Oleh: Sarfan Tidore*
Kemerdekaan pada dasarnya adalah pemulihan luka, kesetaraan derajat, harkat dan martabat manusia. Indonesia di usia 78 tahun ini mengundang banyak pertanyaan: sudahkah komunitas masyarakat penghuni pulau-pulau kecil menikmati makna sejati kemerdekaan? Pemerataan pembangunan berkeadilan adalah hak dasar yang tak bisa ditangguhkan. Konstitusi kita pun memerintahkan hal itu.
Pertanyaan sekaligus pernyataan tersebut terkadang sungguh mengiris tepi nurani, menguras kewarasan dan menyesakkan rongga tenggorokan. Mengapa tidak! Pemerataan, keadilan, persamaan hak untuk hidup layak adalah sebuah dunia lain yang begitu asing bagi komunitas penghuni pulau-pulau kecil.
Contoh fakta cukup banyak, Anda hanya cukup berkunjung di desa-desa seperti Kao Barat, Loloda Kepulauan (Halmahera Utara), Gane Dalam, Gane Luar (Halmahera Selatan), Sula Besi Barat dan desa-desa di Sula Besi Selatan (Kepulauan Sula).
Contoh fakta eksistensi negara pada ketiga kabupaten pulau di atas mungkin saja agak jauh, menyita waktu, biaya perjalanan serta menyulitkan karena akses layanan publik bisa dibilang jauh dari kata baik. Tak perlu jauh-jauh, pulau-pulau terdekat di Ternate misalnya saja Batang Dua, Moti, dan Pulau Hiri. Kita akan menemukan definisi dan makna kemerdekaan dalam hirarki kekuasaan negara pada kehidupan komunitas penghuni pulau-pulau ini, hanya dalam ilustrasi abstraksi tanpa fungsi riil.
Sebagai buktinya, pada kemeriahan Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan 17 Agustus 2023 beberapa hari lalu terbersit sebuah peristiwa cukup menarik tentang makna kemerdekaan dalam konteks kekinian. Yakni upacara pengibaran bendera setengah tiang di Hari Ulang Tahun kemerdekaan yang digerakkan Aliansi Masyarakat Pulau Hiri (AMPUH), adalah sebagai bentuk sikap perlawanan.
Resistensi orang-orang tak dianggap, dipinggirkan, dilukai, atau “Orang-Orang Kalah”, dalam istilah Roem Topatimasang, yang sekalipun gelombangnya kecil, tetapi cukup menguliti makna kemerdekaan.
Sudah begitu, sikap resistensi mereka bukannya membuat penguasa mengerahkan sumber daya untuk menjawab tuntunannya tersebut—penguasa justru berupaya membenarkan pengingkarannya. Seperti komentar kepala dinas PUPR Kota Ternate yang dirilis cermat.co.id pada 22 Agustus 2023, dan beberapa media online lainnya, diungkapkan bahwa, pihaknya telah memulai pekerjaan dermaga penyebrangan Ternate-Hiri, tetapi, kenyataannya justru terbalik. Bukankah pernyataan pejabat tersebut, adalah suatu pembohongan terhadap publik.
Praktek pembohongan ini mengingatkan saya pada Menteri Penerangan Publik dan Propaganda Jerman di masa Nazi, Paul Joseph Goebbels. Goebbels mengerahkan kemampuannya untuk menyebarluaskan berita bohong melalui media massa dan, hal tersebut dilakukan terus-menerus hingga kebohongan dianggap suatu kebenaran.
Pada konteks ini, perihal alasan apapun itu, mengharapkan kejujuran pada penguasa sama berartinya menceburkan diri di dalam tailings dams. Dan kebodohan paling bodoh yang selama ini kita perbuat adalah berharap dan percaya pada penguasa.
