Pertambangan dan Atas Nama Pembangunan

Nurkholis Lamaau

(Jurnalis cermat partner kumparan)

Hampir sebagian besar konsesi pertambangan menjadi pemicu bencana ekologis pada sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk Provinsi Maluku Utara. Namun provinsi kepulauan yang dijuluki ‘the ring of fire‘ ini justru mengoleksi ratusan izin usaha pertambangan.

Dikutip dari kompas.com, Badan Koordinasi Penanaman Modal menyebut Maluku Utara menjadi daya tarik investor asing pada periode triwulan 2020. Ini dibuktikan dengan meningkatnya realisasi investasi.

Pada periode triwulan I tahun 2020, Penanaman Modal Asing (PMA) Maluku Utara menempati peringkat ketiga setelah DKI Jakarta dan Jawa Barat dengan nilai 0,77 miliar dollar AS.

Sementara itu, Pusat Koordinasi dan Pengawalan Investasi mencatat, realisasi investasi PMA di Maluku Utara pada 2019, untuk sektor pertambangan 100,87 juta dollar AS. Tentu lewat kekuasaan semua kebijakan berbasis proyek pro-industri ekstraktif bisa didorong. Contoh paling konkrit adalah pengesahan Omnibus Law.

Undang-undang sapu jagat itu tidak hanya berkutat pada aspek tenaga kerja, tapi mengatur banyak hal yang secara umum mereformasi struktural dan mempercepat transformasi ekonomi. Menyederhanakan sistem perizinan, memangkas regulasi yang tumpang tindih, serta prosedur yang rumit.

Padahal, kebijakan ini berkelindan dengan dampak yang kita saksikan hari ini. Paling membekas dalam ingatan kita adalah kondisi kawasan pesisir Moronopo, Desa Maba Pura, Kecamatan Maba, Halmahera Timur.

Sebelum PT Antam bercokol, lokasi tersebut adalah daerah tangkap nelayan. Tapi suasana ini terlihat 16 tahun lalu. Kini, rumah bagi biota laut itu ditutupi lumpur setinggi pinggang orang dewasa. Di Halmahera Tengah, ada PT IWIP. Hampir setiap musim hujan, lokasi sekitar kerap tergenang banjir.

Berlanjut di Pulau Obi, Halmahera Selatan, perbukitan yang dulunya hijau berganti dengan bangunan industri Harita Group. Sungai hingga pesisir pantai berubah warna dari jernih menjadi keruh. Tapi dampak ekologis seperti ini tak dianggap krisis lingkungan.

Baca Juga:  Warga Hiri Pasang Baliho Sebut Pemkot Ternate Hasi se Furiki

Justru yang diprioritaskan adalah memberi kemudahan investor lewat Omnibus Law sekaligus memperlunak KPK dalam menegakkan hukum. Kita hanya diselipkan ilusi-ilusi atas nama pembangunan. Sementara, daerah yang menyuplai angka kemiskinan rata-rata dari lokasi tambang bercokol.

Badan Pusat Statistik Maluku Utara mencatat jumlah penduduk miskin di bumi rempah pada September 2020 sebanyak 87,52 ribu orang atau 6,97 persen. Jumlah itu kemudian bertambah sekira 1,15 ribu orang bila dibanding Maret 2020 sebanyak 86,37 ribu orang atau 6,78 persen.

Sementara, Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara 4,92 persen atau berada pada tren positif. Tapi pertumbuhan tidak inklusif atau serta merta mengurangi angka kemiskinan. Sementara kita tahu, kemiskinan pada dasarnya disebabkan oleh faktor seseorang tidak memiliki keterampilan dan ketiadaan pada akses.

Itu artinya, tugas pemerintah adalah menciptakan sebuah sistem (Baca: Omnibus Law) sebagai payung hukum agar pemodal dapat bergerak bebas. Pada akhirnya logika pasar berjaya di atas kehidupan publik. Ini menjadi pondasi dasar neoliberalisme; menundukan publik ke dalam logika pasar.

Semangat neoliberalisme adalah melihat seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Neoliberalisme tidak mengistimewakan kualitas kesejahteraan umum. Menjadi petani atau nelayan bukan kategori pekerja. Olehnya itu, warga lingkar tambang pun beralih dari petani dan nelayan menjadi buruh di industri tambang.

Pertambangan dan atas nama pembangunan seperti sebuah ilusi. Diam-diam mencengkeram pola hidup masyarakat kecil yang dengan lugunya, terbawa iming-iming betapa tambang itu lebih mensejahterakan. Dominasi pemodal yang melampaui peran pemerintah memposisikan masyarakat sipil dalam subordinasi.

