Geliat Prostitusi di Pertambangan Halmahera

"Banyak orang berbondong-bondong datang ke Lelilef bukan hanya ingin kerja di tambang, termasuk menjadi PSK di sana."

Seiring mobilitas penduduk yang meningkat tajam, banyak bangunan losmen di perkampungam Lelilef kerap jadi sarang prostitusi. Meski keberadaannya tak terendus, praktik pelacuran di wilayah pertambangan Halmahera Tengah ini terus menggeliat. Foto: Rian Hidayat Husni/cermat

JAM gawai menunjukkan pukul 00.58 WIT, Kamis, 23 Januari 2025. Dua perempuan tampak berdiri di depan pintu masuk sebuah losmen di kompleks Permukiman Lelilef Sawai, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara.

Entakan suara musik karaoke yang semula terdengar samar, perlahan makin kencang diiringi kerlap-kerlip lampu yang memancar remang-remang dari pintu losmen itu. Beberapa lelaki muda sesekali terlihat baru keluar.

Suasana memang terasa lengang tanpa hilir-mudik kendaraan. Pusat pertokoan yang berjajar mendekati losmen tersebut tampak sepi. Hanya satu-dua pemotor sibuk berlalu-lalang.

Di depan losmen, kami lantas berhenti sejenak sembari berjalan mendekati bangunan berwarna jingga yang tersohor sebagai pusat prostitusi di wilayah pertambangan Halmahera Tengah tersebut.

Pada bagian atas pintu losmen yang lebarnya sekitar 1,5 meter, terpampang papan nama bertuliskan “Penginapan Akedoma”. Bangunan yang lebih menyerupai gedung wisma ini setidaknya hanya berjarak selangkah dari jalan raya–membuatnya mudah dijangkau.

Pintu penginapan yang dibiarkan terbuka sepanjang malam juga memungkinkan siapa saja bisa masuk. Sementara di siang hari, lokasi ini cukup sunyi.

Beberapa potret PSK yang berada di balik pintu Penginapan Akedoma. Mereka tampak menunggu pelanggan datang. Foto: Rian Hidayat Husni/cermat

Kebanyakan PSK (Pekerja Seks Komersial) di Penginapan Akedoma memang terlihat masih berwajah belia. Mereka berdandan semenarik mungkin meski tanpa kosmetik tebal. Akan tetapi, sulit untuk memastikan usia mereka yang sebenarnya.

Saat kami menelusuri tempat yang diduga menjadi sarang prostitusi di Lelilef melalui aplikasi kencan, sejumlah PSK memang menunjukkan lokasi serupa.

“Sudah janjian ya kak?” tanya seseorang yang mengaku bernama Vivi yang baru keluar dari pintu losmen itu.

Dari parasnya, Vivi berpakaian laiknya perempuan dengan rambut terurai. Ia lebih tepat disebut seorang transpuan yang bertugas menunggu tamu dan mengarahkan mereka ke kamar.

“Saya tinggal di sini. Biasa dipanggil Vivi. Kalau mami ada di dalam. Saya bantu arahkan saja,” kata dia saat berbincang dengan kami di parkiran penginapan.

Vivi sejatinya lihai menawarkan jasa perempuan yang mereka pekerjakan. Gesturnya yang cenderung feminin juga menunjukkan bukan kali pertama ia menekuni profesi tersebut.

“(Kebetulan) ada dua kamar yang ready, ini dorang (wanita) punya foto. Harga paling di bawah empat ratus (ribu), bebas kondom,” ucapnya sambil menodongkan beberapa foto perempuan di layar gawai kepada kami.

Menurut Vivi, para tamu biasanya memesan jasa PSK melalui aplikasi MiChat ataupun mendatangi langsung Penginapan Akedoma. “Tergantung nego, deal-nya berapa, langsung masuk,” kata Vivi.

Tak hanya di Akedoma, hamir sebagian besar gedung penginapan di Lelilef menyediakan bilik-bilik kamar untuk dijadikan prostitusi. Foto: Rian Hidayat Husni/cermat.

Adapun belasan kamar berukuran sekitar 3×4 di Penginapan Akedoma. Beberapa di antaranya dijadikan untuk prostitusi. Meski akrab dengan sebutan “sarang bisnis lendir”, penginapan ini bukan satu-satunya pusat lokalisasi yang menjamah para lelaki hidung belang di sana.

