Oleh: Galim Umabaihi*
JURNALIS, sebagaimana profesi lainnya, dituntut menyelam dalam pengetahuan dan mengasah keterampilan terus-menerus hingga mumpuni. Sebab jika tidak, publik akan menjadi korbannya atas informasi yang berbelit-belit, berpihak, dangkal, bahkan hingga menyesatkan lantaran turut menyebarkan hoaks.
Memang, masalah profesionalisme tak pernah habis jadi obrolan di Indonesia. Sebab, setiap tahun Dewan Pers terus merilis ratusan laporan masyarakat atas masalah pemberitaan. Pada 2023, tercatat 813 pengaduan kepada Dewan Pers, meskipun pada 2024 turun di angka 678 kasus.
Kelalaian ini jika terus dibiarkan, publik tak lagi akan menaruh percaya pada kerja-kerja jurnalis. Padahal, di tengah peredaran informasi hoaks yang begitu deras di media sosial, keterampilan jurnalisme perlu terus diupdate—berinovasi untuk mengimbangi konten picisan versi warganet bahkan produk artificial inteligence (AI).
Melakoni profesi ini memang tak bisa hanya dengan motivasi mencari uang. Apalagi hanya untuk membangun relasi dengan kekuasaan. Jangan. Sebab yang pertama, anda tidak dijamin menjadi kaya. Dan kedua, anda akan melacurkan profesi ini, karena menggadaikan independensi.
Memulai profesi apa pun, termasuk jurnalis, setidaknya perlu melalui dengan mencintainya agar sampai pada ketekunan. Kita bisa pinjam kata cinta pada etimologi filsafat. Dengan ini, kita bisa tahu bagaimana cinta itu bisa erat dengan pengetahuan dan keterampilan.
Cinta dalam filsafat adalah arti dari philo yang melekat dengan sophia (kebijaksanaan). Secara singkat, menurut K. Bertens (1975), kata philosophia berasal dari bahasa Yunani, yang berarti cinta atau suka akan pengetahuan. Seseorang yang suka pengetahuan, ia akan terus mencari hingga menjadi pandai dan bijaksana.
Dalam jalan filsafat, ia akan memulai dengan sikap skeptis untuk terus mencari tahu hingga menemukan kebenaran pengetahuan. Socrates, seorang filsuf Yunani, dengan sikap skeptis, ia terus mencari kebenaran menggunakan metode dialektika–berdialog–tanya jawab dengan para ahli—dari tukang jahit, seniman hingga ahli politik dan pemerintahan.
Jurnalis, jika menempuh jalan ini, ia akan terus menghimpun pengetahuan dan mengasah keterampilan hingga mumpuni. Dalam menjalani kerja-kerja jurnalistik di lapangan, ia juga akan menggunakan sikap skeptis untuk terus memverifikasi informasi hingga menemukan kebenaran.
Seorang jurnalis, sebagaimana filsuf, tak pernah akan puas dengan kebenaran yang ia temukan. Meskipun kebenaran filsafat dan jurnalisme tentu berbeda–antara kebenaran filosofis dan fungsional maupun faktual.
Bahkan, ada pula alat filsafat yang dapat digunakan jurnalis untuk menempuh kebenaran, yakni epistemologi. Dengan ini, jurnalis bisa tahu bagaimana kebenaran itu diproses, seperti dari mana sumber informasi itu hingga bagaimana memastikan kebenaran informasi tersebut.
Dalam epistemologi (baca: Louis O. Kattsoff), ada paham empirisme yang mempercayai bahwa pengetahuan itu bersumber dari hasil tangkapan indera manusia. Dalam jurnalistik, apa yang ditangkap indera merupakan sebuah fakta, meskipun tidak semua fakta akan menjadi berita.
Untuk memastikan kebenaran itu dalam filsafat, kerap menggunakan teori kebenaran yang dikenal dengan korespondensi, yang berarti suatu kebenaran pernyataan itu jika sesuai dengan kenyataan. Di sini membutuhkan kerja kroscek atau verifikasi, yang juga senapas dengan kerja-kerja jurnalisme dalam memastikan kebenaran informasi.
Di sisi lain, ada etika dalam filsafat yang dapat juga ditempuh oleh jurnalis. Seperti etika Deontologis Immanuel Kant, yang menilai tindakan dianggap benar jika sesuai dengan prinsip moral. Dalam jurnalisme, etika ini menekankan pada prinsip kejujuran, integritas, dan akurasi.
Jurnalis memang harus memegang kode etik, seperti tidak menyebarkan informasi palsu atau memanipulasi fakta. Jurnalisme yang dipadu dengan filsafat akan menolak sensasionalisme demi popularitas. Ia tidak tergoda memburu klik, melainkan berusaha membangkitkan kesadaran kritis masyarakat. Jurnalis ala filsuf bukan sekadar pencatat sejarah harian, tapi penjaga nurani publik.
Dalam menghadapi arus propaganda dan post-truth, jurnalis bisa bersandar pada etika Aristotelian, skeptisisme Socrates, atau keberanian eksistensialis ala Albert Camus. Mereka tahu bahwa kebenaran bukan milik mayoritas atau minoritas, tetapi buah dari keberanian untuk berpikir dan menyelidiki secara jujur.
Menempuh jalan filsafat, juga berarti jurnalis harus siap hidup dalam keraguan. Ia tak cepat puas dengan narasi tunggal dan selalu membuka ruang untuk pandangan lain. Filsafat mengajarkan dunia tidak pernah sepenuhnya hitam atau putih. Dan, bahwa tugas jurnalis bukan menyederhanakan kenyataan, melainkan menjembatani kompleksitasnya agar bisa dipahami publik tanpa kehilangan kedalamannya.
Lebih jauh, filsafat memberi jurnalis kekuatan untuk tetap teguh di tengah tekanan kekuasaan. Seorang jurnalis yang memahami nilai-nilai kebebasan berpikir dan integritas moral tak mudah tergoyahkan oleh godaan materi atau ancaman politik. Ia tahu bahwa profesinya bukan sekadar pekerjaan, tetapi panggilan untuk menjaga akal sehat masyarakat.
Tentu saja tidak harus semua jurnalis menjadi filsuf. Namun, dalam era ketika informasi bisa diproduksi siapa saja dan disebarkan secepat kilat, dibutuhkan lebih dari sekadar keahlian teknis. Dibutuhkan jiwa yang mampu menimbang nilai, bertanya tentang makna, dan berani menyuarakan hal-hal yang tak populer demi kejujuran.
Ketika jurnalis menempuh jalan filsafat, ia tidak kehilangan realitas, tapi justru memeluknya lebih erat. Ia tidak menjauh dari fakta, melainkan menempatkannya dalam konteks yang lebih luas dan manusiawi. Ia tidak sekadar menulis apa yang terjadi, tapi juga mengapa hal itu penting untuk dipahami.
—–
*Penulis merupakan pengajar media dan jurnalistik di Universitas Bumi Hijrah