Bedanya, kelebihan kita sekarang adalah satu sisi keunggulan pesatnya pemajuan teknologi. Sehingga secuil kebohongan apapun yang bersumber dari suatu kenyataan faktual sangat mudah dideteksi, diverifikasi dan diketahui. Pernyataan kepala dinas PUPR dapat dikatakan menyalahi etika sebagai pelayan publik. Sebab, tanpa menyadari bahwa praktek pembohongan tersebut nyatanya melukai serta merendahkan harkat dan martabat orang Hiri yang tengah berjuang untuk pulih dari ketimpangan—pemerataan pembangunan berkeadilan.
Luka dan Ketimpangan
Bertahun-tahun lamanya, masyarakat Hiri hidup berkelindan dalam ketimpangan dan tengah berjuang menuntut keadilan sebagai warga negara. Sangat logis jika menuai resistensi terhadap Pemkot Ternate.
Sikap resistensi yang diekspresikan masyarakat kecil bukan tanpa sebab dan alasan yang mendasarinya.
Asumsi dasarnya, segala sesuatu yang terjadi ada sebab dan akibatnya. Kata, bahasa, narasi kasar—bahkan caci maki atau hinaan sekalipun memiliki ketertautan dengan kenyataan faktual dan semua itu memiliki fungsi.
Fungsinya tak lain ialah upaya mendeteksi persoalan, menjelaskan dan selebih menjadi tugas penguasa untuk memperbaikinya.
Menangguh kehendak untuk melakukan perbaikan kondisi masyarakat malah menyisakan luka pada masyarakat. Sebab luka bersumber dari ketimpangan, kesenjangan, pengingkaran dan ketidakadilan. Seperti halnya dialami masyarakat Hiri mengenai ketidakjelasan penyelesaian atau penangguhan jembatan penyebrangan Ternate-Hiri, adalah bukti macetnya kekuasaan rezim yang sedang berkuasa saat ini.
Luka bernanah, bisul yang sekian lama tak juga sembuh. Berulang kali pecah dan kemudian kembali bengkak lalu pecah mengeluarkan nanah. Penyakit bisul kerapkali dikategorikan sebagai penyakit orang miskin. Maka, akan muncul perlawanan dan perjuangan untuk memulihkannya. Sebab, di sana pula ketidakadilan, pengingkaran dan ketimpangan bersemai.
Ariel Heryanto (2023), mengatakan sejarah manusia adalah sejarah ketimpangan. Ketimpangan membuka peluang terjadinya diskriminasi, pelecehan, penindasan dan eksploitasi. Peluang yang memberikan kesempatan baik mengeksploitasi ketimpangan adalah “menangguhkan” harapan dan kualitas hidup masyarakat. Namun, hal tersebut kerapkali penguasa justru membuat dalil dan membenarkannya.
Banyak—bahkan bermacam-macam dalil dibuat dan diungkapkan ke publik sebagai dasar pembenaran yang rasional seperti sudah dijelaskan sebelumnya. Upaya rasionalisasi agar mendapat kepercayaan publik yang bagi Sigmund Freud, rasionalisasi yang irasional. Max Weber (baca: Ignas Kleden, Prisma, 1984) membedakan rasionalitas tujuan (Zweckrationaliaet) dan rasionalitas nilai (Wertrationalitaet).
Rasionalitas tujuan yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu tindakan akan berorientasi pada tujuan tindakan tersebut, cara mencapainya serta akibat-akibatnya. Dalam artian ini suatu tindakan disebut rasional apabila dalam mencapai tujuannya, dipergunakan cara-cara yang dapat menekan biaya sampai sekecil-kecilnya. Sudah jelas ideal tipe untuk rasionalitas jenis ini bersifat homo economicus.
Tindakan menekan biaya sekecil mungkin yang didorong pemuasan nilai ekonomi dari suatu pekerjaan, akhirnya, tak ada pertimbangan kualitatif dan menyisakan penyimpangan. Sepertinya halnya proyek tetrapod dermaga penyebrangan Ternate-Hiri tahun anggaran 2021 senilai Rp.1,1 miliar terdapat dugaan korupsi, dikutip laman Halmaherapost (2022).
