Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib*
“Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedang merdekanya hidup batin terdapat dari pendidikan.” – Ki Hadjar Dewantara
Setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai hari pendidikan nasional (Hardiknas). Momen Hardiknas bukanlah hari libur nasional, namun dirayakan secara luas di Indonesia dengan pelaksanaan upacara bendera di setiap sekolah dan perguruan tinggi disertai dengan pidato bertema pendidikan.
Tiap tahun tanggal 2 Mei yang diperingati sebagai hardiknas merupakan hari kelahiran dari seorang pahlawan nasional, Ki Hadjar Dewantara yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ia terlahir sebagai seorang pangeran dan cucu dari KGPAA Sri Paku Alam III, yang turun gunung berjuang dalam bidang Pendidikan dan turut mengawal kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia merdeka ia diangkat sebagai Menteri Pendidikan pertama Indonesia pada tahun 1956.
Selaku tokoh Pendidikan nasional, Ki Hadjar berpandangan bahwa salah satu asas pendidikan adalah kemerdekaan dalam arti keleluasaan setiap anak menjadi dirinya sendiri, memahami potensi dan keistimewaannya yang diaktualkan, bukan kemerdekaan yang liar atau dalam bahasa jawa bukan yang sak karepe dewe (semaunya sendiri), tetapi kemerdekaan yang terbatasi dengan kodrat alam atau dalam istilah agama sunnatullah. Setiap peserta didik bebas menjadi diri seperti apapun, tapi harus diawali dan disesuaikan dengan kodrat hidup (sunnatullah) agar tidak asing dan jauh dari kenyataan diri.
Kemerdekaan dalam rumus Ki Hadjar maksudnya membentuk manusia dimulai dari mengembangkan potensi. Biarkan setiap peserta didik berkembang sesuai dengan potensinya. Tidak hanya merdeka belajar tapi perlu belajar merdeka seperti berlatih berpikir mandiri (latih logika), memutuskan dan memilih sendiri sesuai minat dan potensi sebagai cara belajar untuk merdeka agar tidak banyak bergantung terhadap banyak hal dalam hidup.
Kritik Model Perintah-Hukuman
Di masa mudanya, Ki Hadjar merasakan sendiri pendidikan ala kolonial belanda yang bermodelkan perintah-hukuman. Atas pengalamannya itu, ia banyak menulis dan mengkritik pendidikan yang berbasis pada model regering, tucht en orde (perintah, hukuman dan ketertiban). Model Pendidikan perintah-hukuman menurutnya hanyalah upaya untuk menjaga ketertiban, namun dampaknya tidak terlalu positif bagi peserta didik sebab model seperti itu akan membuat “seseorang tiada akan dapat bekerja kalau tidak dipaksa; kalau tiada perintah.” (Fahruddin Faiz: 2023).
Pola perintah dan hukuman itu, menurut Ki Hadjar bukan tidak boleh sama sekali, tapi jangan sebagai menu utama dalam mendidik, dalam hal tertentu dibolehkan dalam rangka memberitahu dan menuntun guna membangun kesadaran yang nantinya menjadi inisiatif sendiri peserta didik.
Jika tidak dibiasakan berinisiatif sendiri namun menunggu perintah akhirnya peserta didik menjadi bermental diperintah (mentalitas inlanders). Bila halnya peserta didik sudah bermental menunggu perintah, maka jangan bermimpi mereka bisa merdeka dalam pikiran. Melalui model Pendidikan seperti ini, pemerintah Kolonial hanya menciptakan rakyat jajahan yang penurut dan ‘sedikit terpelajar’.
Dampak negatif dari pendidikan model perintah-hukuman ini ialah mengabaikan kecerdasan budi pekerti, dikarenakan terbiasa dituntun, mental belajar merdeka peserta didik tidak berkembang, justru akan menumpulkan budi pekerti, tidak terasah dan tidak kreatif.
Ketika seseorang dididik dan dilatih tertib dengan aturan, lama-kelamaan pikirannya tidak berkembang dan imajinasinya macet. Inilah penyakit ‘intelektualisme’ kata Ki Hadjar.
Selain itu, dampak lainnya, juga dapat menimbulkan ‘kemurkaan-diri’ (individualisme) dan ‘kemurkaan benda’ (materialisme), melahirkan manusia yang berfikir hanya untuk dirinya sendiri serta apapun yang dilihat hanya dinilai dari perspektif materi. Ilmu pengetahuan hanya menjadi produk, bukan proses.
Ki Hadjar menyebut model perintah-hukuman memang potensial melahirkan pegawai-pegawai yang baik dan patuh. Menjadi pegawai memang butuh hidup yang tertib teratur dan serba terukur (in orde). Individualistik dan materialistik juga terkadang menjadi gaya hidup barunya.
Produk Pendidikan model ini bila berkelindan dengan nilai-nilai feodalisme yang mengakar dalam kultur sebagai residu ‘alam pikir’ masyarakat lama (tradisional), mengakibatkan tumbuh suburnya akar dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Kemerdekaan Belajar: Menyalakan Pelita
Dalam menterjemahkan pikirannya mengenai Pendidikan, Ki Hadjar lebih senang menyebut institusi pendidikan dengan istilah ‘taman’ yang berkonotasi penuh kegembiraan, alamiah, kebebasan memilih, supaya proses pendidikan terasa tidak kaku dan formal.
