Salah satu jurnalis media online Kaidah Malut, Yunita Kadir, yang berdomisili di Kelurahan Kulaba, Kecamatan Ternate Barat didatangi segerombolan anggota polisi pada Minggu, l Desember 2024 sekira pukul 23.00 WIT.
Kedatangan para anggota Polres Ternate itu dipimpin oleh Kanit Tepidter IPDA Farida Badilah. Saat didatangi, Yunita tengah menggunakan kain berwarna merah dan kaos singlet yang ditutupi dengan jaket di bagian dada. Sepanjang interogasi, Yunita tidak dipersilakan untuk mengganti pakaian.
“Sudah larut, saya hendak beristirahat (tidur, red) lantaran sudah larut kan. Tiba-tiba adik laki-laki saya bernama Angga masuk ke kamar dan bilang kalau ada babinkamtibmas datang dengan polisi. Saya heran jam begini terus polisi datang. Saya ikut keluar dan bertemu dengan babinkamtibmas. Setelah itu saya suruh pak babin untuk arahkan anggota polres ke ruang tamu,” ungkap Yunita saat menceritakan kronologi, Senin (02/12/2024).
Setelah di ruang tamu, Yunita bilang, dirinya dimintai keterangan soal membagikan flyer seruan aksi demo yang dijadwalkan pada Senin siang (hari ini,red).
“Saya ditanya siapa yang pertama bagikan flyer dan saya bilang itu diperoleh dari grup WhatsApp. Dan itupun sudah diteruskan berkali-kali. Tetapi mereka mau cari tahu siapa, jadi saya cari dan saya bilang itu didapat dari teman wartawan namanya Rajif pimpinan redaksi Halmaheranesia.com. Kemudian salah satu buser minta nomor kontak Rajif dan saya kasih. Setelah itu, Ibu Ida bilang saya bisa dijerat UU ITE karena sudah menyebarkan flyer yang bermuatan provokasi dan isu SARA. Saya sempat bilang ke mereka, kan saya pewarta, salah saya di mana kalau saya bagikan, kecuali saya bagikan flyer terus menggunakan caption ajakan baku bunuh atau provokasi dari tulisan saya ya oke. Tapi ini kan tidak, saya hanya membagikan dan itu sebagai informasi kalau besok ada demo,” beber Yunita.
Selain dimintai keterangan, Yunita mengaku kalau dirinya juga diminta datang ke kantor polisi ikut bersama anggota guna memberikan keterangan lengkap, hanya saja ditolak Yunita dengan alasan sudah larut dan anaknya sedang sakit. Yunita juga sempat menanyakan surat perintah dari atasan, tetapi kata kanit nanti datang saja ke kantor.
“Saya tanya ke dorang, SOP-nya gimana? Kan ini sudah larut dan saya didatangi dan disuruh ikut ke kantor. Minimal ada surat resmi pemanggilan dari kapolres atau setingkatnya lah. Tapi kan tidak ada. Kemudian anehnya lagi, saya wartawan yang membagikan informasi kok saya yang dicari? Harusnya mereka cari siapa yang bikin flyer atau siapa yang punya hajatan demo dong,” ujar Yunita.
Sementara, Rajif yang juga anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI), juga dimintai keterangan oleh polisi mengungkapkan, bahwa pada Senin (02/12/2024) sekitar pukul 00.23 WIT.
“Saya ditelepon nomor baru melalui aplikasi WhatsApp. Tapi karena nomor baru, saya memilih tak angkat. Saya cek nomornya, ia tak tergabung satu grup pun di semua WhatsApp Grup (WAG) saya. Saat ditelepon, saya sedang berada di salah satu kedai kopi di Ternate bersama kru media saya. Saya hanya mengirim pesan ke nomor itu, “Sapa ini, saya di jalan.”Nomor tersebut membalas, “Deng Othen, bole mo baku dapa.”Saya jawab, “Othen sapa e.” Ia membalas, “Othen Polres.” “Oh bagaimana itu, ada yang bisa saya bantu, Abang?” Lalu nomor itu menelepon kembali. Di percakapan itu, ia meminta saya untuk ketemu, dan menanyakan alamat lokasi saya berada saat itu. Saya diminta ke Polres sebentar untuk diminta keterangan, tapi ia belum menjelaskan maksud dan terkait apa. Saya sempat menelepon balik dan meminta bertemu di Kedai Sabeba, yang memang juga berada di samping Polres Ternate.
Kata Rajif, saat itu polisi memintanya ke Polres saja.
“Saya datang bersama dua wartawan saya, Iksan Muhammad dan Rifki Anwar. Saya tak ingat betul nama-nama yang meminta keterangan di saya. Yang saya ingat dari Cyber Crime. Mereka menanyakan soal flyer aksi pascapilkada yang tersebar luas di media sosial,” ujarnya.
Sebelumnya, mereka baru saja dari Yunita Kadir, jurnalis kaidahmalut. Di sana hal yang sama mereka tanyakan, kenapa meneruskan flyer itu dan mendapatkannya dari siapa. Yunita mengaku, flyer itu ia dapatkan dari saya.
