Sofifi Harus Menjadi Kota: Saatnya Pemerintah Pusat Bertindak atas Kebuntuan Pemekaran

Praktisi Hukum Maluku Utara, Muhammad Tabrani Mutalib, Foto: Istimewa

Oleh: Muhammad Tabrani Mutalib
Praktisi Hukum

Hampir seperempat abad sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999, Sofifi telah ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara. Namun hingga kini, statusnya masih sebagai “wilayah administratif” yang melekat pada Kota Tidore Kepulauan, bukan sebagai kota otonom. Ini adalah bentuk stagnasi yang tidak hanya menyimpang dari amanat hukum, tetapi juga merugikan rakyat Maluku Utara secara sosial, politik, dan administratif.

Dasar Hukum yang Tegas dan Kuat

Pasal 9 ayat (1) UU 46/1999 jo. UU No. 6/2000 menyebut secara eksplisit: “Ibu Kota Provinsi Maluku Utara berkedudukan di Sofifi.” Lebih jauh, Pasal 20 UU tersebut memberi batas waktu lima tahun sejak UU berlaku untuk merealisasikan fungsi ibu kota secara penuh, termasuk infrastruktur kelembagaan dan administratif. Tetapi hingga hari ini, tidak ada kemajuan berarti dalam bentuk pemekaran kota secara otonom. Artinya, secara yuridis, pemekaran Sofifi adalah amanat UU, bukan aspirasi politik yang bisa dinegosiasikan sesuka hati.

Secara teknis, mekanisme pemekaran daerah otonom baru (DOB) kini tunduk pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 78 Tahun 2007. Dalam Pasal 34 ayat (2) UU 23/2014 ditegaskan bahwa usulan pembentukan daerah berasal dari “Gubernur, Bupati/Wali Kota, dan DPRD setelah memperoleh persetujuan bersama antara kepala daerah dan DPRD kabupaten/kota induk.”

Ketentuan ini telah menjadi alat tawar oleh Pemerintah dan DPRD Kota Tidore Kepulauan untuk menghambat pemekaran Kota Sofifi, dengan alasan kepentingan fiskal, pengaruh politik, bahkan kadang terbungkus narasi SARA. Ironisnya, wilayah yang telah ditetapkan sebagai pusat pemerintahan provinsi justru diperlakukan seperti wilayah pinggiran oleh pemerintah kota induknya sendiri.

Baca Juga:  Sosiologi Masyarakat Pulau

Stagnasi sama dengan Pelanggaran Hukum

Kegagalan Pemkot dan DPRD Tidore Kepulauan dalam memberi persetujuan untuk pemekaran Kota Sofifi bukan hanya soal politik lokal, tetapi sudah masuk ke dalam ranah pengingkaran terhadap undang-undang. Mereka tidak sedang mempertahankan kedaulatan administratif, melainkan sedang menahan laju implementasi amanat konstitusional.

Sikap seperti ini layak dinilai sebagai bentuk “obstruction of mandate” dan ketidakpatuhan terhadap sistem hukum nasional. Ketika lembaga pemerintah lokal bertindak di luar semangat konstitusi, maka Presiden dan Menteri Dalam Negeri berhak bahkan wajib untuk mengambil langkah-langkah konstitusional dalam memulihkan jalannya pemerintahan daerah yang sehat.

Oleh karena itu, agar stagnasi pemekaran itu ada ujungnya, maka langkah strategis yang perlu diambil yaitu: pertama, Pemerintah dan DPRD Provinsi secara bersama mengadukan secara resmi Pemkot dan DPRD Tidore Kepulauan kepada Presiden RI dan Menteri Dalam Negeri atas penundaan, penolakan, atau pembangkangan terhadap pemenuhan syarat administratif pemekaran. Kedua, Presiden melalui Mendagri dapat menggunakan kewenangan diskresi administratif (Pasal 22 dan 24 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan) untuk Membentuk Badan Pengelola Kawasan Sofifi sementara dan Mendorong penetapan Kawasan Khusus Ibukota (KKI) melalui Peraturan Pemerintah, serta Menetapkan pemekaran secara top-down jika dinilai sebagai kebutuhan nasional dan daerah (Pasal 33 ayat 2 UU 23/2014).

Langkah yg ketiga, ialah DPR RI dan DPD RI didesak segera membahas RUU Pembentukan Kota Sofifi dengan menjadikan UU 46/1999 sebagai dasar hukum utama, dan bukan menunggu terus-menerus “persetujuan politis” dari aktor lokal yang inkonsisten. Keempat, aktivasi partisipasi masyarakat Sofifi dan Maluku Utara melalui petisi publik, desakan ke Kemenko Polhukam, serta forum konsultasi publik, agar pemerintah pusat menyadari besarnya urgensi pemekaran.

Baca Juga:  Rasisme, Pers, dan Pesan-pesan Politik

Jangan Biarkan Sofifi Jadi Ibu Kota yang Terlupakan

Pemekaran Kota Sofifi bukan hanya soal wilayah administratif. Ini adalah perjuangan identitas daerah, efisiensi birokrasi provinsi, dan amanat konstitusi. Jika pemerintah daerah enggan melaksanakan kewajiban hukumnya, maka tidak ada pilihan lain: Presiden dan Mendagri harus turun tangan. Membiarkan Sofifi seperti ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap hukum dan rakyat Maluku Utara.

Karena hukum yang tak ditegakkan adalah janji kosong. Dan ibu kota tanpa otoritas hanyalah desa besar yang menunggu mati.