Dermaga Hiri dalam Bayang-bayang Inkonsistensi

Oleh: Nurkholis Lamaau

(Jurnalis cermat)

Tahun 2021, rencana pembuatan breakwater (pemecah ombak) dimulai dari skema penyatuan anggaran dua instansi: Dinas Perhubungan dan Dinas PUPR.

Dinas Perhubungan menyiapkan Rp 850 juta. Tapi dibuka Rp 200 juta untuk perencanaan. Tersisa Rp 650 juta.
Dari jumlah itu, digabung dengan anggaran yang melekat pada Dinas PUPR sebesar Rp 650 juta. Totalnya Rp 1,3 miliar. Sumbernya dari APBD Induk 2021.

Wali Kota Ternate, M. Tauhid Soleman, kala itu menilai Rp 1,3 miliar tidak akan maksimal. Tapi awal Juni 2022, terungkap bahwa pada tahun 2021 ada perubahan anggaran cetak tetrapod tahap I.

Dari semula Rp 1,4 miliar menjadi Rp 300 juta lebih. Alasan dari kesepakatan itu karena sudah di penghujung 2021. Secara hukum dinilai tidak ada sisa yang harus dibayar ke rekanan.

Saat itu, kuasa pengguna anggaran (KPA) Dinas PUPR menyebut, jumlah tetrapod yang dicetak dengan anggaran Rp 300 juta sebanyak 182 buah.

Tapi keterangan pihak CV Diyacel Sejati selaku rekanan, menyebut total tetrapod yang dicetak sebanyak 624 buah. Rinciannya, ukuran kecil 190 buah dan ukuran besar 434 buah.

Sementara, pemkot lewat Dinas PUPR mengklaim tetrapod yang sudah selesai dicetak pada tahun 2022 sebanyak 1.100 buah. Jika ditambah dengan cetakan di 2021, totalnya 1.300 buah.

Padahal, kalau mengikuti keterangan rekanan, maka jumlah yang dicetak sebanyak 1.724 buah. Lalu dari mana angka 1.300 buah ini diperoleh? Dan mana yang benar?

Di tahun 2023, ada rencana mencetak 1.000 lebih lagi. Kepala Dinas PUPR Ternate bilang kalau mengikuti desain awal, jumlah tetrapod yang dibutuhkan 4.000 lebih.

Tapi Dinas PUPR bersama tim teknis dari Universitas Khairun berupaya melakukan rekayasa untuk mengurangi beban anggaran, sehingga jumlah tetrapod yang dibutuhkan tersisa 2.000 lebih saja.

Baca Juga:  Brimob Terjunkan Tim Sar ke Desa Terdampak Gempa di Halut

Informasi yang saya peroleh dari teman-teman Hiri, tinggi gelombang pantai di lokasi pelabuhan berkisar 4-6 meter. Saat mereka melakukan pengukuran, titik pecah gelombang berkisar 100 meter dari bibir pantai.

Sedangkan data dari Dinas PUPR, penyusunan tetrapod dari dasar hingga permukaan laut setinggi 8 meter.

Artinya, jika pernyataan Kepala Dinas PUPR soal kebutuhan tetrapod idealnya 4.000 buah, apakah ada jaminan dari rekayasa dengan kebutuhan 2000 buah saja?

Saat itu, proyek lanjutan pencetakan tetrapod tidak dianggarkan dalam APBD Perubahan 2022.

Tapi pemkot berupaya memperpanjang kontrak cetak tetrapod–mendahului APBD Perubahan 2022–yang dialokasikan dari APBD Induk tahun 2021 sebesar Rp 2,1 miliar atau 70 persen.

KPA menyebut proyek tahap II yang dianggarkan dalam APBD Induk 2022 sebesar Rp 2,9 miliar sudah include dengan tahap penenggelaman tetrapod ke laut. Memang, di lokasi sudah terlihat.

Terakhir, pencetakan tetrapod tahap III kembali diusulkan dalam APBD Induk 2023 sebesar Rp 3 miliar. Tapi yang disepakati sebesar Rp 2,2 miliar.

Di sini, keterangan mulai berbeda.

KPA menyebut rincian penggunaan anggaran yang sudah diserahkan ke Bappelitbangda untuk proyek tahap III pada APBD Induk tahun 2023 sebesar Rp 2,1 miliar. Sementara, Kepala Dinas PUPR menyebut Rp 3 miliar, dan itu hanya untuk menambah cetakan tetrapod.

Belakangan, terungkap bahwa pemerintah masih punya tunggakan ke Mata Intan Cahaya selaku rekanan dalam pencetakan tetrapod tahap II tahun 2022 sebesar Rp 800 juta. Apakah anggaran Rp 2,2 miliar terpakai untuk membayar utang?

Dari sini, penjabaran data soal berapa jumlah tetrapod yang sudah dicetak hingga kepastian anggaran yang disiapkan, sulit dipastikan.

Ketidakterbukaan pemerintah atas dokumen perencanaan, penganggaran–seperti yang intens disuarakan pemuda Hiri–hingga kapabilitas orang-orang yang diberi tanggung jawab, patut menjadi perhatian bersama.

Baca Juga:  Krisis Pangan, Nyatakah?

Sebelumnya, pada tahun 2020, bangunan ruang tunggu lama di areal pelabuhan dibongkar. Tersisa lantai dan tiang-tiang beton yang terkesan lapuk termakan usia. Di sisi bangunan, fondasi dibuat menempel dengan gedung lama.

Rencanannya, gedung tersebut akan dibangun Kantor Pelabuhan Dinas Perhubungan. Tapi diprotes pemuda Hiri.

Karena proyek yang dianggarkan Rp 200 juta itu terkesan dikerja asal-asalan. Apalagi dalam nomenklatur harus dibangun baru, bukan renovasi.

Saya pikir, apa jadinya jika tidak dikritisi. Ini baru kantor pelabuhan. Bagaimana dengan item-item proyek yang lain.

Dalam beberapa keadaan semacam ini, saya berpendapat definisi apapun mengenai pembangunan yang dibuat, akan selalu sejalan dengan peluang dan kepentingan mereka sendiri.

Yang dilupakan dalam pendekatan ini adalah partisipasi masyarakat. Padahal orang-orang yang menjadi sasaran kebijakan perlu diikutsertakan dalam definisi, desain, dan pelaksanaan dari proses pembangunan itu.

Minimal, ada gambaran tentang apa itu pembangunan? Pembangunan dalam tingkat apa? Siapa yang menetapkan? Siapa yang memungut keuntungan-keuntungan dari pembangunan itu? Siapa yang memikul resiko-resikonya? Dan apa saja yang menjadi implikasi moral pada tingkat pembuatan kebijakan?

Bagaimana pun, perubahan struktur-sosial diperlukan. Tapi ada kalanya sulit dicapai. Sebab perubahan dasar di masyarakat membutuhkan komitmen ideologis dan politis, serta partisipasi populis dari mayoritas masyarakat.

Partisipasi dalam proses pengambilan keputusan sangat diperlukan. Karena pembangunan yang berhasil harus didukung oleh semua komponen, agar masyarakat memiliki sense of beloging (rasa memiliki) dan sense of responsibility (rasa tanggung jawab terhadap pelaksanaan pembangunan).

Sebab pembangunan merupakan proses perubahan yang direncanakan dan dikehendaki. Setidaknya, pembangunan harus didasari atas kehendak masyarakat yang terwujud dalam keputusan pemimpin.