Setidaknya banyak losmen di Lelilef menyediakan perempuan yang menawarkan jasa seks untuk tamu kamar, atau bagi mereka yang hanya sekadar datang melampiaskan hasrat berahinya.

Penginapan di Lelilef umumnya berbentuk persegi panjang dengan konstruksi bangunan permanen dan semi permanen yang tersedia bilik-bilik kamar. Sekilas, bentuknya memang serupa rumah bordil. Alih-alih membuka layanan tempat menginap, banyak losmen di kawasan ini justru menjadi pusat lokalisasi yang dapat dijamah secara bebas.

PSK biasanya menempati penginapan bersama muncikari yang kerap mereka sebut mami. Setiap mami memiliki peran menghubungkan pelanggan dengan perempuan yang dipekerjakan. Hal itu diakui NC, 28 tahun, seorang muncikari yang berkesempatan kami temui di salah satu rumah perkampungan Lelilef Sawai, malam itu.

NC mengaku sering mematok tarif PSK berkisar Rp400-700 ribu melalui aplikasi kencan yang ditawarkan kepada pelanggan.

“Biasa pakai dua akun (MiChat). Yang satu milik PSK, satunya lagi dipegang mami. Lebih banyak pelanggan yang minta foto gitu, terus kita kirim, tinggal dipilih. Jatahnya juga lumayan, kalau di-boking 700 ribu, mami ambil bagian 300 ribu,” kata NC.

Ketika menyinggung Penginapan Akedoma, NC menceritakan peristiwa viral pernah terjadi beberapa waktu lalu pada pertengahan September 2024. Ia bilang, seorang pria berujung dipukul lantaran tak mau membayar jasa PSK setelah mereka bersetubuh.

Baca Juga:  Pemerintah Didesak Hentikan Operasi Tambang PT FMI di Haltim Buntut Penyerobotan Lahan

Insiden tersebut bikin Penginapan Akedoma makin dikenal di berbagai plartform media sosial. “Pernah viral, laki-lakinya dipukul mami karena tidak mau bayar. Alasannya perempuan yang dipesan tidak sesuai foto, padahal sudah main,” ujarnya.

Di Bawah Umur

Kendati harus bekerja paruh waktu, setiap PSK terutama di Penginapan Akedoma, menurut NC, tetap diberi kebebasan. Mereka tidak terikat oleh aturan apapun dari mami atau bahkan oleh pemiliki losmen. “Hubungannya cuma pada mencari pelanggan saja.”

NC menuturkan bahwa kebanyakan perempuan di sana masih berusia belia. Umur mereka rata-rata sekitar 15-17 tahun. Para PSK itu, kata dia, berdatangan dari berbagai daerah di Maluku Utara seperti Tobelo (Halmahera Utara), Ternate dan Bacan (Halmahera Selatan). Adapula dari Manado (Sulawesi Utara) dan Pulau Jawa.

“Paling banyak itu dari Ternate,” ungkapnya.

NC yang tampak leluasa membeberkan aktivitas prostitusi di Penginapan Akedoma, mengaku tidak perlu ekstra hati-hati lantaran tempat tersebut sudah terkenal luas di kalangan masyarakat, bahkan oleh pihak kepolisian.

“Rata-rata masih di bawah umur, mereka kelahiran 2000-an ke atas. Ada yang masih 15 tahun. Kalau pelanggan tanya umur kita tidak sembunyi-sembunyi,” ujarnya.

Melalui NC, kami berupaya meminta persetujuan untuk menghubungi para PSK di Penginapan Akedoma yang masih berusia di bawah umur, namun, mereka menolak untuk dimintai keterangan. “Katanya tidak bisa. dorang (mereka) takut,” ucapnya.

Polisi, kata dia, memang beberapa kali melakukan razia di Penginapan Akedoma, namun menurut NC, belum pernah terjadi penangkapan terhadap PSK yang masih di bawah umur.

“Polisi palingan cuma razia biasa, sudah tahu di situ tempatnya PSK. Sejauh ini belum ada yang ditangkap. Palingan cuma razia periksa kamar ada captikus atau tidak, ada narkoba tidak, juga semacam periksa keamanan.”

Polisi mengamankan 20 pelaku dugaan kasus prostitusi dan penjualan minuman keras dalam operasi pekat akhir 2024 lalu. Foto: Istimewa

Sejumlah tempat pelacuran di Lelilef dan lokalisasi lainnya di Kecamatan Weda Tengah, sejak dua dekade terkahir, secara berkala sering digerebek polisi. Kasus-kasus hingga perdagangan anakpun ditemukan.

Pada medio 2023-2024, misalnya, Direktorat Reserse Kriminal (Ditreskrim) Polda Maluku Utara mengungkap kasus TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) yang menyeret seorang anak berusia 16 tahun. Anak gadis asal Ternate itu dipekerjakan sebagai PSK untuk melayani karyawan tambang di Lelilef.

Empat orang pelaku ditangkap dalam kasus yang tergolong extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa tersebut. Mereka terdiri dari seorang penyewa jasa, dua muncikari dan seorang PSK. Dalam kasus ini, polisi kemudian menetapkan dua muncikari sebagai tersangka dengan ancaman hukuman 3 tahun penjara. Sementara PSK di bawah umur diserahkan ke Dinas Pemberdayaan Anak dan Perlindungan Perempuan Provinsi Maluku Utara.

Pada akhir 2024, polisi menghentikan sementara sejumlah penginapan yang diduga menjadi sarang prostitusi di Lelilef dan Kota Weda–Ibu Kota Kabupaten Halmahera Tengah.

Polisi juga mengamankan sedikitnya 20 pelaku dalam dugaan kasus prostitusi dan minuman keras saat pelaksanaan operasi Pekat (Penyakit Masyarakat) yang digelar Polres Halmahera Tengah di Kecamatan Weda Tengah akhir Desember 2025.

Para pelaku kemudian diberikan pembinaan untuk tidak mengulangi perbuatannya. Mereka dilaporkan kepada orang tuanya dan kelurga, namun tidak dijerat dengan pasal perzinaan lantaran tak ada laporan yang menjurus ke tindak pidana.

“Operasi ini dilakukan sebagai langkah preventif untuk menciptakan suasana aman dan tertib terkait penyakit masyarakat,” kata Kapolres Halmahera Tengah, AKBP Aditya Kurniawan dalam keterangan tertulis yang dikutip cermat, 03 Februari 2025 lalu.

Sementara itu, Kepala Seksi (Kasi) Humas Polres Halmahera Tengah, IPDA Ramli Soleman yang dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp pada 26 Februari 2025 lalu perihal apakah polisi pernah menangkap pelaku PSK di bawah umur dan bahkan sudah ada yang dipidanakan terkait kasus ini, belum memberikan keterangan hingga laporan ini ditayangkan.

Baca Juga:  Jejak Kolonialisme di Negeri Rempah

Tamu Karyawan Tambang

Kehadiran bisnis prostitusi berkedok penginapan di Lelilef memungkinkan pekerja tambang lebih mudah menemukan tempat untuk berhubungan intim. Hal ini seiring dengan pembangunan perumahan kontrak di wilayah rersebut makin pesat sejak beberapa dekade terakhir. Terutama ketika Lelilef mulai ramai dihuni pekerja tambang.

Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Halmahera Tengah mencatat, pada 2024, total tenaga kerja sektor tambang mencapai 78.000 orang, terdiri dari tenaga dalam negeri 68.000 dan tenaga kerja asing 4.000. Sedangkan jumlah penduduk Kecamatan Weda Tengah yang terdata tahun 2023 adalah 13.282 jiwa, terdiri 8.498 laki-laki dan 4.784 perempuan. Perkampungan di Lelilef memang jadi pusat domisili banyaknya karyawan tersebut.

Hilir-mudik pekerja tambang di jalanan permukiman Lelilef, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara, pada Kamis, 23 Januari 2025. Foto: Rian Hidayat Husni/cermat

Semenjak tambang beroperasi, populasi penduduk Weda Tengah terus merangkak naik. Pada tahun 2020 melalui Perpres Nomor 109, pemerintah kemudian menetapkan wilayah ini masuk Kawasan Industri (KI) yang terhubung dengan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), perusahaan yang mengelola bahan tambang feronikel dan turunannya menjadi baterai kendaraan listrik, stainless steel, fasilitas pendukung hingga pembangunan smelter.

“Banyak orang berbondong-bondong datang ke Lelilef bukan hanya ingin kerja di tambang, termasuk menjadi PSK di sana,” ucap Kinan (samaran) yang berusia 30 tahun, pada Jumat, 25 Januari 2025 lalu. Perempuan asal Jawa Timur itu menolak menyebut nama asli untuk alasan keamanan saat kami menemuinya di Kota Weda.

“Kalau tanggal gajian kebanyakan tamu itu rata-rata karyawan (tambang). Penghasilan sehari bisa 4 sampai 5 juta. Ada juga karyawan China,” kata dia.

Tiga tahun terakhir Kinan menggeluti profesi sebagai PSK. Ia tinggal di indekos di Lelilef. Terkadang, Kinan bolak-balik dari Kota Weda ke Lelilef dengan jarak sekitar 40 kilometer demi mencari peruntungan.

Dia mengaku faktor ekonomi mendorongnya terjun ke industri gelap tersebut terlebih usianya juga tak lagi muda dan sulit mencari pekerjaan lain.

“Mulai 2022 itu saya masuk Lelilef. Diajak teman katanya banyak pelanggan di sana. Saya stay di kos-kosan, kalau ada tempat sendiri kan lebih bagus,” ujar Kinan.

Keberadaan tempat pelacuran di Lelilef, menurutnya, tidak hanya dapat dijumpai di banyak penginapan atau losmen. Sebagian PSK justru menjajakan diri secara personal dengan membuka layanan seks di indekos mereka masing-masing. Bagi dia, hal itu lebih diuntungkan dibandingkan menggunakan jasa para mami.

“Tetapi risikonya kadang-kadang ada tamu yang nakal gitu.”

Kondisi perkampungan Lelilef di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Potret aktivitas warga di tengah tebaran debu jalanan. Foto: Yunita Kaunar/kalesang.id

Menjadi pekerja seks di kawasan pertambangan juga memaksa Kinan perlu ekstra hati-hati karena rutinnya pelanggan yang datang. Setiap malam, ia harus melayani 4-6 orang pria hidung belang dengan tarif yang dipatok beragam.

“Saya patok harga paling standar 400 ribu, tergantung durasinya. Tapi seringkali sepi juga,” ucap dia. Kendati begitu, Kinan mengaku tidak menutup kemungkinan dirinya juga bakal hiatus dari industri prostitusi tersebut di masa mendatang.

“Pastilah. Tidak selamanya juga kerja beginian. Capek juga,” katanya.

HIV Mengintai

Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat (PKM) Lelilef, Asjuati Tawainella mengatakan, tingginya mobilitas penduduk hingga kemunculan lokalisasi di sana membuat masyarakat terutama pekerja tambang terancam dibayangi penyakit menular seperti HIV/AIDS.

Pihaknya telah mendata 9 penderita HIV/AIDS yang tengah menjalani pengobatan rutin di PKM setempat. Dari 9 penderita itu, 1 di antaranya merupakan wanita pekerja seks atau WPS, kemudian 1 penderita kategori lelaki seks lelaki (LSL) dan 2 orang waria. Sementara 5 lainnya merupakan pasien rujukan dari luar wilayah.

Baca Juga:  Belasan ASN Pemkot Ternate Ajukan Permohonan Pensiun Dini

Menurut Asjuati, jumlah ini dimungkinkan masih bertambah lantaran pemeriksaan hanya dilakukan pada populasi kunci serta mereka yang merupakan pasien rujukan dari luar daerah. Kehadiran banyak pekerja tambang sedikit banyak membuat kegiatan prostitusi dan dampak buruk industri ini makin sulit dibendung.

“Khusus PSK, kami memang sudah beberapa kali melakukan pemeriksaan di sejumlah tempat, termasuk penginapan. Tetapi harus ada izin dulu, kemudian surat kesediaan untuk individu yang mau diperiksa. Kadang kita juga terkendala karena kebanyakan (PSK) tidak mau terbuka. Padahal itu kewajiban karena pekerjaan mereka tentu berisiko,” katanya.

HIV/AIDS, kata Asjuati, merupakan fenomena “gunung es” yang berbentuk piramida dan memiliki potensi penyebaran secara terstruktur. “Kalau yang bagian atasnya terinfeksi, maka otomatis dia bercabang dan seterusnya.”

