Sumbangan Ichan Loulembah untuk Kemanusiaan di Poso

Ruslan Sangadji

Oleh: Ruslan Sangadji

Mohammad Ichsan Loulembah, saya mengakrabinya dengan Tuaka Ichan (Tuaka itu Bahasa Kaili — etnis asli di Palu — yang berarti Kakak). Dia itu nyaris sempurna sebagai aktivis di Tanah Air. Pikiran-pikirannya bernas, berisi, bunyi dan terstruktur. Logikanya sangat baik. Argumentasi dan retorikanya juga sangat mumpuni. Segala macam informasi dilahap dengan baik, kemudian dishare ke banyak orang. Tak pelit informasi, semuanya terdistribusi dengan adil kepada siapapun.

Tuaka Ichan itu menjadi narasumber tetap saya ketika masih di The Jakarta Post. Apalagi kalau saya menulis tentang konflik Poso dan bentrok antarkampung di Sigi, Sulawesi Tengah. Bagi saya, Tuaka Ichan orang yang tepat memberikan penyataan tentang itu.

Kedamaian masyarakat Poso mulai terkoyak pada 25 Desember 1998, kemudian melebar hingga konflik bernuansa agama, dan baru mulai mereda pada 20 Desember 2001, setelah para tokoh muslim dan kristiani meneken kesepakatan damai, yang disebut dengan Deklarasi Malino.

Tuaka Ichan gelisah. Poso adalah kota kedua bagi Tuaka Ichan selain Palu sebagai kota kelahirannya. Banyak keluarganya di Poso. Dia bilang ke saya, Poso harus diselesaikan. Tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Menyelamatkan Poso, tidak hanya dengan cara mengevakuasi keluarga ke Palu, tapi harus menyelesaikannya sampai ke akar masalahnya.

Mengurusi penyelesaian konflik Poso, tidak hanya saat Tuaka Ichan duduk di kursi senat sebagai senator asal Sulawesi Tengah (2004-2009). Tetapi jauh sebelum itu, Tuaka Ichan sudah menghabiskan sebagian energinya untuk usaha damai di Bumi Sintuwu Maroso itu — Sintuwu Maroso adalah sebutan untuk Poso.

Suatu ketika pada Januari 2001, saya sedang berdua dengan Tuaka Ichan. Setelah diskusi tentang Poso, dia menelepon Abdul Muin Pusadan (Bupati ke 11 Poso yang menjabat pada 1999 hingga 2002), yang kebetulan juga adalah Ketua KAHMI Sulteng. Tuaka Ichan bertanya ke Bupati: Kak, apa yang sebenarnya  terjadi di Poso?.

Saya tak mendengar apa penjelasan bupati itu, tetapi saya melihat sesekali Tuaka Ichan manggut-manggut, dan sesekali mengatakan iya… ok… tanpa memotong pembicaraan atau menyela. Tuaka Ichan begitu serius menyimak penjelasan bupati. Saya menyaksikan, ada kristal di matanya. Air matanya menetes. Tuaka Ichan menangis, mungkin terharu atau sedih. (Saya tak bertanya lagi soal itu).

Baca Juga:  Harkat Jurnalis

Tuaka Ichan itu jago analisis masalah. Setelah mendengarkan penjelasan bupati, diam sejenak kemudian bilang, bupati tak bisa dibiarkan sendiri menyelesaikan masalah Poso. Bukan hanya bunuhan-bunuhan saja yang harus kita pikirkan, tetapi manusia yang hidup di pengungsian itu yang harus kita urus. Kita bisa ambil bagian di situ. Biar aparat keamanan yang menjaga situasi, kita pikirkan manusianya.

Tak lama berselang, Tuaka Ichan mulai ikut andil dalam pembentukan Kelompok Kerja Resolusi Konflik Poso (2021). Tak hanya sumbang saran, ide dan gagasan, tapi Tuaka Ichan juga aktif menggalang bantuan untuk kemanusiaan Poso. Saya menyebutnya Dakhwah bil Hal dari Tuaka Ichan. “Itu Dakwah bil Hal Namanya kak,” kata saya ke Tuaka Ichan.

Dia menjawabnya sambil mengelus kepalaku: “Ochan… Saya tidak punya banyak uang. Saya hanya bisa hubungi beberapa kawan di Jakarta yang punya uang. Kita harus ikut membantu pengungsi Poso,” katanya. Tuaka Ichan menyebut nama saya Ochan seperti kebanyakan yang lain, tapi kemudian dia ubah menjadi Mister Ruslan.

Kata Tuaka Ichan, pengungsi itu bukan persoalan sepele. Belum lagi soal mental break down, satu generasi yang hilang di sana. Konflik Poso itu tragedi kemanusiaan yang terlalu berat. Masyarakat hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian. Ini tak bisa dibiarkan. Harus segera ditangani, agar kita tidak dicap sebagai negara yang tidak mampu menjaga martabat kemanusiaan. “Bagaimana menurutmu?,” tanya Tuaka Ichan. Ya saya hanya manggut-manggut saja sambil bilang: cocok tuaka.

“Chan, kau tau istilah ABS? nah, jawabanmu itu ABS namanya (Asal Bapak Senang),” kata Tuaka Ichan sambil ketawa.

