Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Ternate, Maluku Utara, telah menerima hasil uji laboratorium dari sampel air laut di pesisir Kelurahan Sasa, Kecamatan Ternate Selatan.
Pengujian di laboratorium Water Laboratory Nusantara (WLN) Indonesia, Manado, itu untuk mencari tahu kondisi parameter baku mutu air laut yang diduga menyebabkan pencemaran. Termasuk mengakibatkan matinya ribuan ikan yang terdampar di sekitar pabrik pengolahan tahu-tempe, Kelurahan Sasa, Minggu, 10 September 2023.
Kepala Bidang, Syarif Tjan mengatakan, dari hasil uji laboratorium, terdapat 4 parameter yang mengalami kenaikan sangat signifikan melebihi baku mutu air laut.
Di antaranya parameter Nitrat (NO2) dengan baku mutu 0,06 mengalami kenaikan 0,37, parameter Ammonia (NH3) dengan baku mutu 0,06 naik menjadi 0,37, parameter Fosfat (H3PO4) dengan baku mutu 0,15 naik 0,412, dan parameter Hidrogen Sulfida (H2S) dengan baku mutu 0,01 naik 0,400.
“Jadi dari keempat parameter ini kami mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi pencemaran yang cukup signifikan yang berasal dari limbah organik,” jelas Syarif, Rabu, 27 September 2023.
Syarif menjelaskan, limbah organik yang bisa menyebabkan ikan mati itu seperti pada parameter Hidrogen Sulfida, Ammonia dan Fosfat. Jika baku mutu air laut pada ketiga parameter ini naik, maka ikan bisa mati mendadak.
“Sekarang pertanyaannya apakah limbah tahu mengandung fosfat, limbah tahu itu iyah mengandung. Tetapi sangat sedikit, yang lebih banyak justru dari detergen, hasil cucian, hasil pertanian, pemakaian pupuk, bisa mengalir ke laut juga,” ungkapnya
Dari hasil uji laboratorium itu, Syarif mengaku dugaan awal pihaknya, bahwa kematian ikan disebabkan ledakan plankton adalah keliru.
“Di sana tidak terjadi ledakan plankton tetapi parameter ammonia, nitrat dan hidrogen sulfida dan fosfat yang sangat tinggi sekali,” timpal ia.
Syarif pun tak menampik bahwa beroperasinya dua pabrik pengolahan tahu-tempe adalah salah satu sumber pencemar. Namun, ada juga pencemaran dari air limbah domestik.
“Jadi akumulasi dari semua sumber pencemaran,” cetus ia.
Sebagai langkah lanjutan dari hasil uji laboratorium ini, Syarif memastikan pihaknya akan segera mengambil langkah teknis.
Di antaranya mewajibkan dua pabrik pengolahan tahu-tempe yang sudah memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) untuk membuat biodigester.
Biogester dimaksudkan agar ada upaya menangkap gas nektan. Caranya, air limbah itu masuk ke fasilitas biodigester baru kemudian masuk ke IPAL setelah gas nektannya ditangkap.
“Volume biodigester ini harus besar, karena produksi tahu ini semakin hari semakin meningkat jadi IPALnya itu sudah tidak mencukupi,” jelas dia.
Langkah teknis selain itu, adalah penanaman mangrove yang cocok untuk kondisi pesisir tercemar sedimen.
“Kita juga akan mengambil limbah pabrik tahu untuk kita lihat baku mutunya, apakah sudah sesuai baku mutu atau tidak,” tandasnya.
——–
Penulis: Erdian Sangaji
Editor: Ghalim Umabaihi