Gua Bokimoruru merupakan salah satu sistem gua sungai bawah tanah yang diklaim merupakan gua terpanjang di Indonesia. Gua ini berada di Desa Sagea dan Kiya, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara.
Sebuah laporan tim Ekspedisi Speleologi dari Prancis yang terbit tahun 1988 berjudul Batukarst 88 mengemukakan bahwa panjang gua ini mencapai sepanjang 7.467 km sekaligus menempatkan Bokimoruru sebagai gua terpanjang di Pulau Halmahera.
Masyarakat Speleologi Indonesia (MSI) menyebutkan, Bokimoruru merupakan gua dengan karateristik lorong horizontal bertingkat yang memiliki ruangan besar dan secara geologi disusun oleh batugamping masif.
“Bokimoruru memiliki aliran sungai bawah tanah yang besar dan mengalir ke luar gua membentuk aliran sungai permukaan yang disebut Sungai Sagea atau Sageyen,” kata Mirza Ahmad Heviko, Ketua Bidang Konservasi, Kampanye dan Advokasi di MSI, dalam laporan yang diterima cermat, Kamis, 7 September 2023.
Mirza bilang, Sungai Sagea merupakan sistem sungai yang hilang dan muncul kembali sekitar 7 km dan tidak jauh dari pantai. Sungai ini dimanfaatkan masyarakat setempat sebagai sumber kehidupan untuk penyediaan air bersih.
Dampak Rusaknya Ekosistem di Kawasan Bokimoruru dan Sungai Sagea
Dalam laporannya, MSI mengungkapkan bahwa kehadiran Bokimoruru, di sisi lain, dapat menjaga keberlanjutan dan fungsi kawasan karst sebagai cadangan air di masa yang akan datang, di mana proses karstifikasi/pelarutan batuan pada kawasan karst dapat memberikan manfaat untuk penyerapan karbon (CO2).
Lebih dari itu, kehadiran gua yang menyimpan legenda orang Sagea ini dapat menjadi bagian dalam upaya pengurangan emisi dan dampak dari perubahan iklim.
“Namun akibat adanya pembukaan lahan yang dilakukan untuk pembukaan akses jalan dan pertambangan pada tanggal 28 Juli 2023 lalu, air Sungai Sagea berubah menjadi cokelat dan keruh dari hulu sampai ke hilir,” lanjut Mirza.
MSI membantah tudingan tim Investigasi DLH Maluku Utara yang menyatakan penyebab terjadinya perubahan warna air Sungai Sagea dan Gua Bokimoruru bukan karena dampak dari aktivitas pertambangan.
“Berdasarkan hasil analisis di lapangan dan analisis citra yang dilakukan oleh Koalisi Save Sagea menunjukkan pembukaan jalan menuju area pertambangan mengakibatkan kondisi tidak stabil pada lapisan tanah, di mana bila terjadi hujan maka run off akibat pembukaan lahan akan membawa sedimen masuk ke alur sungai terdekat dengan jumlah yang besar,” terangnya.
Bagi Mirza, peningkatan sedimentasi yang cukup tinggi jadi penyebab utama terjadinya pencemaran di Sungai Sagea. Selama bulan Agustus 2023, di wilayah hulu kawasan ini terjadi hujan secara terus menerus, akibat adanya pembukaan lahan untuk akses jalan pertambangan air yang tidak bisa terserap menjadi aliran run off atau aliran permukaan mengalami proses pelumpuran yang membawa material sedimentasi berupa tanah dan lumpur.
Menurutnya, sedimentasi akan terjadi secara terus-menerus selama proses pembukaan lahan untuk pertambangan dilakukan.
“Butuh proses yang sangat lama untuk mengembalikan fungsi Sungai Sagea seperti semula, ini harga yang akan dibayar ketika kita tidak berpihak pada keselamatan ekosistem Sungai Sagea.”
Pada kegiatan pembukaan lahan untuk akses jalan dengan kondisi curah hujan yang tinggi sudah dapat menimbulkan pencemaran pada air, apabila pengupasan lahan secara besar-besaran di wilayah hulu terus terjadi terutama pada wilayah-wilayah konsesi pertambangan nikel maka peningkatan sedimentasi akan terjadi, dan ekosistem Sungai Sagea tidak akan bisa dipulihkan.
Berdasarkan karateristik Gua Bokimoruru potensi terjadinya Longsor di dalam Gua Bokimoruru sangat tidak mungkin apabila tidak dipicu oleh adanya gempa bumi, collaps, rock fall yang dapat memicu adanya longsoran di dalam gua.
Baca Juga: 5 Tahun PT IWIP dan Potret Kerusakan Lingkungan di Teluk Weda
Apabila terjadi longsoran di dalam gua maka longsoran ini hanya bersifat lokal dan tidak akan berpengaruh pada skala yang sangat luas apalagi sampai membawa material sedimen berupa tanah dan lumpur mengingat kondisi Gua Bokimoruru disusun oleh batugamping masif.
Dalam beberapa bulan terakhir tidak ada catatan gempabumi dangkal dengan skala yang besar terjadi di Halmahera, hal ini tidak perlu harus ada pembuktian geologi, namum secara geologis kondisi kawasan karst memiliki keunikan tersendiri yang hanya bisa diungkap oleh penelitian Speleologi.
Ekosistem Kawasan Karst Sagea tidak berdiri sendiri dan sangat terhubung oleh sistem di sekitarnya. Lingkungan gua sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Izin pertambangan di bagian hulu berpotensi terhadap hilangnya fungsi Sungai Sagea yang selama ini jadi pusat kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat di wilayah Sagea dan sekitarnya.
“Mereka akan terdampak secara terus menerus selama kegiatan penambangan terus dilakukan, dan akan sangat berdampak pada ekosistem kawasan karst yang akan berisiko terjadinya bencana di masa yang akan datang terutama terhadap masyarakat yang berada di kawasan Sungai Sagea,” pungkasnya (RLS).
——–
Editor: Rian Hidayat Husni