News  

Ketika Antam Tinggalkan Kerusakan Tanpa Kontribusi Berarti di Halmahera Timur

Kondisi teluk Buli di Halmahera Timur, yang menjadi wilayah konsesi tambang PT Antam. Foto: Istimewa

Setelah lebih dari 20 tahun beroperasi di Halmahera Timur, Maluku Utara, PT Aneka Tambang (Antam) dinilai gagal memberikan kontribusi pembangunan yang setimpal dengan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Perusahaan milik negara ini juga disebut minim dalam menjalankan tanggung jawab sosial dan pemulihan pascatambang.

Ketua Salawaku Institut, M. Said Marsaoly, menyebutkan di sejumlah wilayah seperti Moronopo dan Pulau Gee, bekas lokasi tambang ditinggalkan tanpa ada upaya reklamasi. Kerusakan hutan mangrove dan pesisir masih menjadi persoalan serius. Teluk Buli, yang dulunya menjadi sumber ikan teri bagi nelayan lokal, kini rusak parah akibat limbah tambang.

“Setiap kali hujan, limbah mengalir ke laut. Nelayan kehilangan mata pencaharian, tapi tidak ada tanggung jawab dari perusahaan,” ujar Said, kepada media ini, Selasa, 12 Agustus 2025.

Said menyesalkan tidak adanya langkah serius dari Antam untuk melakukan konservasi lingkungan. Ironisnya, lanjut Said, di tengah kerusakan yang belum dipulihkan, Pulau Gee yang dulu ditambang Antam justru rencana dibuka kembali, meskipun belum diketahui digarap lagi oleh perusahaan apa kelak.

“Ini bentuk eksploitasi tanpa akuntabilitas. Wilayah yang sudah rusak belum dipulihkan, tapi sudah direncanakan untuk ditambang lagi,” katanya.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa Antam bahkan telah menyerahkan pengelolaan sebagian konsesinya kepada anak-anak perusahaan, seperti PT Sumber Daya Arindo (SDA) di Tanjung Buli, PT Nusa Karya Arindo di Moronopo, serta PT Feni yang bekerja sama dengan Indonesia Battery Corporation (IBC) dan mitra global seperti CTAL dalam proyek industri baterai kendaraan listrik di Tanjung Buli.

“Antam punya konsesi besar sejak awal, dari Pulau Gee, Pakal, Moronopo, hingga Teluk Buli. Padahal itu wilayah pulau-pulau kecil yang seharusnya dilindungi sesuai Undang-undang, tapi justru ditambang secara masif,” ungkap Said.

Baca Juga:  Memakai Seragam Ala Militer, KPU Halmahera Utara: Kami Tidak Tunduk Kepada Siapapun

Akhirnya, sambung ia, masyarakat jadi korbannya. Salah satu dampak paling baru dirasakan masyarakat pada Jumat, 8 Agustus 2025 lalu, ketika Kali Kukuba, yang membentang di antara Desa Buli Asal dan Wayafli, Kecamatan Maba, tercemar oleh sedimen tambang. Pencemaran ini diduga berasal dari aktivitas tambang nikel PT Feni.

“Kali Kukuba adalah sumber kehidupan masyarakat, untuk menangkap ikan, mencari kerang, hingga mencuci pakaian. Kawasan ini juga dihuni hutan mangrove yang menjadi habitat ikan bertelur. Sekarang semuanya rusak akibat limbah perusahaan,” tegasnya.

Minim Kontribusi Sosial

Selain dampak lingkungan, Said juga menyoroti pelaksanaan program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Antam yang dinilainya tidak strategis dan kurang berkelanjutan.

“Selama puluhan tahun beroperasi, kontribusi sosial Antam sangat minim. Program CSR cenderung reaktif, hanya muncul ketika ada protes warga,” ujarnya.

Ia mencontohkan, di Kecamatan Maba, anggaran CSR per desa sempat dinaikkan dari Rp100 juta menjadi Rp200 juta, namun lebih sebagai respons atas tekanan masyarakat ketimbang program jangka panjang yang terencana.

Sektor pendidikan dan kesehatan juga belum menunjukkan peningkatan berarti. Meski sempat ada program pendampingan sekolah di Desa Buli Karya, tidak ada dukungan berkelanjutan untuk pendidikan tinggi atau pelatihan kerja yang terstruktur.

“Banyak anak kuliah dengan beasiswa, tapi prosedurnya tidak jelas. Bahkan, total anggaran CSR tidak pernah diinformasikan secara transparan kepada masyarakat,” ungkap Said, yang juga merupakan warga asli Buli.

Said mendesak agar PT Antam dan seluruh anak perusahaannya segera meningkatkan transparansi program CSR, termasuk membuka pagu anggaran dan melibatkan masyarakat dalam proses perencanaannya.

Ia juga meminta perusahaan menyediakan beasiswa pendidikan tinggi, pelatihan keterampilan kerja, dan membangun infrastruktur sosial dasar secara merata, seperti jalan, fasilitas kesehatan, dan sekolah.

Baca Juga:  Sempat Hilang, Nelayan Pulau Morotai Akhirnya Selamat

Namun yang paling mendesak, kata Said, adalah reklamasi dan pemulihan lingkungan di seluruh bekas lokasi tambang, terutama wilayah pesisir dan hutan mangrove.

“Sudah cukup masyarakat menjadi korban. Perusahaan harus bertanggung jawab penuh atas kerusakan yang ditinggalkan,” pungkasnya.

Penulis: Ghalim UmabaihiEditor: Tim cermat