Sidang gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa dengan agenda pemeriksaan persiapan yang dilangsungkan di PTUN Jakarta, tidak dihadiri oleh DPR dan Presiden sebagai pihak tergugat.
Sebelumnya, gugatan perbuatan melawan hukum ini dilayangkan oleh para penggugat dengan No. 542/G/TF/2023/PTUN.Jkt, di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) Rabu, 25 Oktober 2023.
Syamsul Alam Agus, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) sekaligus sebagai kuasa hukum para penggugat menilai ketidakhadiran DPR dan Presiden di persidangan mengkonfirmasi ketidakberpihakan kedua lembaga negara itu terhadap Masyarakat Adat di Indonesia.
“Kami menyesalkan sikap DPR dan Presiden yang tidak menghargai proses hukum. Ketidakhadiran mereka di persidangan adalah contoh buruk ketidakpatuhan negara yang tidak patut dicontoh”, ujar Alam, Kamis, 2 November 2023.
Menurut Alam, sikap abai DPR dan Presiden sudah ditunjukkan sejak RUU Masyarakat Hukum Adat masuk dalam Prolegnas tahun 2004 hingga sekarang.
“DPR dan Presiden bersikap abai dan melakukan tindakan penundaan berlarut pada proses pembentukan UU Masyakarat Hukum Adat, yang merupakan kewajiban konstitusional kedua lembaga itu. Akibatnya, praktik perampasan wilayah adat, penggusuran masyarakat adat dari wilayah adat, diskriminasi dan kriminalisasi serta hilangnya identitas yang melekat pada Masyarakat Adat yang mempertahankan wilayah adatnya, terus berlanjut” jelas Alam.
Ia pun berharap, pengadilan dapat menjadi ruang bagi para penggugat untuk menuntut keadilan atas wilayah adatnya.
Adapun pihak penggugat adalah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) beserta 9 orang Perwakilan Masyarakat Adat. Mereka berasal dari Komunitas Masyarakat Adat Kasepuhan Cisungsang Jawa Barat, Komunitas Masyarakat Adat Osing Banyuwangi, Komunitas Masyarakat Adat Gendang Ngkiong Manggarai dan Komunitas Masyarakat Adat Tobelo Dalam Halmahera.
Permohonan Para Penggugat disebabkan karena DPR dan Presiden tidak menindaklanjuti proses pembentukan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat sehingga berimbas negatif terhadap pemenuhan hak-hak konstitusional para penggugat.
Perlu diketahui, ada 6 (enam) orang Penggugat yang berasal dari Komunitas Masyarakat Adat Tobelo Dalam ditambah dengan 1 (satu) orang Masyarakat Adat Gendang Ngkiong atas nama Mikael Ane mengalami kriminalisasi dan saat ini masih mendekam di dalam penjara.
Mikael Ane dipenjara karena mempertahankan wilayah adatnya yang diklaim oleh negara sebagai kawasan hutan taman wisata alam dan Mikael Ane sendiri dipidana dengan hukuman penjara 1,5 tahun.
Sementara, 6 orang Masyarakat Adat Tobelo Dalam dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan 20 tahun penjara. Pada tingkat kasasi, mereka malah dijatuhi pidana hukuman mati dan penjara seumur hidup. (RLS)
——-
Penulis: Muhammad Ilham Yahya
Editor: Rian Hidayat Husni