Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Pemilu

Foto penulis

Oleh: Sunarti Maninggesa*

 

Di tahun 2024, kita dihadapkan dengan pesta demokrasi serentak. Karena itu, perlu partisipasi banyak pihak untuk mensukseskan hajatan lima tahun sekali ini dengan hasil yang berkualitas.

Tak terkecuali partisipasi kaum perempuan, terutama dalam penyelenggara pemilu untuk turut mewujudkan pemilu yang berkualitas.

Walaupun lembaga penyelengggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu, tahun 2024 mendatang ini tugasnya cukup berat. Karena tak hanya menyelenggarakan pemilu legislatif, tapi juga presiden dan wakil presiden, ditambah pemilihan kepala daerah.

Pada dasarnya, partisipasi perempuan lembaga tersebut diamanatkan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 2017 pada Pasal 10 ayat 7 dan Pasal 92 ayat 11 memperhatikan keterwakilan minimal 30 % perempuan di KPU dan Bawaslu. Di mana, ini merupakan cara yang dipilih oleh negara sebagai jawaban terhadap kondisi sosial yang diskriminatif dan ketidaksetaraan gender di segala bidang kehidupan. Terutama akibat dari struktur patriarki di level publik dan privat masih cukup kuat.

Termasuk di Maluku Utara–budaya patriarki masih sangat melekat. Sebab, warisan dari sistem kesultanan, lebih cenderung pada laki-laki yang memegang kursi kekuasaan, seperti sebagai kepala adat, atau dikenal dengan sultan. Hal itu merambah sampai pada sistem pemerintahan moderen.

Dalam politik modern, kita juga harus tahu bahwa di dalam UU Pemilu No. 10 Tahun 2008 menyatakan: Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada Pasal 52 memuat paling sedikit 30 % keterwakilan perempuan. Sementara ketentuan pada Pasal 52 mengatur mengenai daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh partai politik peserta pemilu.

Keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon dilakukan tidak hanya untuk DPR, tetapi juga berlaku untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota.

Baca Juga:  Tambang dan 'Dunia Hitam' di Bumi Halmahera

Dengan begitu keterwakilan perempuan pada dunia politik di Indonesia sangat terbuka lebar bagi seluruh perempuan yang ingin ikut berpartisipasi secara langsung—mewakili aspirasi kaum perempuan. Itu mengapa, rendahnya angka keterwakilan perempuan di parlemen, akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan—pada kesetaraan gender, dan belum mampu merespons masalah utama yang dihadapi oleh perempuan.

Partisipasi perempuan Indonesia dalam parlemen masih sangat rendah. Menurut data dari World Bank (2019), Indonesia menduduki peringkat ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di parlemen. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan dan Pemuda Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengatakan, saat ini partisipasi perempuan Indonesia masih di bawah 30 %. Menurutnya, peningkatan partisipasi perempuan penting supaya pengambilan keputusan politik juga lebih akomodatif dan substansial.

Selain itu, kata ia, juga dapat menguatkan demokrasi yang senantiasa memberikan gagasan terkait perundang-undangan pro perempuan dan anak di ruang publik.

Hal tersebut disampaikan Kemenko PMK, Femmy Eka Kartika Putri, saat membuka Rapat Koordinasi Mendorong Penyelesaian Rancangan Perpres tentang Grand Design Peningkatan Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif, Rabu (14/4). Karena itu, Eka menegaskan pentingnya keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia.

Dengan tingginya tingkat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, pernikahan dini di Kota Tidore, adalah suatu hal urgen yang harus disadari dan diatasi oleh pemerintah maupun masyarakat, demi kemajuan bangsa kita ke depan. Pada momentum politik di 2024 kita akan memilih calon pemimpin—baik wakil rakyat, presiden, maupun kepala daerah. Siapa pun yang terpilih nanti, mereka sudah seharusnya memikir atau memperjuangkan hak-hak rakyat, begitu juga dengan hak-hak perempuan.

Banyaknya masalah-masalah perempuan itu, butuh keterlibatan perempuan secara langsung dalam hal menduduki jabatan strategis. Ini agar suara perempuan yang rasional bisa berpengaruh. Dengan begitu, meminjam kata Ani Soetjipto dalam pengantar buku Menyoal Data Representasi Perempuan di Lima Ranah “… Sehingga arah kebijakan, program, bahkan anggaran yang disusun tidak abai terhadap kekhasan pengalaman dan kepentingan perempuan.”

Baca Juga:  Politik Gagasan

Selain lembaga legislatif yang sudah memiliki kebijakan afirmatif, dan masih abaikan kesetaraan gender, ada juga lembaga penyelenggara pemilu. Bisa lihat pada Bawaslu Provinsi Maluku Utara, yang mana hanya terdapat 1 perempuan.

Sementara, KPU di kabupaten/kota ada 9 perempuan dan di provinsi 2 perempuan. Ironisnya, pada Bawaslu terpilih masa kerja 2023-2028, hanya beberapa kabupaten) kota yang ada keterlibatan perempuan. Seperti di Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, Halmahera Selatan, dan Kepulauan Sula, tidak ada keterwakilan perempuan. Begitu juga pada kabupaten/kota di luar Maluku Utara, misalnya Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

Ketimpangan-ketimpangan semacam ini selalu saja terjadi pada lembaga-lembaga yang sudah memiliki kebijakan afirmatif. Ketimpangan ini harus dihilangkan, baik pada lembaga legislatif, penyelenggara pemilu maupun birokrasi. Karena pada dasarnya semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan dan jabatan yang sama, tanpa adanya legitimasi bahwa yang berhak untuk menduduki jabatan tertentu adalah laki-laki.

Perempuan harus diberi kesempatan yang sama dalam politik, dan diberi kesempatan untuk bisa menjabat dan menduduki posisi strategis—agar turut mewarnai keputusan publik. Selain dari politik, perempuan sebagai bagian dari imperatif warga negara—turut terlibat dan dilibatkan dalam dunia penyelenggara untuk mencapai kesetaraan gender.

——–

*Penulis merupakan Pemerhati Perempuan Maluku Utara ( FORSPAR-MALUT)