News  

Istri Tersangka Penolak Tambang PT Position Buka Suara: Suami Saya Bukan Preman

Suryati Hi Kota

Suryati Hi Kota, 42 tahun, hanya bisa menatap kosong halaman rumahnya yang dikelilingi ilalang. Siang itu, sorot matanya tampak lesu. Ia seolah-olah menyimpan kesedihan mendalam.

Suryati merupakan istri Sahrudin Awat, satu di antara 11 tersangka penolak tambang PT Position di Desa Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara, yang kini dipenjara.

Kabar penangkapan Sahrudin dan puluhan warga lainnya justru diketahui melalui informasi media online pada Mei 2025 lalu. Kabar itu cukup membuat Suryati terpukul.

Baca Juga:  Partai Gelora Jagokan Adik Ketua Umum Bacaleg DPR RI Dapil Malut

“Waktu itu saya lihat di grup WhatsApp, ada berita kalau suami saya dan beberapa warga ditahan. Saya langsung sedih. Suami saya bukan penjahat, bukan preman, dia hanya mempertahankan tanah kami,” ujar Suryati kepada awak media, Minggu, 20 Juli 2025.

Sahrudin bekerja sebagai penambang pasir di sekitar Kali Sangaji. Selama ini, ia menghidupi Suryati dan tiga anaknya. Dari penghasilan itu, cukup untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah. “Sekarang saya harus berjuang sendiri,” tuturnya.

Baca Juga:  Polisi yang Tabrak Warga di Ternate Bebas dari Jeratan Hukum

Menurut Suryati, harapan keluarga mereka saat ini ada di anak sulungnya, mahasiswi Unkjair yang kini harus bertahan dengan kiriman seadanya dari ibunya, atau dari uluran tangan keluarga.

“Untuk bayar uang kuliah, uang kost, makan anak saya di Ternate… saya jual apa saja. Kadang bikin kue, kadang pinjam uang. Saya malu terus minta ke orang. Tapi saya tidak mau anak saya putus kuliah,” ujar Suryati sambil menyeka air matanya.

Kriminalisasi dan Penangkapan

Polda Maluku Utara mengerahkan personelnya untuk menjaga keamanan perusahaan tambang PT Position saat warga menggelar aksi protes. Polisi pun menangkap 27 warga dan menetapkan 11 di antaranya sebagai tersangka.

Polisi menyebut, 11 warga ini dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 12 Tahun 1951 (UU Darurat) membawa sajam tanpa hak dengan ancaman hukuman 10 tahun. Kemudian, pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba karena merintangi kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki izin dengan ancaman pidana 1 Tahun.

Baca Juga:  Sultan Tidore Kembalikan Formulir Pendaftaran Calon Gubernur ke Demokrat

Selain itu, sejumlah laporan juga menyebut bahwa pembukaan akses tambang merusak hutan lindung, mencemari sungai, dan memicu konflik horizontal di masyarakat.

“Padahal sumai saya hanya bilang ini hutan kami, jangan rusak. Tapi karena dia rakyat kecil, langsung ditangkap,” ucap Suryati.

Kehidupan Suryati tergantung pada belas kasih kerabat dan tetangga yang tak tega melihat mereka kelaparan. Namun, bukan hanya lapar yang mereka rasakan. Tapi luka batin yang mendalam—karena kehilangan sosok ayah, pelindung, dan pencari nafkah.

Baca Juga:  Kedapatan Melanggar, Polres Ternate Tilang 291 Pengendara

Suryati tak ingin menyerah. Namun ia mengaku lelah. “Saya hanya minta satu: bebaskan suami saya. Kami tidak minta lebih. Biarkan dia pulang, lihat anak-anak, bantu saya cari nafkah. Kami ingin hidup tenang. Kami cuma rakyat kecil,” katanya dengan suara bergetar.

Penangkapan 11 warga Sangaji Maba adalah potret buram bagaimana hukum kadang berdiri di sisi yang salah. Hutan yang mereka jaga sejak leluhur kini dikeruk demi tambang. Sungai tempat mereka mencari ikan kini keruh oleh aktivitas alat berat. Dan suara-suara yang menolak, dibungkam dengan borgol dan pasal karet.

Dalam percakapan terakhirnya lewat telepon dengan Sahrudin, Suryati mengakui bahwa suaminya hanya berpesan satu hal: “Jaga anak-anak baik-baik. Jangan biarkan mereka menyerah.”

Baca Juga:  Kadis Transmigrasi Taliabu Tekankan Pekerja THM Wajib Punya Kartu AK-1

Penulis: Tim CermatEditor: Rian Hidayat Husni