“Memang benar, flyer itu saya dapat dari WAG keluarga lalu saya teruskan ke WAG media center kandidat untuk Pilkada 2024. Di dalam grup ini terdapat sekitar 20 media. Tujuan saya meneruskan hanya satu: menginformasikan ke teman-teman jurnalis, bahwa besok ada aksi, tapi aksinya berpotensi chaos. Sebagai seorang jurnalis, ini penting, agar kita dapat menyiapkan hal-hal urgen selama di lapangan, apalagi aksi yang berpotensi chaos. Di flyer itu, jika diteruskan maka tulisan atau “caption” awal yang ada di dalamnya juga ikut terkirim. Narasi atau “caption” di flyer itu adalah “sebarkan”. Lalu saat saya teruskan, saya menambahkan tulisan di bawahnya, “Dapa takooo (yang berarti sangat bikin takut). Isi flyer ini menurut saya bikin takut karena memang sangat provokatif. Seperti ada kata-kata “Desember Berdarah”, “Perjuangan Ummat Islam Melawan Oligarki dan Misionaris Menguasai Maluku Utara”.
Rajif menjelaskan, bahwa di dalam ruangan, ia juga diminta untuk mendatangani sebuah kertas namun hal tersebut ditolak.
“Saya diminta menjadi saksi dan memberikan keterangan lalu tanda tangan. Tapi saya menolak dan keberatan, karena saya tidak punya hubungan apa-apa dengan flyer itu, dan saya tak bisa berbicara lebih atau tanda tangan karena saya terikat oleh organisasi profesi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ternate. Sehingga itu, saya harus didampingi organisasi profesi.Mereka menerima itu dan meminta saya untuk menceritakan singkat saja di kertas, bagaimana awal mula saya mendapatkan flyer tersebut dan meneruskannya di mana saja,” jelasnya.
Sekiranya satu jam di ruangan itu. Setelah sudah keluar dari ruangan sekitar 5 meter dari pintu, saya diminta kembali untuk ikut berfoto dengan mereka. Di akhir pembicaraan, saya sempat menjelaskan, kalau di organisasi profesi saya menjunjung tinggi yang namanya “Jurnalisme Damai”. Kami selalu dilatih dan diingatkan terkait ini. Kemudian kami kembali ke kedai kopi dan sempat ditelepon lagi nomor awal tadi, tapi saya memilih tak angkat karena merasa sudah cukup untuk memberikan keterangan.
Terpisah, Praktisi hukum Abdul Kadir Bubu menyoroti langkah sejumlah anggota Polres Ternate yang mendatangi dan meminta keterangan dua jurnalis di Maluku Utara terkait pembagian informasi aksi unjuk rasa pilkada 2024.
Unjuk rasa tersebut dijadwalkan berlangsung Senin (2/12/2024) selepas Zuhur. Sedangkan kedua jurnalis tersebut didatangi polisi pada Minggu (1/12/2024) jelang tengah malam.
Abdul Kadir menyatakan, flyer yang tersebar di media sosial itu merupakan seruan demo.
“Demonya sendiri belum dilaksanakan, kok kalian cari orang yang membagikan flyer, bagaimana logikanya?” ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate ini.
Ia menegaskan, seharusnya pihak kepolisian berterima kasih dengan adanya penyebaran flyer tersebut. Dengan begitu polisi bisa mengantisipasi jalannya demo.
“Bukan mengintimidasi orang-orang yang membagikan seruan demo. Kecuali demo ini berisi ajakan baku bunuh. Ini protes adanya dugaan ketidakadilan yang dilakukan penyelenggara pemilu. Protesnya jelas ke Bawaslu, KPU, itu jelas demonya di situ. Masak protes adanya dugaan ketidakadilan diharamkan?” tukas Abdul Kadir.
Menurutnya, kepolisian seharusnya fokus mengantisipasi jalannya demo agar tidak ricuh, bukan mengintimidasi jurnalis atau orang-orang yang membagikan informasi aksi.
“Polisi mendatangi orang di rumah tanpa surat panggilan apapun, itu bentuk teror yang dilakukan aparat. Jangan-jangan aparat juga turut berpartisipasi, atau katakanlah juga terlibat dalam politik semacam ini. Jangan-jangan begitu. Jadi yang mesti diantisipasi juga adalah perilaku aparat yang semacam ini,” tegasnya.
“Kalau memang dinilai ada masalah, panggil klarifikasi, kenapa begini. Jangan didatangi tengah malam seakan-akan ini situasinya sudah sangat genting, tidak boleh begitu,” sambung Abdul Kadir Bubu.
Kapolda, kata dia, harus mengevaluasi anggotanya yang diduga melakukan upaya intimidasi terhadap jurnalis tersebut. Sebab langkah ini mencoreng nama baik institusi kepolisian.
“Ini demokrasi yang begini biasa saja, orang demo biasa saja. Kalau ada yang tidak puas dengan proses demokrasi lalu demo ke KPU, itu biasa saja. Jadi jangan tengah malam orang didatangi, orang dipanggil tanpa prosedur, jangan begitu. Kapolda harus panggil anggotanya itu,” tandas Abdul Kadir.