Filosofi Tahu Diri

Herman Oesman, Spsiolog Maluku Utara. Foto: Faris Bobero/cermat

Oleh: Herman Oesman*

AKHIR-akhir ini di sekitar kita, berhamburan fenomena kata-kata : “tara tahu diri.” Mulai dari elit di birokrasi, penguasa, elit partai politik, organisasi massa hingga pada lapisan orang awam yang mengalami proses mobilitas sosial dengan status baru sebagai elit rakyat. Fenomena tara tahu diri ini begitu kental bermain-main dan justru kita legitimasi bahwa itulah realitas yang sesungguhnya.

Tulisan ini hanyalah sebagai bahan mendialogkan patahan fenomena yang sementara kita alami dan rasakan, yang (tanpa) sadar kita masuki dimensinya lalu menyetujui apa yang ada, tanpa mampu meresponnya dengan baik.

Tara Tahu Diri 

Fenomana tara tahu diri di kalangan elit dan aparatus birokrasi dapat kita lihat dengan tata kinerja yang amburadul, tidak profesional dan banyak diselimuti dengan nuansa koruptif, nepotis dan manipulatif yang pada akhirnya muncul stigma; ”Kok, orang itu masih dipakai?,” ”Apa prestasi dan kinerjanya selama ini?” dan sejumlah pertanyaan ”heran” lainnya. Belum selesai sampai disitu, perhatikan bagaimana gaya birokrasi kita, penuh kelemahan, tapi masih bertolak pinggang sebagai ”orang berkuasa.” Dan apa yang terjadi kemudian, bukan peningkatan profesionalitas kinerja tapi justru penimbunan masalah.

Pada level penguasa, kita seakan-akan dihipnotis untuk harus taat dan patuh pada mereka yang punya kuasa. Konsep kuasa di sini sangat cair, dan tidak terpaku pada struktur yang selama ini kita kenal. Apa yang selama ini terjadi pada mereka yang punya kuasa? Fenomena tara tahu diri juga ikut disemai dengan subur di sana. Berapa banyak orang-orang berkuasa memiliki niat  baik dan tahu diri untuk turun ketika sejumlah masalah menghimpitnya? Tak banyak. Kita mungkin masih ingat bagaimana Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI Pertama dengan penuh takzim dan kebesaran jiwa mundur dari jabatannya dan mengakhiri Dwi Tunggal Soekarno-Hatta ketika terjadi beda prinsip dengan Soekarno. Kita juga masih ingat, Prof. DR. Harun Al-Rasyid, Guru Besar Hukum Tata Negara UI, berhenti sebagai anggota dan wakil ketua KPU ketika institusi tersebut terlelap dalam kolam korupsi.

Baca Juga:  Hotel Safirna Transito

Pada level organisasi massa hingga partai politik, fenomena tara tahu diri justru lebih gemuk dan sangat subur. Hal itu dapat ditilik dari bagaimana mereka tak mau mengakhiri kekuasaannya, tapi justru dibikin panjang. Peluang untuk tunduk pada kepentingan yang lebih besar, regenerasi dan terjaganya demokratisasi, justru direduksi hanya karena tara tahu diri. Alhasil, untuk kasus ini kita bukan saksikan hadirnya orang-orang besar, justru sebaliknya yang terlihat adalah orang-orang kerdil yang rajin mengumpulkan remah-remah kehormatan, agar mengokohkan diri sebagai orang terhormat untuk akhirnya dihormati. Sebuah pencitraan kekuasaan. Tidak hanya pada level partai politik, pada wilayah kampus juga demikian, masih bertebaran orang-orang tara tahu diri.

Bagaimana dengan calon wakil rakyat kita? Lagi-lagi tara tahu diri begitu hampir sempurna dipertontonkan. Dengan semangat tinggi, mereka ’berjuang’ walau dengan modal dan kapasitas diri sangat terbatas. Dengan modal nekad, mereka berani memaksakan kehendaknya pada anggota KPUD untuk lolos sebagai ”orang terhormat,” termasuk dengan jalan transaksional materi. Sekali lagi tara tahu diri menjadi fenomena. Maka marilah kita saksikan pada waktunya nanti para wakil rakyat –yang lama atau yang baru– saling berkontes ria, memainkan sandiwara politik, berdagang sapi dan ikan dalam setiap moment politik yang sudah kian dekat. Dan, berharap pada wakil rakyat agar kualitas kehidupan rakyat semakin baik, rasa-rasanya lebih baik kita bawa dalam mimpi indah saja.

Orang Besar, Orang Tahu Diri

Orang-orang besar tumbuh dan hadir di panggung sejarah kehidupan hanya karena hal paling sederhana, tahu diri. Orang yang tahu diri adalah mereka yang sadar bahwa tak ada pemimpin besar dilahirkan dalam waktu pendek atau seumur hidup. Orang tahu diri adalah mereka yang dapat mengukur kemampuan dan otentisitas dirinya, ketika ia tahu bahwa ia tak mampu, ia harus berhenti. Bukan sebaliknya, mencari jalan dengan menghalalkan segala cara. Orang tahu diri adalah orang yang bisa berhitung kapan harus maju dan kapan harus berhenti. Orang tahu diri yaitu mereka yang bisa menempatkan dirinya pada posisi yang sesuai dengan kapasitasnya, bukan kasak-kusuk mencari posisi dan status dengan strategi cari muka dan ambil hati.

Baca Juga:  Hatel Aranis

Orang tahu diri adalah mereka yang memiliki kesadaran kuat bahwa menjadi orang terhormat lebih penting daripada orang berkuasa. Orang tahu diri adalah mereka yang tahu bahwa orang besar bukan karena ia berkuasa, tetapi karena bisa berbuat dengan kekuasaannya suatu perkara-perkara kecil dan biasa yang justru memberikan manfaat bagi kesejahteraan banyak orang. Dan, orang tahu diri adalah orang besar yang selalu bertindak atas nama kepatutan, bukan sekadar menuntut kepatuhan. 

Pilihan

Fenomena tara tahu diri hampir pasti telah menggerogoti mentalitas kita. Apapun kita lakukan hanya untuk mengikuti tuntutan tara tahu diri itu. Dan, yang memprihatinkan, fenomena itu telah menjadi aksiomatika dan referensi bagi siapa saja, yang justru seharusnya diharapkan dapat menjadi harapan bagi tegaknya nilai dan moral. Yang terjadi kemudian, kita ternyata lebih mudah terjerat dan tergoda pada fasilitas kekuasaan dan kehormatan. Tara tahu diri adalah suatu fenomena yang terjadi akibat kita salah bercermin pada realitas yang memang amburadul, kehilangan keteladanan sosial, serba permissif dan lebih dari itu, ternyata orang berkuasa dan orang terhormat lebih gampang mempertontonkan secara telanjang tara tahu dirinya di tengah publik. Contoh : kasus korupsi pejabat, pamer kekayaan dan materi, kongkalikong tender proyek, dan sebagainya.

Ungkapan John Adams (1735-1826), seorang diplomat, dan mantan Presiden AS kedua, bisa membuat kita sedikit merenung, emosi dan kaget, ”semua orang adalah monster yang serakah ketika nafsunya gagal dijaga.” Sekarang, pilihan ada pada kita, mau jadi orang berkuasa dan orang terhormat tapi tara tahu diri atau orang besar yang tahu diri?[]


* Herman Oesman, akademisi, sosiolog Maluku Utara, adalah penasehat di jalamalut
* Artikel ini sebelumnya diterbitkan pada 18 Septeber 2017

Baca Juga:  Hotel Safirna Golden