Pemilu digadang-gadang sebagai pesta demokrasi, yang mana pemeran utamanya adalah pemilih dan kandidat. Layaknya pesta, tentu perlu dinikmati dengan bertanggung jawab supaya tidak kebablasan. Dalam rangka ini, Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si. konsekuen melanjutkan Safari Politik Gagasan ke Halmahera Barat pada 6 hingga 13 Juni 2023 lalu, setelah Januari lalu ke Halmahera Timur dan Maret lalu ke Halmahera Tengah.
“Safari politik gagasan ini murni saya lakukan untuk edukasi politik warga supaya praktik politik kita dewasa dan bermartabat,” jawab laki-laki yang akrab disapa Graal ini saat ditanyai tujuan kegiatan. Menurutnya, pemilih kita (termasuk orang desa) harus cerdas. Pemilih sebagai pemberi suara adalah jantung untuk melahirkan pejabat publik yang bermutu, berkualitas, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Menyapa beberapa titik di Halmahera Barat—Balisoan, Todowongi, Bataka, Gam Ici, Barataku, Tuguis—Graal memulai setiap diskusi dengan menyajikan data-data permasalahan di Indonesia secara umum dan Maluku Utara secara khusus. Layar LCD menampilkan angka-angka (dari sumber kredibel): indeks demokrasi, indeks korupsi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
Melalui ini, ia mengajak warga untuk memahami penyebab dari masalah-masalah tersebut. Dari perspektifnya sebagai ilmuwan politik, salah satu hulu penyebabnya adalah adanya penyakit/patologi dalam demokrasi kita, yang ditandai dengan adanya praktik politik transaksional (jual-beli suara) serta politisasi identitas saat pemilihan umum. Tokoh muda Maluku Utara ini menyadarkan bahwa warga juga kerap terlibat transaksional langsung/tidak langsung dan disadari/tidak. Ujungnya, kesejahteraan kita terkooptasi.
“Terbatasnya akses internet, kualitas jalan yang seadanya (kualitas infrastruktur yang kurang), belum adanya akses listrik (penerangan), serta terbatasnya berbagai layanan publik lainnya adalah contoh dari kesejahteraan kita yang belum bisa dipenuhi akibat penyelenggaraan pemerintahan yang belum optimal, bahkan korup,” jelas Graal.
Diimbangi dengan bahasa akademis, laki-laki kelahiran Wayaua (Bacan) ini membuktikan bahwa warga desa/kampung juga mampu memahami bahasan politik dalam bahasa ‘tinggi’. Warga bisa mengikuti, bahkan mau berpikir dan terlibat aktif memberikan tanggapan pada sesi tanya-jawab.
Mereka bertahan hingga larut. Warga mengungkapkan, “Diskusi seperti ini boleh. Kasih kenal kitong tentang politik. Selama ini kitong hanya tahu politik itu ‘ada suara, ada uang’. Dong bagi-bagi sembako/uang dan memolitisasi identitas.” Di Desa Bataka ada seorang ibu berujar, “Diskusi seperti ini lama juga boleh. Kita banyak pertanyaan-pertanyaan tentang pengalaman berpolitik selama ini.”
Antusiasme warga terhadap diskusi begitu terasa. “Energi positif itu bisa saya rasakan. Gerak tubuh sangat serius dan tatapan mata memerhatikan dengan saksama diselingi anggukan yang sesekali,” ucap Graal. Ia juga bercerita dengan emosional bahwa ada satu adik di satu desa menghampirinya setelah selesai diskusi. Sang adik menyampaikan terima kasih telah menjawab keresahannya atas praktik politik selama ini, hingga kemudian ia menitikan air mata.
Tak hanya itu, sambutan warga atas kedatangan pegiat politik gagasan ini juga luar biasa. “Mereka bergegas menjemput kami dengan perahu motor menuju darat. Sampai diskusi larut malam pun, mereka siaga mengantar kami kembali dengan perahu motor. Mama-mama juga dong sigap bantu persiapkan konsumsi. Hormat,” ungkapnya.
Melalui safari ini, Graal menekankan urgensi untuk menyudahi dan mengeliminasi politik transaksional, lalu beralih pada politik gagasan. Doktor ilmu politik ini berkata, “Kepada setiap kandidat, warga perlu menguji dan menimbang beberapa hal: agenda kerja (apakah rasional dan kompatibel dengan tupoksi mereka kelak, jangka waktu efektivitas dan efisiensinya); kinerja dan rekam jejak; serta modal intelektual, modal ekonomi, dan modal sosial.” Ini sangat penting dilakukan. “Saya mau nanti kandidat tako datang ke desa-desa ini. Dong berpikir bahwa warga di sini kritis-kritis sekali dan tidak bisa dibeli,” tambah Graal.
Pada Pemilu 2024 mendatang, kita tidak boleh sembarang memilih figur pejabat publik. Jabatan publik harus didelegasikan pada mereka yang benar-benar tepat dan layak. Jika mau sejahtera, maka praktik di hulu pun harus tepat (tidak transaksional). “Saya berharap pesta demokrasi yang berlangsung hanya sebentar ini memiliki dampak yang indah dan tetap bisa dinikmati oleh warga dalam masa 4 sampai 5 tahun mendatang,” tutup R. Graal Taliawo.