Puluhan orang yang tergabung dalam Front Marhaenis menggelar unjuk rasa di depan kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara pada Senin, 24 Februari 2025. Mereka mendesak agar Kejati segera menuntaskan sejumlah kasus dugaan korupsi yang hingga kini belum menemui titik terang.
Koordinator lapangan (Korlap) aksi, Ajis, mengatakan bahwa beberapa kasus yang ditangani Kejati sudah berlangsung lama, namun belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.
“Salah satunya adalah kasus dugaan korupsi anggaran makan minum (Mami) Wakil Kepala Daerah (WKDH) Maluku Utara yang sudah lama ditangani, tetapi hingga kini belum ada gelar penetapan tersangka,” ujarnya.
Selain itu, Ajis menyoroti dugaan korupsi di lingkup Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Maluku Utara. Kasus ini berkaitan dengan anggaran perjalanan dinas, alat tulis kantor (ATK), serta makan dan minum senilai Rp2,8 miliar. Menurutnya, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban realisasi anggaran tersebut tidak didukung oleh dokumen yang sah.
“Iya, ada temuan pertanggungjawaban yang tidak didukung dokumen lengkap, termasuk laporan pertanggungjawaban (LPJ) senilai Rp315 juta. Bahkan, Kepala Bappeda Maluku Utara diduga terseret dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) AGK,” jelasnya.
Ajis juga menyinggung dugaan kasus korupsi anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) di Kabupaten Kepulauan Sula tahun 2021 senilai Rp28 miliar.
“Anggaran BTT ini dikelola oleh dua instansi, yaitu Dinas Kesehatan sebesar Rp26 miliar dan BPBD Kabupaten Sula Rp2 miliar,” katanya.
Berdasarkan hasil perhitungan kerugian negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Maluku Utara, ditemukan indikasi kerugian keuangan negara lebih dari Rp1 miliar.
“Meski Kejari Sula telah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus ini, hingga kini belum ada perkembangan signifikan. Kami mendesak agar Kejati Maluku Utara segera mengambil alih kasus dugaan korupsi anggaran BTT tersebut karena diduga melibatkan sejumlah pejabat daerah,” tegas Ajis.
Aksi unjuk rasa ini menjadi bentuk tekanan publik terhadap Kejati Maluku Utara agar mempercepat proses hukum dalam kasus-kasus korupsi yang merugikan keuangan negara.