Pengerjaan proyek itupun dinilai tidak sesuai spesifikasi atau tidak berdasarkan pada pertimbangan rasionalitas nilai.
Sedangkan rasionalitas nilai bagi Weber, ialah orientasi utama sekelompok orang dalam bertindak dengan cara bagaimana tindakan tersebut dilaksanakan, pada sarana dan alat-alat mana yang dipilih.
Pencapaian suatu tujuan orientasi nilai utamanya, adalah pada nilai-nilai, norma yang membenarkan atau tidak membenarkan penggunaan suatu cara tertentu. Pertimbangan paling utama rasionalitas nilai adalah apakah cara tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan nilai yang anut bersama atau tidak, yakni pemenuhan hak dasar dalam konteks kehidupan bernegara.
Jika nilai-nilai yang anut kehilangan hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan riil secara teknis, maka nilai-nilai tersebut menjadi tanpa fungsi, abstrak lalu dilupakan dan lenyap begitu saja. Sebaliknya, lalu kemudian dibentuk teknik dan system nilai baru yang justru memuaskan segelintir orang.
Ini berarti orientasi nilai sering dipengaruhi dan malah didesak oleh orientasi tujuan, seperti dalam proyek pembangunan dermaga penyebrangan Ternate-Hiri, Kota Ternate yang dikerjakan dinas terkait.
Politik Pemuliaan Masa Depan
Penjelasan di atas memperlihatkan adanya eksploitasi laten dalam pemeliharaan ketimpangan, ketidakadilan dan diskriminasi terhadap masyarakat Hiri.
Sejalan dengan itu, kalangan Marxisme menjelaskan bahwa, kekuasaan malah dijadikan alat untuk menghisap dan mencapai rasionalitas tujuan.
Fakta sejarah memperlihatkan di mana pun ada pengingkaran terhadap harkat dan martabat manusia, di sana pula akan muncul perjuangan dan perlawanan.
Tuntutan penyelesaian dermaga penyebrangan oleh masyarakat Hiri adalah perjuangan untuk memperoleh hak-hak dasar mereka. Hak dasar sebagai komunitas manusia yang dipandang sebelah mata, dipinggirkan dan diperlakukan secara tidak adil.
Suatu perjuangan yang oleh Anna Tsing, (1998) disebut “politik periferi”, suatu perjuangan oleh Tania Murray Li, (2012) sebagai “kehendak untuk memperbaiki”.
Suatu perjuangan untuk menemukan makna seperti diungkap Antony Giddens, “kita tidak akan menemukan makna dalam hidup, jika tidak ada sesuatu yang diperjuangkan mati-matian”.
Meskipun hanyalah sebuah jembatan penyebrangan, tetapi, ada makna perjuangan juah lebih mendalam, yakni upaya masyarakat Hiri merumuskan jalan suatu dimensi sekaligus merajut dimensi kehidupan lainnya, untuk menata kualitas hidup mereka di masa depan. Sebab di sanalah akan dibangun suatu kehidupan yang memuliakan harkat dan martabat manusia—bukan kepentingan kelompok, etnis dan agama.
Saya membaca perjuangan masyarakat Hiri sebagai “politik pemuliaan” masa depan manusia. Adalah politik dalam artian moral. Politik yang tidak mengesampingkan dan merendahkan orang miskin, terbelakang dan orang-orang yang tidak mempunyai kekhasan dalam masyarakat, tulis Emmanuel Levinas.
Dalam temuan Robert Chambers disebut sebagai “putting the last first”, bukan dalam narasi konvensional tentang modernitas yang menganggap masyarakat kecil adalah barisan paling akhir, dalam standar keterbelakangan, (baca: Henry Bernstein-Dianto Bachriadi, 2014).
———
*Penulis adalah pegiat PILAS di Kota Ternate