Oleh: Zainuddin M. Arie*
Dia memandang sekilas agak ke tengah, pada titik paling kritis di daerah pertahanan lawan, tepat depan gawang. Sorak penonton sekonyong hening, nafas sejenak tertahan. Kaki Lut yang panjang menjadi tumpuan takdir sore itu. Gelora Kie Raha yang dipadati hampir ribuan penonton menyaksikan, mengharapkan sekaligus mencemaskan detik-detik genting itu. Mungkin saja ada utas-utas doa melayang, menyerbu lelangit.
Dia harus berpikir keras dan cepat, agar bagaimana bola masuk melalui samping gawang pada celah sempit, justru pada saat penyerang dihadang dan dikawal ketat oleh back lawan. Sekali ini atau tidak sama sekali.
Tak sekadar kemampuan fisik prima diperlukan dalam situasi ini. Menyiasati waktu beberapa detik agar penyerang dapat berposisi luang sangat membantu pada detik-detik saat bola lepas dari pemain sayap kiri digulirkan ke depan gawang agar goal getter dapat menyelesaikan umpan sulit itu hingga tuntas hasilkan kemenangan.
Pemain Persiter berposisi gelandang ini punya pengalaman mengesankan ketika bertanding melawan kesebelasan Maluku Tenggara, Persimalra. Saat itu pemain bernomor punggung 8 ini berhasil mencetak gol dan memenangkan pertarungan itu. Sungguh kenangan teramat manis.
Naluri seorang Luthfi Ayub sebagai seniman teater sekaligus perumput di lapangan hijau telah membuktikan keberhasilan timnya. Dalam perkembangan sepak bola di tanah Gapi, si perumput ini tetap bertanggung jawab dalam dunia sepakbola hingga pada tahun2020-2021 dipercayakan sebagai Ketua Komite Status Pemain Askot PSSI Ternate. Dan kemudian tetap menjadi “orang bola” di Kota Ternate.
Kali ini, naluri bola itu mencuat dalam situasi genting pemilu. Lut, lelaki tegas yang akrab dan rendah hati ini mengantar orang-orang tertentu dalam pemenangan, sementara Lut tetap bertahan sebagai tokoh pemuda Bastion yang peduli terutama dalam menggerakkan amal sosial di kampungnya, di selatan Kota Ternate. Seperti posisinya yang memberi umpan manis sewaktu-waktu. Lelaki bersorot mata tajam saat menokohkan peran Sunan Lamo ini menyimpan apik keihlasannya dalam mengantar orang-orang tertentu ke posisi-posisi politik yang cukup menjanjikan. Ya, keihlasan. Sekali lagi keihlasan itulah yang menggerakkan kakinya berbagi bola di lapangan hijau, di panggung teater, maupun di panggung politik saat ini.
Hebatnya, pemain Persiter 1995 yang ikut melenggang ke Divisi I PSSI (saat itu) ini tak perlu dikenal tak butuh publikasi dalam hal kontribusi manisnya itu. Dia tetap pada sejatinya sebagai pemuda Bastion yang sahaja, sama seperti guru teaternya di TAB, ini salah satu menu kehebatan perilaku hidupnya alumni SMA Negeri 2 KotaTernate ini.
Tentu saja, sekali lagi kemampuan fisik prima, brilian dalam olah fikir, teknik dan keterampilan juga mood dan naluri fighter sangat dibutuhkan saat Luth ikut menggerakkan timnya. Laiknya pergumulan timnya di lapangan hijau atau panggung teater Anak Bangsa sebagai tokoh Sunan Lamo, lelaki jangkung dan ganteng ini telah bertahun-tahun terlibat menggerakkan anak-anak muda di kampungnya, Bastion. Dia setia dan intens memerhatikan kebutuhan sosial, dan dengan social approach yang matang seperti sedang mendribling si kulit bundar saat merumput, dia ikut menelurkan beberapa hajat orang banyak, semisal penyiapan lahan kubur, bagi warga muslim, pemberdayaan dan pemeliharaan sebuah makam (keramat) di Bastion serta tentu sekian karya partisipatif sosialnya di samping tentu dunia sepak bola.
***
Catatan ahad ini, saya mundurkan agak ke belakang, lebih tiga puluh tahun lalu, saat TAB memasuki peralihan dari pembinaan leadership, organisasi, diskusi kelompok, baca puisi ke teater, Lut “ditemukan” tak hanya sebagai pemilik talenta sepak bola. Dia ternyata mampu bernyanyi dan berakting. Lagu “Boa”, dalam bahasa Batak, sangat mengesankan saat dinyanyikan bersama Saldi Husen, dan Ain Mustafa, dengan iringan petikan Gitar dari mantan camat Halsel, teman Lut.