Saya sangat segan dengan Tuaka Ichan. Saya tak berani berpendapat di hadapan Tuaka Ichan yang cerdas itu. Tapi terpaksa juga saya jawab: Betul tuaka, manusia dan kemanusiaan di Poso, tidak bisa ditukar dengan kepentingan politik sesaat, karena manusia itu bukan barang dagangan.

Baca Juga:  Arsitektur di Hutan Halmahera

“Naaaaah begitu dong. Bicara. Jangan saya terus yang kau suruh bicara. Saya ini tidak berceramah. Kita ini diskusi,” katanya.

KONFLIK POSO ITU UNIK

Konflik Poso itu berjilid-jilid atau ada periodesasinya. Jilid I terjadi pada 1998 – 1999, Jilid II pada 1999 – 2000, Jilid III 2000 – 2022. Pasca Deklarasi Malino, masuk kelompok luar garis keras. Negara menyebutnya kelompok teroris, yang berakhir dengan kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

Tuaka Ichan bilang ke saya (2002), tidak ada wilayah lain di Indonesia yang memiliki sejarah pembunuhan berseri atau berjilid-jilid seperti Poso. Ini harus dianggap sebagai masalah luar biasa, extra ordinary. Ada teror yang sistematis di sana.

Poso, kata Tuaka Ichan, harus ditangani secara komprehensif. Penanganan Poso itu tidak melulu soal penegakan hukum dan keamanan. Ekonomi rakyatnya juga harus diurus. “Orang lapar itu bisa jadi radikal,” begitu kata Tuaka Ichan.  Sangat geometris batinku.

Tuaka Ichan bilang, masalah Poso tak bisa hanya diserahkan kepada bupati, gubernur, kapolda dan danrem saja.  Beliau-beliau itu butuh dukungan politik yang kuat dari pemerintah pusat. “Percaya sama saya, konflik Poso itu bukan masalah lokal. Tapi ada yang menekan remotnya dari Jakarta. Ini politik,” begitu analisis Tuaka Ichan.

Saya bilang ke Tuaka Ichan, kalau remotnya dari Jakarta, maka komiu (Anda) tidak boleh hanya berada di luar sistem untuk mengurusinya. Tuaka harus ada di dalam sistem. Kita di luar bisa berteriak, suara kita didengar, tapi tak berarti apa-apa.

“Betul juga. Tapi rokok kita habis. Bagaimana kalau pigi (pergi) beli?,” singkat Tuaka Ichan tanpa menyuruh, tapi bertanya dengan kata bagaimana. Pilihan katanya tidak membuat kita merasa sebagai adik atau orang yang disuruh. “Bagaimana kalau pigi beli?”.

Warung rokok hanya tak begitu jauh rumahnya di Jalan Rajawali Palu Timur.  Setelah membeli rokok (ketika itu sampoerna mild), diskusi berlanjut. Sesekali ibundanya (Allahummagfirlaha warhamha wa’afiha wa’fu anha) datang menengok kami berdua.

Baca Juga:  Menyoal Kontrol Negara dalam Masyarakat Informasi

Tuaka Ichan bilang ke saya, Chan (Ochan), konflik Poso itu melibatkan masyarakat banyak dari dua agama berbeda. Maka kita harus meniliknya dari sudut sosiohistoris dan sosioekonomi. Hal ini terkait dengan budaya dan tingkat kemakmuran rakyat.

Secara sosiohistoris, Tuaka Ichan bilang, dahulu kala tidak ada kerajaan yang dominan, tidak seperti kerajaan Bone dan Gowa di Sulawesi Selatan dan seperti Kesultanan Ternate dan Tidore di kampungmu itu. Dengan begitu, tidak ada pula etnis yang dominan di Poso. Ada Mori, Gorontalo, Bugis, Kaili, Minahasa (Manado) dan banyak lagi etnis yang hidup di Poso. Nah, maka saya berpikir, kita harus kumpulkan tokoh-tokohnya, kita bertemu dan bicara. Mungkin itu salah satu cara menyelesaikan konflik Poso.

Niatan Tuaka Ichan belum sempat ia wujudkan ketika itu, karena harus kembali ke Jakarta. Tetapi kemudian, entah karena idenya itu, beberapa kali Bupati Poso Abdul Muin Pusadan menggelar pertemuan demi pertemuan dengan para tokoh masyarakat dan tokoh agama di Poso, untuk membicarakan perdamaian.

“Tuaka, saya lagi di Poso sekarang. Saya hadiri pertemuan bersama bupati dan para tokoh masyarakat, tokoh agama dan aparat keamanan, untuk perdamaia. Tapi ada lemparan bom molotov sekitar 300 meter dari tempat pertemuan,” begitu saya malaporkan situasi dari Poso.

Dari ujung telepon genggam, Tuaka Ichan sampaikan ke saya: “So Poso’s future depeds on Poso residents and these two people, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, (the president and vice president). They should personally work to resolve the matter and there’s no need to cover up when there’s a party trying to keep spreading terror in Poso“.

Sekarang, Poso sudah aman. Poso sudah damai. Tak ada lagi segregasi di masyarakat. Damainya Poso, mengantarkan Tuaka Ichan pulang ke pangkuan Ilahi Rabbi dengan damai pula. Selamat jalan Tuaka. Allahummagfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu. (*)