendidikan madrasah, gagasan Bang Mo ingin menunjukkan bahwa pembelajaran agama tidak berhenti pada dogma, tetapi menumbuhkan karakter ilmiah, kritis, dan berintegritas, sebagaimana pesan Al-Qur’an: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Q.S. Az-Zumar [39]: 9).
Melalui model pembelajaran berbasis riset, peserta didik diharapkan membentuk karakter akademik, yakni sikap ilmiah, tanggung jawab intelektual, dan kejujuran ilmiah yang menjadi fondasi utama generasi berpendidikan.
Hal ini sejalan dengan pandangan John Dewey, bahwa “Education is not preparation for life; education is life itself.” Dengan kata lain, proses belajar berbasis riset bukan hanya melatih kecerdasan, tetapi membentuk kepribadian akademik yang berdaya saing.
Dalam konteks local MAN 1 Sanana, gagasan Bang Mo sangat relevan. Promovendus Mohtar Umasugi melihat bahwa pendidikan agama di Madrasah harus menjadi ruang pembentukan karakter dan budaya ilmiah, bukan sekadar transmisi nilai moral. Upaya optimalisasi pembelajaran berbasis riset merupakan ikhtiar strategis untuk menghadirkan madrasah sebagai pusat peradaban ilmu dan akhlak, sebagaimana cita-cita Islam “rahmatan lil-‘alamin.”
Selain kiprah akademiknya, Bang Mo juga dikenal sebagai figur yang aktif dalam berbagai organisasi sosial dan keagamaan. Ia merupakan Ketua Presidium KAHMI Kepulauan Sula, Ketua ICMI Orda Kepulauan Sula, serta pengurus di berbagai lembaga keagamaan Islam lainnya. Kiprah ini menunjukkan bahwa bagi Bang Mo, ilmu bukan untuk menara gading, tetapi untuk membangun kehidupan sosial yang lebih bermartabat.
Hadirnya menjadi inspirasi bagi banyak generasi muda yang berkecimpung dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) maupun kolega yang membersamainya dalam aktivitas keseharian. Sebagai pecinta Kopi yang sering nongkrong bersama masyarakat, Bang Mo acap kali terlibat mendiskusikan berbagai isu-isu kedaerahan dan nasional, bahkan gagasan-gagasannya terhadap berbagai isu tersebut tertuang dalam bentuk tulisan opini dan berseliweran pada berbagai media, sehingga turut berkontribusi bagi literasi, kepekaan serta kritisisme masyarakat dalam kehidupan berbangsa.
Melalui Yayasan Babussalam Sanana, bersama rekan-rekannya, Bang Mo turut mendirikan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Babussalam Sula. Lembaga ini menjadi wadah bagi generasi muda Sula untuk mengenyam pendidikan tinggi keagamaan tanpa harus meninggalkan tanah kelahiran. Di kampus ini pula, Bang Mo mengabdikan dirinya sebagai dosen dan Wakil Ketua I, mengelola, membimbing, dan menanamkan semangat keilmuan serta keikhlasan kepada mahasiswa dan dosen muda.
Tak salah bila banyak yang menyebutnya sebagai “guru,” karena dalam dirinya melekat nilai-nilai keteladanan, kesabaran, dan kebijaksanaan. “Guru sejati,” tulis Kahlil Gibran, “adalah dia yang menuntunmu tanpa mengikatmu, dan menyalakan cahaya dalam dirimu tanpa memadamkan cahayanya sendiri”, demikianlah Bang Mo yang mampu menjadikan setiap ruang dialog sebagai ruang belajar, dan setiap pertemuan sebagai ladang inspirasi.
Bang Mo bukan sekadar seorang doktor baru, melainkan simbol ketekunan dan ketulusan dalam perjalanan panjang ilmu dan pengabdian. Usia yang tak lagi muda tidak menghalangi semangatnya untuk terus belajar dan menapaki tangga ilmu. Bang Mo telah menunjukkan kepada kita bahwa pendidikan adalah perjalanan seumur hidup, bukan sekadar tahapan formal.
Dalam dirinya terpatri pesan abadi bahwa orang besar bukanlah mereka yang memiliki jabatan tinggi, tetapi mereka yang tetap rendah hati di puncak keberhasilan. Capaian akademik yang diraih Bang Mo adalah buah dari kesungguhan, keikhlasan, dan dedikasi panjang yang ia persembahkan bagi masyarakat, bagi madrasah, dan bagi kemajuan dunia pendidikan Islam di Kepulauan Sula.
Jejak petualangan intelektual Bang Mo adalah kisah tentang kesetiaan kepada ilmu dan kemanusiaan. Ia mengajarkan bahwa belajar bukanlah sekadar menambah pengetahuan, melainkan menumbuhkan kebijaksanaan.
AKHIRNYA, karena tidak hadir membersamai Uji Kelayakan Intelektual Bang Mo, setidaknya tulisan pendek ini mewakili rasa bangga padanya. Teruslah bertumbuh dan jangan berpuas diri. Gelar Doktor hanyalah sandangan formalisasi, kontribusi keilmuan pada masyarakat adalah pembuktiannya. Semoga petualangan Bang Mo ini, mejadi jejak bagi generasi berikutnya.
—–
Penulis merupakan dosen di Institut Agama Islam Negeri Ternate
