Sungai Sagea di Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara kembali mengalami keruh. Akibatnya, warga mengaku waswas mengambil air bersih di aliran sungai untuk dikonsumsi.
“Warna air mulai berubah sejak Sabtu pagi, 16 Maret 2024 kemarin. Kalau kondisinya keruh, warga tidak berani mengambil air,” ucap Mardani Lagaelol, warga Desa Sagea, kepada cermat, Minggu, 17 Maret 2024.
Mardani mengaku perubahan warna air kali ini sangat tak lazim. Pasalnya, ada sedimen berupa lumpur pekat berwarna cokelat-kemerahan tampak memenuhi bantaran sungai.
September 2023 lalu, kata Mardani, kejadian serupa bahkan mengakibatkan warga Desa Sagea dan Kiya mengalami krisis air bersih selama beberapa hari. Ia bilang kejadian itu berujung protes warga kepada perusahaan tambang dan pemerintah daerah.
“Sejauh ini pemerintah melalui Dinas Lingkungan Hidup belum turun mengecek. Padahal kondisi sungai sangat memperihatinkan. Padahal sungai ini dimanfaatkan warga untuk minum, mencuci dan mandi. Kalau tercemar terus, tentu saja ini berdampak serius,” kata Mardani.
Cermat mengonfirmasi Kepala DLH Halmahera Tengah Rivani Abdurradjak melalui pesan singkat pada Minggu, 17 Maret 2024. Rivani sekali lagi tidak menjawab konfirmasi tersebut hingga berita ini ditayangkan.
Sementara, Mardani yang turut menyuarakan protes bersama Koalisi Selamatkan Kampung Sagea (SEKA), menuturkan, pencemaran sungai ini ditengarai karena adanya aktivitas pertambangan di bagian hulu wilayah Sagea.
“Ada operasi perusahaan di bagian hulu tepatnya di daerah Boki Makot dan Pinto. Itu lokasi eksplorasi oleh PT WBN, perusahaan yang terintegrasi dengan PT IWIP. Beberapa hari lalu kami sempat ke lokasi itu dan memantau,” kata Juru Bicara SEKA tersebut. Sementara bagian Humas PT IWIP yang dihubungi cermat via WhatsApp belum memberi tanggapan.
Hasil peninjauan KLHK terkait dugaan pencemaran Sungai Sagea yang terjadi September 2023 lalu, kata Mardani, hingga kini belum dikantongi pihaknya. Sebelumnya, Pemkab Halteng menyurati KLHK untuk menginvestigasi dugaan pencemaran akibat aktivitas pertambangan.
“KLHK memang turun langsung, tapi hingga kini kami belum menerima informasi dugaan pencemaran ini seperti apa,” ungkapnya.
Sebelumnya, Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara meminta lima perusahaan tambang menghentikan operasinya buntut dari pencemaran Sungai Sagea. Hal itu berdasarkan surat dengan nomor: 600.4.5.3/1120/LH.3/IX/2023 pada Senin, 4 September 2023.
Kelima perusahaan tersebut adalah PT. Weda Bay Nikel (WBN), PT Halmahera Sukses Mineral, PT Tekindo Energi, PT Karunia Sagea Meneral, dan PT Fris Pasific Mining.
Forum Studi Halmahera (Foshal) Maluku Utara mencatat ada 19 Izin Usaha Pertambangan (IUP) Nikel di Weda Utara, termasuk Sagea dan wilayah sekitarnya. Total konsesi belasan IUP ini mencapai 103.363 ribu hektar.
Akademisi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Masri Anwar menilai pemerintah daerah terus mengabaikan kerusakan lingkungan akibat operasi pertambangan. Ia menyebut ada kongsi kepentingan antara Pemda Halteng dengan investor pertambangan yang berujung terhadap pembiaran kerusakan ekologi.
“Masalah pencemaran Sungai Sagea dan Gua Bokimaruru ini bukan kali pertama dan pemerintah terus abai. Padahal, kalau merujuk Undang-undang Lingkungan Hidup, ini adalah kejahatan luar biasa,” jelas Masri saat dihubungi cermat, Senin, 18 Maret 2024.
Masri menuturkan bahwa perlu ada sanksi tegas Pemerintah Daerah melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) kepada pelaku pertambangan. “Pemerintah justru memberi iklim investasi seluas-luasnya kepada korporasi yang merusak lingkungan,” tegasnya.
Pemerintah dan perusahaan tambang, kata Masri, harus bertanggung jawab atas masalah lingkungan di Halmahera Tengah.
“Perusahaan memiliki kewajiban mematuhi kaidah lingkungan. Sehingga warga tidak menjadi korban atas dampak kerusakan ekologi ini,” tandasnya.