Lelaki yang mewarisi keterampilan tukang dari ayah dan kakeknya ini, kita tak sulit menemuinya. Kita tinggal menyebutkan nama dan beberapa latar pribadinya, maka dengan mudah orang-orang sekampung memberi alamat rumah mengantar sampai ke rumahnya. Dan di rumahnyalah anak-anak Bastion dan sekitarnya biasa bertemu dengan saya saat menggerek bendera teater di kota ini.
Lut dan anak-anak Bastion saat itu bekerja cukup apik, mengarungkan beberapa naskah Zainuddin M. Arie, antara lain Matinya Sang Tercinta, di mana Lut berperan sebagai Sunan Lamo, Seribu Langkah Satu Cita, pementasan mendukung pemekaran Kabupaten Maluku Utara menjadi Provinsi Maluku Utara, Lut berperan sebagai pengembara yang memanggul cita-cita peningkatan status Maluku Utara.
Dalam pementasan yang dihelat di depan kantor DPR Maluku Utara jalan Stadion itu, TAB mengerahkan lebih dari 70 pemainnya, setelah berlatih selama lebih dari empat puluh hari. Aktor-aktor seni teaternya yang berasal dari berbagai kelurahan di Kotamadya Ternate (saat itu), serta seorang Saldi Husen yang melantunkan critic by song, “Di Bawah Tiang Bendera” ikut melengkapi pertunjukan arena non stage pagi itu. Beberapa waktu berselang TAB pun menggelar “Khabar, Khabar, Khabar” sebuah improvisasi puisi, yang mengetengahkan perjuangan awak jurnalis. Pertunjukan yang digelar menggunakan lebih separoh lapangan stadion Gelora Kie Raha pada pembukaan pertandingan sepak bola memeringati HUT Ternayte Pos, sore itu mengagetkan penonton sepak bola yang tak menyangka akan disuguhi tearikalisasi.
Terhadap, TAB pemeran Van Capouritz (tokoh fictive) ini punya kesan, bahwa TAB sebagai suatu lembaga seni yang mengajarkannya banyak hal baik bidang agama, pendidikan dan social kemasyarakatan, hingga dia bisa menjadi “seseorang” sebagaimana yang dijalaninya sampai hari ini.
Sebagai salah seorang senior TAB, bersama Saldi Husen, Ain Mustafa, Mimi Ibrahim (almh), Iwan Bontot (akademisi), Zainal Abidin Pelu, Ci Ani (almh) serta banyak senior lainnya di masa lalu, Ia sangat setia hingga saat ini. Kesetiaannya kembali dibuktikan pada pementasan Ngoko Kudiho Talalu Susa yang dihelat pada November tahun 2023 lalu di Fort Oranje.
Saat itu, Luth hanya punya waktu empat hari. Ia ditunjuk langsung oleh sutradara Zainuddin M. Arie agar memperkuat kembali TAB dan langsung diterimanya. Suatu pementasan yang mengolaborasi kenyataan Moloku Kie Raha masa lalu saat menghadapi penjajah Eropa dengan paduan realitas Palestina, saat ini menghadapi Israel. Suatu pertunjukan apik yang mengharu pada malam peluncuran antologi puisi pendiri TAB.
Terhadap guru teaternya, Lut menuturkan, “Ka Arie (Zainuddin M. Arie) adalah sosok luar biasa yang sederhana tapi melahirkan banyak sosok luar biasa saat ini dan ka Arie juga salah satu tokoh seni Maluku Utara yang menggegas pendirian dunia teater sebelum panggung seni marak di Ternate”
Kepada anak-anak muda gila bola, Lut berpesan buat agar tak henti mengasah kemampuan tidak hanya skil dan teknik bola tapi yg lebih penting adalah inteligenci dan daya pikir yg mumpuni karna saat ini perkembangan bola sudah mengarah ke industri sepakbola modern bukan lagi seperti zaman saya (Lut) dulu yang mengandalkn kekuatan, katanya.
Tak lupa pemeran ayah Minamanuru (Susi Hamid, Bastion) ini menitip pesan buat generasi TAB saat ini agar tak bosan bosan menimba ilmu dari ka Ari sebagai sosok yg langka di bidang seni peran dan menghadirkan puisi puisi luar biasa karna banyak tokoh saat ini yg terkenal juga bagian dari anak didik ka Arie.
Lut, lelaki kelahiran Ternate, 24 April 1970 yang dikaruniai enam anak ini merupakan seniman panggung dan lapangan hijau, kini menjadi penyumbang posisi apik di lapangan politik. Nyatanya, dia kembali bermain, menyumbang bola panggung nan manis dari Bastiong. Selamat Hari Jadi Lut nanti tiga hari lagi. Happy Milad, Luthfi Ayub. (Catatan Ahad pagi, 21 April 2024)
—
*Penulis adalah sastrawan, bermukim di Ternate.