Oleh: Zulfikri Hasan*
Akhir-akhir ini, kita dikejutkan oleh banyaknya konflik yang muncul dari berbagai isu ketatanegaraan yang semakin hari terasa semakin rumit dan tak terkendali. Kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah menjadi masalah serius yang memaksa setiap orang untuk angkat bicara.
Kita menyaksikan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh para pemegang kekuasaan yang menyebabkan kerugian negara dalam jumlah yang sulit dihitung.
Lembaga legislatif seperti DPR, yang secara konstitusional dipisahkan dari dua kekuasaan negara lainnya sebagai bentuk pelaksanaan prinsip Trias Politica, kini justru tampak seperti berseberangan dengan rakyatnya sendiri. Padahal, mereka diamanahkan untuk bekerja demi kepentingan rakyat sebagai wakilnya.
Konflik dan permasalahan yang terjadi terasa begitu masif dan seolah-olah terencana. Situasi ini memicu kemarahan publik atas ketidakadilan yang berlangsung, hingga masyarakat merasa harus turun tangan untuk menuntut hak-haknya.
Ironisnya, meskipun konstitusi kita secara tegas mengakui kedaulatan rakyat, realitanya kedaulatan itu kini hanya menjadi pajangan belaka. Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, namun praktiknya justru demokrasi dipaksa tunduk kepada nomokrasi (negara hukum), sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat 3. Sayangnya, penerapannya jauh dari semangat keadilan sebagaimana yang dimaksud oleh konstitusi.
Lihat saja kasus terbaru: aparat kepolisian yang seharusnya menjalankan tugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai dengan Pasal 30 ayat 4 UUD 1945, justru bertindak represif hingga menghilangkan nyawa. Salah satunya adalah kasus meninggalnya Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, pada 28 Agustus 2025. Tindakan aparat tersebut berpotensi melanggar Pasal 359 jo. Pasal 338 KUHP dengan ancaman pidana penjara hingga 15 tahun.
Yang lebih mengejutkan, setelah penyelidikan dilakukan, muncul pernyataan bahwa pelaku bukan anggota Brimob, melainkan narapidana. Sebuah klaim yang, secara pribadi, saya anggap memalukan. Hal ini tidak hanya melanggar kode etik dan hukum, tetapi juga mencerminkan kegagalan institusi kepolisian dalam menjalankan peran utamanya: menciptakan rasa aman dan tertib bagi masyarakat. Hukum tidak pernah membenarkan perampasan nyawa tanpa alasan dan proses yang sah.
Jika situasi seperti ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan bernasib seperti Sudan Selatan, yang memisahkan diri melalui referendum tahun 2011 akibat pemerintahan yang korup dan konflik berkepanjangan. Kondisi ini seharusnya menjadi bahan evaluasi serius bagi seluruh aparat pemerintah bahwa Indonesia saat ini sedang “tidak baik-baik saja”.
Lebih ironis lagi, institusi yang seharusnya melindungi dan menegakkan hukum justru menjadi pelanggar hak asasi manusia. Kemerdekaan pers, yang dijamin oleh Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 sebagai perwujudan kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum, kini semakin terancam. Jurnalis mengalami intimidasi, kekerasan fisik, penangkapan, hingga kerusakan alat kerja mereka.
Kekerasan tidak hanya menimpa pers, tapi juga mahasiswa dan masyarakat yang turun ke jalan. Mereka dipukul mundur, mengalami kerugian fisik dan materiil, bahkan menjadi korban pelanggaran HAM berat. Namun sangat disayangkan, mereka yang memperjuangkan haknya justru dituduh sebagai anarkis dan provokator. Sementara aparat yang melakukan kekerasan malah diberi penghargaan, dinaikkan pangkatnya, bahkan disekolahkan.
Contohnya di kampus Unisba dan Unpas, gas air mata dan peluru karet ditembakkan ke arah mahasiswa. Namun narasi yang berkembang di media menyebutkan adanya provokator dan hoaks. Apakah ini pembenaran untuk tindakan represif? Di mana letak keadilan jika mahasiswa yang terluka disebut anarkis, sementara pelaku kekerasan dilindungi? Apakah Indonesia masih pantas disebut sebagai negara hukum?
Terlepas dari spekulasi yang beredar — apakah ini hanya strategi untuk mengalihkan perhatian publik dari isu utama seperti pembubaran DPR — yang jelas secara kemanusiaan, aparat kepolisian telah melanggar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Terlebih lagi, hak untuk hidup adalah bagian dari non-derogable rights — hak yang tidak bisa dikurangi oleh siapa pun, termasuk negara.
—–
*Penulis merupakan Ketua Pengkajian Hukum LDRS Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU).