Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bidadari Halmahera menggelar Focus Group Discussion (FGD) “Identitas Akar Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak” di Hotel Grand Majang, Ternate.
Selain melibatkan aktivis perempuan, kegiatan yang berlangsung pada Selasa (19/7) ini, juga turut dihadiri sejumlah perwakilan lembaga, seperti AJI Ternate, Pusat Studi Perempuan dan Anak UMMU, Bappelitbangda Malut, Pusmat, Independensia, UPTD-PPA, IMMAWATI Cabang Ternate, KAMMI, dan Pilas.
Direktur LSM Bidadari Halmahera, Sahrony A. Hirto, mengatakan FGD tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan riset yang akan dilakukan di seluruh kabupaten/kota di Maluku Utara. Karena itu, semua masukan dan kritik atas perencanaan metode dan metodologi oleh peserta sangat berguna.
“Inilah tujuan dibuatnya FGD, menghimpun banyak-banyak perspektif dan pengalaman dari peserta, baik dalam hal pengalaman pendampingan korban maupun dalam upaya menekan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” jelas Sahrony.
Musrifa, perwakilan Dinas PPA Provinsi Maluku Utara, yang membuka FGD tersebut, minta untuk selalu ada partisipasi masyarakat dalam bekerja sama meminimalisir angka kekerasan perempuan dan anak.
“Semoga FGD ini dapat melahirkan rekomendasi atau indikator awal sebelum berjibaku dengan survei lapangan di 10 kabupaten/kota di Maluku Utara,” harapnya.
Sementara Yulia Pinang, salah satu peserta kegiatan itu, menyebut selama ini penyidik di Maluku Utara kerap menggunakan metode yang hampir sama dengan penanganan kasus pencurian dan kasus kriminal lainnya. Karena itu, ia mengusulkan ke depan perlu ada penguatan materi penyidikan yang menyentuh hal-hal substantif.
“Seluruh aktivis di Maluku Utara yang peduli perempuan dan anak, mari konsisten bergerak dan bersuara perihal masalah dasar ini,” pintanya.
Berbeda dengan Yulia, Syaiful Bahri, perwakilan dari HIMPSI, lebih menyoroti metode riset agar dapat menelusuri dimensi psiko-sosial dan perilaku atau pola asuh anak dalam kebiasaan orang Maluku Utara.
“Ini diperlukan, mengingat kita perlu membaca akar kekerasan secara menyeluruh. Tidak boleh menggunakan satu faktor tunggal pemicu kekerasan,” paparnya.
Sebab pola asuh anak, lanjut Syaiful, kurang muncul dalam upaya-upaya pendampingan atau pemberdayaan selama ini. Selain itu, bagi ia, ada proses hukum di pengadilan dalam menyelesaikan kasus kekerasan, bahkan masih dalam ranah yang kurang memuaskan.
“Hal ini disampaikan oleh Perwakilan Pusat Studi Wanita (PSW) Universitas Khairun Ternate. Karena menurut beliau, sering kali keputusan hukum sudah dijatuhkan tetapi pelaku tidak dikenakan sanksi hukumnya, karena pendekatan kekeluargaan,” pungkasnya, mengulangi paparan perwakilan PSW.
—
Reporter: Sansul Sardi
Editor: Ghalim Oemabihi