News  

Tanggapan Dokter dan Psikolog Soal Kasus Kesehatan Mental di Maluku Utara

Syaiful Bahry (Ketua HIMPSI Maluku Utara dan dr. Fatir M. Natsir (Dokrer RSJ Sofifi).

Kesehatan mental menjadi isu yang semakin mendesak perhatian di tengah masyarakat, terutama di Maluku Utara. Selain itu, edukasi untuk menghilangkan stigma sangat penting di era internet ini. Selain itu,  minimnya penanganan gangguan jiwa menimbulkan tantangan serius dalam mendukung psikologis penduduk setempat.

Baru-baru ini, publik juga dihebohkan dengan dugaan gangguan kesehatan mental oleh seorang pria paruh baya, Arisandy Samuda, di Kepulauan Sula, yang mengaku sebaga Rasul Allah, lewat postingan di akun facebook pribadinya. Bahkan, ia sempat membuat baliho dirinya berukuran besar, sebagai Calon Tunggal Presiden RI 2024.

Tim cermat pun memeriksa postingan tersebut, pada laman komentar, tidak sedikit pengguna media sosial berkomentar negatif hingga menghakimi. Bahkan, beberapa media pun telah menerbitkan berita keheboan itu.

Pada Kamis, 7 Desember, cermat mengunjungi kediaman Arisandy Samuda, untuk memastikan kondisi beliau, dan dampak psikologi keluarga. Mereka tertekan. Bahkan meminta beberapa media untuk menurunkan berita, yang dapat mempengaruhi mental mereka.

Hingga Minggu, 10 Desember,  cermat menghubungi Psikolog, yakni Syaiful Bahry, Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) Maluku Utara dan dr. Fatir M. Natsir dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Sofifi. Berikut tanggapan mereka:

Syaiful Bahry: Secara psikologis Beberapa penyebab orang mengalami gangguan jiwa, pertama, faktor genetik (keturunan), faktor fisik, serta lingkungan keluarga dan sosial. Pada faktor genetik (keturunan), dapat disebabkan karena terdapat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa, sehingga menurun pada anggota keluarga lainnya.

“Namun, apabila situasi keluarga dapat memberikan kenyamanan dan dukungan yang baik, dapat mencegah timbulnya gangguan jiwa, meskipun memiliki keluarga yang pernah mengalami gangguan jiwa,” ungkap Syaiful Bahry.

Pada faktor fisik, beberapa pasien yang mengalami kecelakaan atau penyakit tertentu, baik bersifat kronis maupun akut, dapat mengalami beban emosional, kognitif, dan perubahan tingkah laku, sehingga mengakibatkan gangguan jiwa. Sementara faktor lingkungan keluarga dan sosial, yaitu kurangnya dukungan dari keluarganya dan semakin diperkuat dengan kurangnya penerimaan dari lingkungan sosial, sehingga sangat berpotensi mengakibatkan gangguan jiwa.

“Sepertinya Belum ada riset di Maluku Utara mengenai dampak psikologis keluarga yang mengalami Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) tapi kita bisa mengamati atau observasi masih banyaknya ODGJ yang berkeliaran di kota Ternate, hal ini menunjukkan bahwa pihak keluarga sepertinya  lepas tangan ataupun mengabaikan  keluarganya yang mengalami ODGJ.

Dalam kasus AS butuh support pemerintah (Instansi terkait) untuk membantu AS Keluar dari masalahnya. Peran dari berbagai pihak untuk proses penyembuhan AS diantaranya yaitu psikiater yang dapat memberikan psikofarmakologi, psikolog yang dapat memberikan psikoedukasi dan psikoterapi, kader kesehatan yang dapat memantau kondisi pasien dan membantu keluarga pasien untuk merujuk ke fasilitas kesehatan, perawat jiwa dan pekerja sosial yang mampu memberikan rehabilitasi berupa pemberian aktivitas/pekerjaan sesuai kemampuan pasien.

Selain itu, dibutuhkan peran ahli agama untuk melakukan pendekatan agama  dan tentunya dukungan sosial serta peran keluarga. Dengan kondisi AS seperti itu harapan saya publik tidak perlu menanggapi secara negatif, cukup menaggapi secara positif,  misalnya masyarakat meminta pemerintah daerah dan keluarga AS agar AS bisa di bawa dan  diperiksa secara intensif mengenai kondisi kesehatan jasmani dan rohani.

dr. Fathir M. Natsir: Untuk memastikan seseorang gangguan jiwa harus melewati 3 pemeriksaan, pemeriksaan fisik, kejiwaan, dan penunjang. “Pemeriksaan fisik meliputi kesehatan fisiknya, sedang kejiwaan meliputi penggalian riwayat masa lalu, masa kini, tingkat kesadaran, persepsi, alam perasaan, isi pikir, kognitif-intelektual, kemampuan daya nilai, dan lainnya seperti penggunaan instrumen tes kuisioner paramater Kejiwaan yang memperlihatkan hasil tingkat kesehatan psikiatrinya saat itu,” kata dr. Fatir, yang bertugas di RSJ Sofifi, kepada cermat.

Katanya, hal itu, ditangani secara kompetensi oleh Dokter spesialis kedokteran Jiwa (Sp.KJ) atau Psikater dalam Multi Axial diagnosis. Sedangkan pemeriksaan penunjang yang dilakukan harus meliputi pemeriksaan Tes darah, tes Napza, dan pencitraan kepala (otak) baik menggunakan CT scan, MRI atau deteksi gelombang otak EEG untuk memastikan apakah kelainan jiwa ini diakibatkan oleh penggunaan zat atau kelainan anatomi sejak lahir, akibat cedera atau juga diakibatkan karena penyakit dan usia.

Sebab itu, dr. Fatir bilang, publik ataupun respons pada sosial media, harusnya mendukung upaya penyembuhan pasien seperti kasus di atas. “Pada kasus ini, tentunya kita tak boleh menghakimi, mengejek, atau merundung korban tanpa tahu kebenaran kesehatan perilaku dan kondisinya,” ujar Sekretaris umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Maluku Utara periode 2018 hingga 2021 ini.

“Keluarga atau pihak masyarakat harus membantu mendukung, mengedukasi dan memfasilitasi pasien untuk diperiksa ke Rumah Sakit, atau Rumah Sakit Jiwa dan Dokter Spesialis Jiwa agar mengetahui lebih jelas kondisi pasien secara benar lewat rangkaian pemeriksaan. Ini penting, baik dalam tujuan perawatan kesehatannya, perlindungan hukum, atau sebaliknya dapat merugikan dirinya. Sebab dalam dunia Kejiwaan ada juga suatu perilaku dimana seseorang  dapat dengan sengaja memanipulasi sakitnya demi suatu tujuan yang menguntungkan dirinya, perilaku ini disebut melingering,” tambahnya.


Penulis: Faris Bobero

Baca Juga:  Polresta Tidore Dapat Predikat Kepatuhan Pelayanan Publik dari Ombudsman