News  

Banyak Temuan, Program MBG di Maluku Utara Dinilai Gagal

Ilustrasi anak-anak makan bergizi. Foto: Meta AI/Istimewa

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Maluku Utara cetusan pemerintahan Prabowo Subianto, dinilai gagal dijalankan lantaran banyak temuan bermasalah.

Akademisi Unkhair Ternate, M. Tabrani Mutalib menuturkan, terdapat sejumlah temuan dalam program MBG yang menjadi sorotan publik.

Menurutnya, fenomena ini bukan sekadar soal kelalaian teknis atau kecelakaan dapu. “Ini cermin dari kegagalan negara menghadirkan pelayanan publik yang bermartabat,” ujar Tabrani kepada cermat, Rabu, 30 Juli 2025.

Baca Juga:  Warga Hiri Pasang Baliho Sebut Pemkot Ternate Hasi se Furiki

Ia bilang, ketika makanan yang mestinya bergizi malah membuat muak, bahkan berpotensi menimbulkan penyakit, maka saat itulah kebijakan yang katanya “pro rakyat” berubah menjadi antitesis dari keadilan sosial.

Padahal, kata dia, tujuan dari MBG sejatinya tak diragukan. Yakni memberi makan anak-anak secara gratis—terutama di daerah miskin dan 3T—adalah ikhtiar luhur yang tak bisa diremehkan.

“Tapi dalam hukum administrasi negara, niat baik tidak pernah bisa menjadi dalih untuk mengabaikan prosedur, asas kehati-hatian, dan standar minimum pelayanan,” tuturnya.

Baca Juga:  AMSI Komitmen Tingkatkan Kualitas Jurnalis

Tabrani menyebut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa setiap bentuk layanan pemerintah harus dijalankan secara profesional, akuntabel, dan berorientasi pada kepuasan masyarakat.

Bila dalam kenyataannya makanan yang disajikan mengandung ulat, kata dia, maka pertanyaannya sederhana: di mana akuntabilitas penyelenggara? Di mana standar mutu?

Dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), setidaknya ada tiga yang dilanggar secara nyata:

Baca Juga:  Meningkat, Disnaker Ternate Terbitkan 4.289 Kartu Pencaker Tahun Ini

(1) Asas kecermatan, karena pengadaan makanan jelas tidak melalui kontrol mutu ketat;

(2) Asas profesionalitas, sebab tidak ada keterlibatan ahli gizi atau tenaga sanitasi pangan;

(3) Asas perlindungan terhadap kepentingan umum, sebab yang terjadi justru membahayakan siswa, bukan melindungi mereka.

“Dalam kerangka hukum administrasi, temuan makanan rusak dalam program publik bisa dikualifikasi sebagai bentuk maladministrasi. Oleh karena itu, Ombudsman jangan diam saja. Ini persoalan serius berkaitan dgn kesehatan warga negara.

Baca Juga:  Polisi Tangkap 5 Pemuda saat Asyik Main Judi Ludo di Pelabuhan Speed Boat Sofifi

Ombudsman punya cukup dasar untuk melakukan pemeriksaan, apalagi bila ditemukan indikasi sistemik dan berulang. Selain itu, masalah ini juga punya dimensi hukum lain: bila terbukti membahayakan, pengadaan ini bisa melanggar hukum perlindungan konsumen dan pidana korupsi.

Dalam Pasal 62 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang keras penyediaan barang (termasuk makanan) yang tidak memenuhi standar keamanan dan kesehatan. Bahkan, dalam konteks penggunaan dana publik, kerugian yang ditimbulkan bisa melibatkan Undang-Undang Tipikor jika ditemukan markup, pengadaan fiktif, atau permainan vendor.

“Artinya, ulat dalam makanan itu bukan sekadar simbol dari dapur yang jorok, melainkan bisa jadi pintu masuk untuk mengusut jaringan pemborosan dan penyalahgunaan anggaran,” ujarnya.

Baca Juga:  Pengisian Pjs Bupati Pulau Morotai adalah Transisi Kekuasaan Politik ke Birokrasi

Tabrani juga meminta penegak hukum terkait yakni polisi dan jaksa tidak boleh diam saja, “jangan karena karena ini program Presiden Prabowo lalu ada pelanggaran tidak di usut. Segera lakukan penyelidikan tanpa menunggu laporan masyarakat. Masalah itu bukan delik aduan.”

Penulis: Tim CermatEditor: Rian Hidayat Husni