Dodengo: Tak Sekadar Seni Bela Diri

Dua pemuda Desa Talaga saat berlaga dalam tradisi Dodengo. Foto: Faris Bobero/cermat

Hujan tak menyurutkan niat pemuda-pemuda Desa Talaga untuk turun ke medan laga. Bermodalkan tekad meneruskan tradisi leluhur, mereka saling adu kuat demi menjaga titah sebagai pria.

Saat itu, tepatnya hari ketiga Lebaran Idulfitri 1446 H, Kamis, 3 April 2025, lapangan Desa Talaga telah dipenuhi masyarakat yang ingin menyaksikan Dodengo. Mereka bersorak saling mendukung jagoannya masing-masing yang hendak unjuk kemampuan.

Sementara para petarung mengantre menunggu giliran untuk tampil menunjukan kebolehan. Meski gerimis, tak membuat sedikit pun nyali mereka kendur demi mengalahkan lawannya masing-masing.

Satu per satu jagoan mulai tampil, sambil diiringi gemuruh Tifa yang ditabuh dan nyaring suara gong yang dipukul. Menambah suasana pertarungan menjadi semakin dramatis dan magis.

Selain petarung, ada pula wasit yang bertugas di arena pertandingan. Mereka yang akan menghentikan laga apabila pertarungan dinilai telah selesai, atau ada dari petarung yang menyalahi aturan permainan.

Dodengo sendiri merupakan pertunjukan tradisi seni bela diri yang berasal dari Suku Gamkonora di Kecamatan Ibu Selatan, Kabupaten HalmaheraBarat, Maluku Utara. Tradisi ini selalu dirayakan setiap kali memasuki bulan Syawal.

Namun, lebih jauh daripada itu, Dodengo telah dianggap sebagai tradisi leluhur yang memiliki nilai-nilai sejarah yang sangat kuat terhadap peradaban masyarakat Suku Gamkonora. Karena itu, Dodengo menjadi agenda tahunan yang selalu dinantikan.

Berdasarkan sejarah, Dodengo pertama kali dikenalkan oleh Syekh Ishaq Walliyuallah asal Iran pada abad ke-13 yang saat itu tiba di Gamkonora. Kedatangan Syeikh Ishaq tersebut pun disambut seorang pria asli Gamkonora hingga keduanya memainkan Dodengo.

Syekh Ishaq kemudian menggunakan Dodengo sebagai pintu masuk untuk menyebarkan agama Islam di Gamkonora. Maka tak heran jika Dodengo sangat kental dengan nuansa Islam karena tradisi ini memiliki relasi kuat.

Baca Juga:  Turbulensi di Langit Makassar

Dodengo tak hanya memiliki hubungan dengan penyebaran agama Islam di Gamkonora semata. Namun, Dodengo dan Gamkonora juga mempunyai hubungan yang tidak bisa dipisahkan dengan masa Kesultanan Ternate.

Menurut Akbar Baron selaku pemerhati Gamkonora, dahulu Gamkonora terkenal memiliki sumber daya manusia (SDM) yang pandai di medan perang. Akbar bilang, hal itu karena orang-orang Gamkonora lihai memainkan Dodengo.

“Untuk Sangaji Gamkonora dalam setiap Kesultanan Ternate membutuhkan pasukan perang itu dikirimlah Kapita-kapita dari Gamkonora,” ungkap Akbar Baron.

Dia mengungkapkan, untuk menjadi seorang Kapita Gamkonora itu bukanlah perkara mudah. Sebab, harus melewati berbagai tahapan-tahanapan dan ritual untuk seseorang disematkan menjadi seorang Kapita.

“Untuk disematkan menjadi seorang Kapita harus melewati berbagai ritual. Nah, salah satu ritual itu termasuk kemudian yang kita kenal sebagai Dodengo itu,” ujarnya.

Meski begitu, Akbar bilang, memainkan Dodengo tidak semudah yang dilihat seperti saat ini. Sebab, dia menjelaskan, butuh tahapan-tahapan spiritual bagi seseorang yang ingin menunjukan kemampuan Dodengo.

“Dulu itu ada proses untuk melewati tahapan-tahapan spiritual, makanya. dibutuhkan seorang guru,” tuturnya.

Untuk tahun ini sendiri, selain menjadi agenda setiap tahun di awal bulan Syawal, pertunjukan Dodengo terasa lebih istimewa. Hal ini lantaran Dodengo dipertontonkan dalam Pancora Beach Festival 2025.

Pancora Beach Festival 2025 ini merupakan agenda pariwisata perdana yang digagas oleh pemuda-pemuda Desa Talaga. Selain Dodengo, festival ini juga banyak mengenalkan tradisi dan budaya asli Desa Talaga atau masyarakat Gamkonora.

Akbar sendiri berharap, melalui Pancora Beach Festival 2025 dapat mempromosikan tradisi Dodengo ke masyarakat yang jauh lebih luas. Dia ingin, masyarakat di luar Gamkonora juga bisa mengenal Dodengo.

“Ya harapannya melalui Pancora Beach Festival ini bisa mengenalkan Dodengo ke masyarakat luar. Bahwa kami di Gamkonora punya tradisi yang namanya Dodengo,” pungkasnya.

Baca Juga:  Kota Tua dan Jejak Toleransi di Ternate
Penulis: Raymond LatimahinaEditor: Faris Bobero