Pemerintah terlihat lemah di hadapan swasta. Posisi ini menegaskan ketergantungan ekonomi pada swasta. Hukum ketergantungan ini mengakibatkan peran wakil rakyat ikut tereduksi. Tidak ada lagi yang menjadi instrumen politik rakyat sipil. Tetapi kekuasaan–pemodal.

Baca Juga:  Perempuan Kalaodi dan Kayu Bakar

Kuatnya peran pemodal swasta dan lemahnya pemerintah pada akhirnya menghadirkan demokrasi semu. Lewat instrumen regulasi yang diciptakan, rakyat dibuat bingung. Juga tak berkutik.

Alih-alih memberi nilai tambah ekonomi lewat industri pertambangan, tapi ekspansi yang ada justru secara struktural cenderung memarjinalkan daripada memberdayakan masyarakat.

Maksud mendorong investasi dengan orientasi utama pendapatan daerah. Tapi faktanya terjadi pemiskinan, baik secara struktural maupun kultural. Sementara, persoalan pelanggaran lingkungan hanya sebatas sanksi administratif.

Padahal, kejahatan lingkungan bisa dikategorikan sebagai extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa. Sebab, merusak lingkungan sama halnya menghilangkan harkat dan martabat manusia yang saling melengkapi, disamping mengabaikan hak ekonomi, sosial dan budaya. Sedangkan cara-cara yang berujung pengrusakan alam, tergolong melampaui norma hukum yang ada.

Beberapa waktu lalu, Satgas Koordinasi Supervisi KPK Wilayah V mengungkapkan NPWP pada 19 dari 125 perusahaan tambang yang beroperasi di Maluku Utara tidak teridentifikasi.

KPK beranggapan, bisa saja perusahaan yang bersangkutan tidak punya NPWP atau tidak mau memasukkan. Bahkan, ada izin pinjam pakai kawasan hutan pada 53 perusahaan tambang yang menunggak penerimaan negara bukan pajak senilai Rp 70.396.613.708.

Jika dilihat, persoalan ini terletak pada ketertutupan informasi yang menghadirkan kecurigaan atas pemusatan bagi kelompok yang diuntungkan. Dalam aspek kontrol menggambarkan rendahnya fungsi Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif dalam melihat aspek perizinan sebagai instrumen pengendalian.

Sebab, korporasi dengan wujud jaringan, kecil kemungkinan bagi mereka yang menyaksikan sebuah fakta akan melaporkan. Dengan kondisi seperti ini, yang mempertahankan kejujuran terikat oleh regulasi yang menciptakan mereka sebagai sebuah praktik. Sebuah system. Di situlah kejahatan berlanjut.

Ini yang membuat segala kejanggalan tak terungkap secara terbuka. Jaringan seperti ini biasanya sengaja dipelihara oleh kekuasaan tertentu. Bahkan melampaui negara. Sementara, pemerintah terlanjur mengadaikan tatanan kehidupan sosial masyarakat.

Baca Juga:  Ketika Perempuan di Parlemen Dipandang Sebelah Mata

Kenyataan seperti ini memberi isyarat bahwa di balik pro dan kontra, ada rahasia yang berjalan sistematis dengan melibatkan kepercayaan dan penipuan. Tidak bisa dipungkiri bahwa elite politik juga adalah agen dan aktor dari proses pengakumulasian modal swasta.

Peran mereka dapat ditelusuri dalam penyusunan regulasi. Hanya saja mengatasnamakan negara sehingga mengesankan etik. Atas nama pembangunan, Indonesia mungkin maju dari segi pendapatan domestik bruto, tapi masyarakat waswas karena lingkungan rusak.

Conference of the Parties (COP) ke-26 di Glasgow, Skotlandia, yang membahas tentang perubahan iklim harusnya membuka mata kita. Metafora dramatis para pemimpin dunia di KTT COP26 soal perubahan iklim, dapat disimpulkan bahwa kapitalisme telah mengoreksi diri atas kehancuran ekologi yang mereka ciptakan.

Mungkin dalam alasan tertentu kita perlu investasi dari luar untuk membangun sebuah negara. Tapi investasi bukan sebuah prasyarat membangun. Perlu juga diingat bahwa investasi tidak datang cuma-cuma. Selain menuntut imbalan, selalu punya dampak buruk terhadap lingkungan. (*)

Artikel ini dalam rangka mengikuti Lomba Menulis Esai dan Opini untuk Mahasiswa dan Umum oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakan Maluku Utara pada Festival Literasi.