Hal itu sejalan dengan model akademi-akademi di masa Yunani kuno. Model pengajaran di masa yunani kuno, mengambil tempat di taman sambil berjalan-jalan dan berkeliling, metode ini kemudian disebut ‘peripatetik’. Orang Arab kemudian menyebutnya dengan istilah ‘mashsha’iyah’ yang berarti berjalan. dan tempatnya disebut akadêmia artinya taman bermain.
Adapun sekolah yang kita kenal sekarang berasal dari istilah skhole, scola, scolae atau schola, artinya waktu luang yang secara khusus untuk belajar (leisure devoted to learning), karena kebiasaan orang yunani kuno mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seorang cerdik pandai untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ihwal yang dirasa perlu dan butuh diketahui. Kebiasaan itu pada perkembangannya kemudian beralih dari fungsi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu) menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang diluar rumah sebagai pengganti ayah dan ibu).
Itulah sebabnya anak didik yang sudah melalui proses pengasuhan itu menyebut lembaganya sebagai alma mater (ibu asuh; ibu yang memberikan ilmu). Akademi Plato bahkan membuat kurikulum sendiri menyesuaikan kondisi tubuh (gymnasium). Belajar di taman, belajar di luar, di bawah pepohonan dirasa lebih segar daripada didalam ruangan yang kaku dan formal.
Apa yang ingin dikembangkan oleh Ki Hadjar dengan menamakan sekolahnya sebagai taman siswa ialah belajar dengan gembira, alami ‘dalam arti memahami realitas’ situasi sekitar secara bebas sesuai potensi dan minat.
Filosofi kemerdekaan seperti itulah yang belum tampak dalam pengejewantahan kurikulum merdeka belajar sekarang ini. Model ‘kemerdekaan’ yang diterjemahkan institusi pendidikan tidak lain hanyalah mempersiapkan peserta didik untuk siap pakai sebagai pekerja di dunia kerja.
Peserta didik tidak didefinisikan sebagai manusia merdeka tapi sebatas ‘alat produksi’ dalam modus operandi konglomerasi (kapitalistik). Hal itu persis seperti kata Ki Hadjar, bahwa institusi pendidikan bisa saja melahirkan kemurkaan-diri (individualisme) dan kemurkaan-benda (materialisme), akibatnya ilmu pengetahuan hanya produk semata, bukan proses humanisasi (memanusiakan manusia). Seakan-akan institusi pendidikan seperti universitas se-level lembaga kejuruan yang melahirkan pekerja-pekerja “berketerampilan” teknis tertentu.
Akhirnya universitas hanyalah ‘konglomerasi’ tempat dimana aspek kuantitatif-pragmatis yang menjadi tujuan. Para peserta didik menjadi roda-roda dalam proses ekonomis dan teknologis semata (Peter J. Drost: 1996). Nama kurikulumnya saja merdeka tapi isinya tetap model lama, perintah-hukuman. Akhirnya universitas yang berarti semesta alam dalam skala kecil sebagai wahana integrasi berbagai ilmu pengetahuan yang menghantarkan manusia kepada menghargai kebenaran yang lebih komprehensif (keanekaan dalam kesatuan), justru berubah menjadi multiversitas (keanekaan dalam keterserakan). Pendidikan seharusnya berorientasi kepada pengenalan ‘realitas’ yang harus dipahami dan dihadapi manusia.
Pendidikan harus memberi keleluasaan bagi setiap orang untuk mengatakan dengan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata yang didikte terus-menerus oleh orang lain.
Padahal pendidikan itu menyalakan pelita, bukan mengisi bejana kata Socrates atau istilah Sunan Kalijaga, ‘urip iku urup’ bahwa hidup itu menyala. Dalam proses pendidikan manusia tinggal dinyalakan, dilatih berpikir, dilatih bernalar maka akan menyala. Ia akan menemukan kebenarannya sendiri dan tugas guru atau dosen hanyalah mengoptimalkan potensinya (tarbiyah), menanamkan kebiasaan-kebiasaan dan wawasan (taklim), dan menunjukan teladan (takdim).
Tugas guru seperti itu oleh Ki Hadjar disebut ing ngarso sung tulodo (memberi contoh), ing madyo mangun karso (memberi semangat dan motivasi) dan tut wuri handayani (mendorong dan mengoptimalkan potensi). Atau dengan kata lain, tugas guru ialah menyalakan muridnya. Bila sudah menyala, murid atau peserta didik akan belajar sendiri, melihat ‘realitas’ sekeliling dan menambah wawasannya sendiri.
Peserta didik akan mencari kebenarannya sendiri karena ia sudah menyala (merdeka dalam belajar). Ia bukan produk (barang) atau manusia dengan pikiran yang menyerah (absorbent mind) tapi manusia memerdekakan dirinya. Jangan sampai setelah memperoleh ijazah, kehadiran mereka di tengah masyarakat seperti tidak ada (wujuduhu ka’ada mihi). Namun hadir sebagai pribadi yang penting, bernilai, kebersamaan kehidupan akan bertambah indah atas kehadiran mereka. Menambahkan indah diri, bangsa dan semesta.
Seandainya tidak hadir sebagai problem solver (menyelesaikan masalah), paling tidak mereka tidak menjadi part of the problem atau trouble maker. Akhirul kalam, harapannya hardiknas tahun ini semoga menjadi momentum evaluasi dan refleksi pembenahan orientasi kurikulum tidak sekedar ‘merdeka belajar’ dalam menciptakan alat produksi semata tetapi juga menyalakan pelita. Wallahu a’lam bish-shawab.
—-
Tenaga Pendidik di Universitas Khairun*