Oleh: Fahri Aufat*
Setelah lulus dari SMA, kebanyakan orang tua mendorong anaknya untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Alasan paling mendasarnya adalah agar supaya anaknya dapat mengubah bernasib lebih.
Ada tuturan sekaligus candaan yang secara eksplisit sarat akan makna, contohnya sekolah supaya kerja di kantor, atau sekolah supaya jang orang kase bodo-bodo. Artinya bahwa ada harapan besar di sana, di lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi tak sebatas memperoleh ijazah, akan tetapi ada pergulatan dan pengembangan intelektual.
Di sana pula ruang demokrasi tumbuh dan berkembang subur. Demokrasi adalah syarat kunci tumbuh dan berkembangnya intelektualitas di perguruan tinggi.
Sejalan dengan itu, Rocky Gerung menjelaskan, lingkungan kampus sebagai tempat pertempuran dan pertengkaran, pikiran jadi, pikiran (di kampus) harus diloloskan, dalam hal ini kebebasan akademik. Tanpa itu, bagi saya, kampus hanyalah “kuburan” intelektual dan akademisi tentu jauh lebih memahami akan hal itu.
Menelusuri hakekat perkembangan intelektual kampus dalam konteks kekinian antara harapan dan kenyataan teramat sangat tidak sesuai. Kampus yang pada substansinya sebagai penjaga gerbang pengetahuan, pergulatan dan perdebatan pemikiran kini dibatasi, dikontrol ketat serta dibungkam oleh birokrat kampus.
Mengapa tidak! Fakta tersebut terjadi di salah satu perguruan tinggi di Ternate Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU). Di mana, baru-baru ini sekelompok mahasiswa melakukan aksi demonstrasi mengenai ketidakberpihakan kebijakan kampus terhadap mahasiswa.
Demontrasi oleh mahasiswa tersebut kemudian direspons, disikapi pihak kampus dengan cara menghadirkan aparat kepolisian selama berhari-hari di lingkungan kampus dengan alasan menjaga keamanan.
Kebijakan kampus menghadirkan pihak kepolisian tersebut mengundang banyak tanya di kalangan mahasiswa. Padahal aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa merupakan aksi damai, tidak menimbulkan kericuhan, bentrok, chaos dan hanya menyampaikan aspirasi.
Bahkan pihak kampus melarang mahasiswa melakukan kegiatan-kegiatan seperti lapak baca, diskusi, kajian dan kegiatan literasi lainnya dalam meningkatkan intelektual mahasiswa, khususnya mahasiswa yang bergelut aktif di organisasi eksternal.
Ini sungguh lucu dan memalukan sekali. Kenapa? Sebab kampus hanya dapat tumbuh dan berkembang apabila ada persaingan secara logis dari berbagai latar belakang budaya manusia, disiplin ilmu dan organisasi.
Di mana, ruang dialektika, pergulatan, debat pemikiran, dan yang oleh Jurgen Habermas menyebutkan, kampus adalah tempat pertarungan gagasan. Yang terjadi malah pertarungan saling menyingkirkan.
Kebijakan yang melarang organisasi eksternal melakukan kegiatan di lingkungan kampus justru menunjukkan kelemahan, keterbatasan dan ketidakmampuan organisasi internal kampus untuk bersaing secara akal sehat.
Sudah cukup banyak fakta sejarah yang membuktikan bahwa, jika suatu kekuatan tidak dapat menyaingi kekuatan lainnya, maka, jalan satu-satunya yang ditempuh adalah menggunakan kekuatan represif untuk mengontrol, menekan, meneror dan bahkan tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan.
Padahal sejatinya bila ditinjau dari segi demokrasi, kampus sebagai ruang tumbuhnya pengetahuan; kebebasan menyampaikan gagasan tentu kebijakan tersebut adalah sebuah pelanggaran dan merupakan pembungkaman terhadap mahasiswa.
Lebih jauhnya, kebijakan tersebut bagian dari pathogen, penyakit yang dapat menghambat, membunuh ruang tumbuhnya nalar kritis dalam konteks peran mahasiswa sebagai agen of change.
Kampus tak beda jauhnya dengan rezim otoritarianisme seperti misalnya Hitler, Stalin dan rezim Orde Baru.
Keputusan tersebut, terkait kasus di atas adalah bukti bahwa pihak kampus telah melanggar UUD 1945 pasal 28E ayat (3) yang menyatakan, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Begitupun pelanggaran terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945 tentang kebebasan berorganisasi di lingkungan kampus adalah bukti kuat bahwa kampus telah mendorong tumbuhnya watak otoritarianisme akibat rendahnya kualitas intelektual.
Hal yang sama, Syed Hussein Alatas (1988) melalui bukunya, Intelektual Masyarakat Berkembang memberikan kritik pedas kepada para intelektual yang tidak mampu berperan di tengah masyarakat berkembang, dikarenakan kualitas rendah, yang diistilahkan dengan bebalisme (dikutip dalam, Kejahatan Dunia Intelektual, Agus Sb, dkk., 2022).
Perkara kualitas rendah, ketidakmampuan bersaing secara intelektual dan menggunakan kekuasaan dalam menyingkirkan kelompok saingan akan berakibat fatal pada matinya budaya akademik. Dan yang terjadi saat ini adalah kampus UMMU tak ubahnya kuburan intelektual.
—–
*Penulis adalah penggiat PILAS Institut