Sampel pemeriksaan HIV/AIDS di PKM Lelilef, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Rian Hidayat Husni/cermat
PKM Lelilef hingga Februari 2025 telah melakukan pemerinksaan HIV/AIDS kepada 164 orang. Foto: Rian Hidayat Husni/cermat

 

Sebelumnya, pada November 2024, dua desa di Kecamatan Weda Tengah yakni Desa Lelilef Sawai dan Lelilef Woebulen yang didominasi pekerja tambang ditetapkan sebagai kampung penanganan HIV/AIDS. Kebijakan ini dilakukan pemerintah provinsi sebagai upaya melawan penyakit menular tersebut.

Asjuati menyebut, layanan pengobatan bagi penderita HIV/AIDS digratiskan bagi siapa saja. “Pemeriksaannya juga dibuka secara gratis untuk masyarakat di sini. Tetapi harus punya KTP di sini, karena kuota pemeriksaan kita terbatas. Ini sesuai arahan pemerintah pusat,” ucapnya.

PKM Lelilef gencar melakukan sosialisasi terkait pencegahan dini HIV/AIDS yang dilakukan di berbagai tingkat sekolah-maupun saat pelaksanaan posyandu untuk ibu hamil.

“Virus ini menjadi ancaman bukan saja saat ini, tetapi juga di masa mendatang. Karena itu, masyarakat perlu memiliki kesadaran untuk melakukan pemeriksaan secara rutin,” ujarnya.

Data tahun 2024 menunjukkan jumlah keseluruhan kasus HIV/AIDS di Halmahera Tengah mencapai 120 kasus yang meningkat setiap tahunnya. Kepala Dinas Kesehatan, Lutfi Djafar menyatakan, selain kehadiran industri tambang, indikasi sebaran HIV juga terdapat pada titik masuknya mobilitas masyarakat dari berbagai daerah.

“Halteng ini kan termasuk mobilitas penduduknya tinggi. Jadi indikasi sebarannya juga ada pada titik masuk wilayah, misalnya dari Irian (Papua), termasuk karena ada industri pertambangan,” ujarnya.

Dia mengaku penanganan HIV memang sepenuhnya diserahkan ke PKM masing-masing wilayah di Halmahera Tengah yang totalnya terdapat 12 PKM.

“Beberapa kali Halteng justru mendapatkan penghargaan secara nasional terkait implementasi program dan pelaksanaan kegiatan, dari segi kesehatan. Juga inovasi daerah yang aspek kesehatannya masih tergolong baik,” ucapnya.

Dampak Sosial

Pusat-pusat lokalisasi berkedok penginapan dan indekos yang kini perlahan terendus hingga mempekerjakan anak di bawah umur di Halmahera Tengah sejatinya menunjukkan akibat dari gejala sosial atas dampak industri pertambangan.

“Padahal, kehadiran tambang harusnya memberikan kesejahteraan sosial untuk masyarakat. Fenomena ini juga dipicu oleh kemiskinan struktural serta kurangnya kesempatan bekerja di lingkungan industri yang memaksa sebagian perempuan justru terjun ke dunia prostitusi, yang secara sosial, dianggap memalukan,” kata Praktisi Hukum LBH Marimoi di Maluku Utara, Fahrijal Dirhan.

Di sisi lain, Fahrijal meyakini tumbuhnya tempat pelacuran di Lelilef disebabkan oleh hilangnya mata pencaharian sektor lain karena operasi pertambangan yang terus merekrut banyak pekerja.

“Lahan pertanian yang digarap mulai hilang, biaya pendidikan tinggi, kemudian kesempatan bekerja secara layak juga membutuhkan banyak persyaratan, semuanya memengaruhi latar belakang pendidikan mereka,” ucap dia.

Ia menuturkan pemerintah dan aparat penegak hukum perlu mengambil langkah preventif dalam masalah yang terjadi belakangan ini di Kabupaten Halmahera Tengah. “Terutama terkait keterlibatan anak-anak di bawah umur yang menjual diri mereka untuk melanjutkan keberlangsungan hidup.”


Laporan ini bagian dari “Mengawasi PSN di Maluku Utara” bersama Aji Indonesia, Kurawal, dan Independen.id