News  

Suara Hati Keluarga Tersangka Penolak Tambang di Halmahera Timur

Kamari Malik bersila di rumahnya. Ia cerita bagaimana ketidakadilan menimpa suaminya yang harus dipenjara hanya karena mempertahankan tanah adat mereka. Foto: Istimewa

Perasaan tak menentu membaluti hati Kamaria Malik saat mengetahui suaminya ditangkap bersama puluhan warga lain usai menggelar unjuk rasa di kawasan tambang PT Position.

Suami Kamaria, Nahrawi Salamudin, harus mendekam di balik jeruji besi karena dituduh menggannggu aktivitas pertambangan PT Position di Halmahera Timur, Maluku Utara.

Bersama tiga anaknya, Kamaria tinggal di rumah sederhana berdinding batako (bata yang dibuat dari adukan pasir) di Desa Maba Sangaji.

Bagi Kamaria, tudingan perusahaan yang menganggap suaminya melakukan aksi premanisme, merupakan bentuk ketidakadilan. Sebab menurut ia, sang suami sejatinya mempertahankan tanah mereka dari penyerobotan lahan oleh perusahaan. Seperti juga tersangka lain yang ditangkap.

“Padahal suami saya bukan kriminal. Hanya berdiri bersuara tentang hak kami, tentang hak hidup kami,” ujar Kamaria kala ditemui di rumahnya, pada Minggu, 10 Juli 2025.

Sebelumnya, polisi menangkap 27 warga Maba Sangaji dalam unjuk rasa tersebut, 11 di antaranya ditetapkan tersangka termasuk Nahrawi.

Mereka dijerat Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 1951 (UU Darurat) terkait penggunaan senjata tajam tanpa hak dengan ancaman hukuman 10 tahun.

Selanjutnya pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba karena merintangi kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki izin dengan ancaman pidana 1 tahun.

Pasal lainnya yang disangkakan adalah 368 ayat 1 Jo pasal 55 ayat 1 KUHP atas dugaan melakukan tindak pidana pemerasan dan pengancaman.

Setelah menjalani praperadilan, saat ini berkas dari 11 warga Desa Maba Sangaji telah dilimpahkan atau tahap II ke Kejaksaan Negeri Tidore.

Baca Juga:  Patungan OPD, Pemkot Ternate Target 30 Ekor Sapi Kurban

Kamaria mengaku seluruh tudingan hingga sangkaan pasal-pasal tersebut adalah wujud nyata ketidakadilan bagi mereka. Terlebih ia kini menjadi tulang punggung keluarga semenjak suaminya dipenjara.

Kondisi itu memaksa anak sulungnya yang masih duduk di kelas 3 SMA harus mencari nafkah untuk menopang ekonomi keluarga mereka. “Dia sering panjat pohon kelapa dan membuat kopra untuk dijual ke pasar. Anak kedua saya kelas 2 SMP dan si bungsu masih SD,” ujarnya.

Bagi Kamaria, anak-anaknya terlalu cepat kehilangan masa kecil tanpa kehadiran sosok ayah mereka. Ia sendiri mencari peruntungan dengan menjajakan kue dan kudapan lain. Sesekali, perempuan paruh baya itu pergi ke kebun untuk memungut biji pala dan dijual.

“Setiap malam saya berdoa agar suami saya pulang. Kami tidak minta apa-apa, cuma keadilan.”

Keadilan dimaksudkan bukan hanya untuk suaminya, tapi juga untuk masyarakat adat Maba Sangaji yang selama ini memperjuangkan hak mereka atas lingkungan dan tanah ulayat yang terancam eksploitasi tambang.

“Saya tahu kami ini rakyat kecil. Tapi kami juga manusia, kami juga punya hak untuk bersuara,” tutupnya.

Penulis: Tim CermatEditor: Rian Hidayat Husni