Praktisi Hukum menilai tindakan aparat kepolisian dalam aksi penolakan perusahaan tambang PT Sambiki Tambang Sentosa (STS) di Halmahera Timur, Maluku Utara, melanggar ketentuan Peraturan Kapolri (Perkapolri).
Praktisi Hukum dari LBH Marimoi, Dealfrit Dealfrit Kaerasa mengatakan, berdasarkan fakta lapangan, personel Polres setempat melepaskan tembakan gas air mata ke kerumunan warga tanpa ada peringatan awal, yang mengakibatkan luka serius pada warga Desa Wayamli dan Yawanli, Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur.
Korban luka akibat kejadian tersebut adalah Mulyadi Palangi yang terkena tembakan di bagian bahu kiri, Riski Boway di bagian kaki, dan Sulandra Asri di bagian jari, tangan kanan.
Ia menyebut, kurang lebih 300 warga menggelar aksi terhadap PT STS tersebut dihadang oleh gabungan personil polisi dan brimob.
“Tindakan yang dilancarkan polisi ke warga dua desa tersebut sangat tidak sesuai dengan Perkapori Nomor 1 Tahun 2009,” kata Dealfrit kepada cermat, Jumat, 02 Mei 2025.
Perkapolri tersebut menegaskan bahwa prosedur pengguanaan kekuatan tersebut harus melewati 6 tahapan. “Adapun tahapan kendali senjata tumpul yang didalamya termasuk gas air mata itu berada pada tahap kelima, yang mana harus dilalui dulu empat tahap lainnya,” kata dia.
Selain tidak sesuai dengan Perkapolri, menurut Dealfrit, langkah yang ditempuh pihak kepolisian tidak sejalan dengan Panduan Penggunaan Senjata Kurang Mematikan dalam Penegakan Hukum Komite HAM PBB (Guidance on Less-Lethal Weapons in Law Enforcement) United Nations Human Rights (UNHR).
“Dalam panduan tersebut menegaskan bahwa pengguanaan senjata kurang mematikan harus menjadi pilihan langkah terakhir yang digunakan,” ujarnya.
Dari berbagai kebijakan yang diterbitkan oleh kepolisian, upaya penggunaan gas air mata bukan menjadi pilihan pertama dalam mengambil tindakan untuk menghadapi keadaan huru-hara sekalipun anarki, bahkan pasca tragedi Kanjuruhan Peraturan Kapolri diterbitkan untuk pelarangan total penggunaan gas air mata di setiap kompetisi olahraga.
“Artinya, pengunaan kekuatan aparat berbasis senjata kimia yang ditujukan pada warga sipil, sudah seharusnya ditiadakan, sebab hanya akan menimbulkan jatuhnya korban (jiwa dan luka) alih-alih membubarkan massa,” tegasnya.