Ketika Perempuan di Parlemen Dipandang Sebelah Mata

Meliyana Syukur 

(Koordinator Penulis Perempuan Pusat Studi Mahasiswa Ternate)

Realitas budaya yang memandang perempuan dengan sebelah mata, berbagi konflik yang muncul atas kondisi timpang, serta upaya perempuan dalam mencapai kesataraan dan keadilan gender telah menjadi pemahaman dan kedudukan peran kaum perempuan Indonesia, tentu tidak akan lengkap dan tepat jika tidak disertai pemahaman mengenai peran dan kedudukan mereka di masa lampau dan perubahan-perubahannya hingga masa kini.

Sejarah peran kaum perempuan di Indonesia telah banyak ditulis, dan kisah tersebut memperlihatkan peningkatan kaum perempuan bukan hanya di dunia politik, tapi juga dalam berbagai bidang sosial-budaya dan lainnya. Di sisi lain, kita juga melihat bahwa fenomena kebangkitan kesadaran kaum perempuan ternyata tidak berbanding lurus dengan kajian mengenai kaum perempuan dan gerakannya.

Kebangkitan kesadaran akan kedudukan dan peran kaum perempuan di Indonesia sudah muncul sebelum kemerdekaan. Namun kajian mengenai perempuan dan peran mereka baru mulai merebak di awal 1990-an. Tapi para ilmuwan sosial Indonesia tidak selalu sepakat dengan gerakan feminis lantaran pandangan radikal kaum feminis itu sendiri.

Ideologi mereka dianggap sangat relevan untuk meningkatkan kekuatan perjuangan kaum perempuan di Indonesia. Tapi yang lebih penting dari kaum feminis adalah inspirasi keilmuan yang dapat dipetik, yaitu kajian mengenai perempuan.

Perjuangan kaum perempuan yang oleh sebagian pihak dipandang mulai banyak membawa hasil di era Orde Baru, seiring disahkannya Undang-Undang Perkawinan, dibentuknya Dharma Wanita di instansi-instansi pemerintah, adanya Menteri Urusan Peranan Perempuan, dan munculnya gedung-gedung keperempuanan di beberapa daerah.

Sementara itu, di kehidupan sehari-hari sangat jelas memperlihatkan masih banyaknya perempuan menderita karena harus menanggung beban keluarga. Kaum perempuan kelas bawah terpaksa menjadi TKI di luar negeri dengan risiko mendapat perlakuan tidak menyenangkan atau siksaan dari majikan, ditipu agen, atau lebih buruk lagi dijadikan pelayan hasrat seksual laki-laki.

Nasib mereka yang bekerja di berbagai pabrik di negeri sendiri juga tidak selalu baik. Terkooptasinya perjuangan kaum perempuan di tingkat nasional dan terabaikannya nasib perempuan kelas bawah, membuat sebagian ilmuwan sosial di Indonesia yang peduli nasib perempuan mulai bergerak dan melakukan perlawanan. Mulai dari kedudukan, kehidupan, dan sumbangan kaum perempuan dalam pembangunan di Indonesia.

Setelah pemerintahan Orde Baru berganti Orde Reformasi, angin perubahan yang lebih mengutamakan wanita bertiup kembali ketika peraturan yang menetapkan jumlah perempuan dalam parlemen disetujui. Penetapan itu terasa agak dipaksakan. Kurang memperhatikan dan memperhitungkan kenyataan sosial-kultur di Indonesia.

Tapi langkah tersebut patut diapersiasi, karena tanpa langkah awal seperti itu, perubahan ke arah yang lebih baik untuk kaum perempuan akan terus tertunda. Sehubungan dengan itu, pilihan subjek perempuan parlemen menjadi sangat tepat. Karena stereotipe masyarakat mengenai perempuan tampak lebih kuat di Indonesia.

Baca Juga:  Malut United dan Bangkitnya Sepakbola di Timur Indonesia

Pertama, dunia politik selama ini dianggap sebagai “dunia laki-laki” yang sangat tidak mudah dimasuki oleh kaum perempuan. Kedua, dalam pandangan masyarakat Indonesia pada umumnya, perempuan belum dianggap pantas dan mampu berperan aktif di dalam dunia tersebut, sehingga mereka tentu hanya akan “mengikuti” pandangan anggota parlemen yang laki-laki saja.

Artinya, mereka akhirnya semata-mata menjadi “konco wingking” (teman di belakang) yang bertugas mendukung atau melegitimasi semua hal yang disepakati oleh laki-laki anggota parlemen. Ketiga, dunia parlemen yang penuh perdebatan sengit merupakan sebuah arena pertarungan para lelaki, yang sulit dimenangkan oleh perempuan jika mereka turut bertarung di dalamnya.

Ketika berbicara menyangkut keterlibatan perempuan di bidang politik; salah satu fenomena sosial-budaya yang cukup menarik. Setidaknya, ada dua alasan mengapa tema dalam dunia politik patut untuk diangkat. Pertama, terkait diri perempuan itu sendiri.

Secara umum, perempuan masih memandang dunia politik merupakan dunia yang asing. Walau pun telah cukup banyak berkiprah di dunia politik formal, mereka tetap menganggap politik merupakan sebuah bagian dari “dunia publik” yang belum terlalu akrab dengan kaum perempuan.

Kedua, berkaitan dengan pandangan masyarakat yang melihat perempuan sekadar objek dan menganggap politik bukan dunia yang tepat bagi kaum perempuan. Bila diperiksa lebih perinci, kedua alasan tersebut berkelindan dengan pembicaraan konsep budaya tentang laki-laki dan perempuan.

Jika kita mengkaitkannya dengan alasan pertama, maka kita membicarakan perempuan sebagai representasi komunitas berdasarkan proses sosial yang dialami, ternyata mengandung sejumlah gagasan-gagasan “arus-utama” (mainstream).

Pengalaman menjalani perubahan sosial-budaya memungkinkan perempuan mengalami perubahan pandangan mengenai diri sendiri, termasuk kehidupan dan lingkungan mereka. Bila dikaitkan dengan alasan kedua, maka kita seolah sedang mempromosikan pandangan arus-utama mengenai peran, fungsi, serta posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Salah satu di antaranya mengenai adanya “pembagian kerja” dalam masyarakat: politik adalah ranah kaum laki-laki.

Realitas tersebut kian mengemuka bila kita mengamati perdebatan cukup sengit, khususnya dalam lingkungan akademik dan intelktual, tentang pro-kontra keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Sebagian pihak memandang kiprah perempuan di ranah politik merupakan hak. Namun pihak lain menganggap derap kegiatan perempuan di bidang politik merupakan sebuah upaya yang terlalu dipaksakan serta melanggar kodrat.

Perdebatan tersebut terus berlangsung dan belakangan ini kerap dikaitkan dengan proses transisi politik menuju demokrasi di berbagi belahan dunia. Di terbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum Anggota DPR RI, DPD, dan DPRD, bisa dikatakan merupakan hal baru, khususnya tentang hak perempuan untuk terlibat dalam kancah politik.

Baca Juga:  Hotel Ayu Lestari

Pasal 65 ayat 1 aturan perundangan tersebut menegaskan bahwa, “setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.” Realitas itu memang tidak bisa dilepaskan dari berbagi peristiwa dan perubahan di tingkat global yang juga berdampak terhadap Indonesia.

Dalam konteks seperti itu, kita menyaksikan bagaimana nilai-nilai global bagi penetapan kebijakan yang mengatur kehidupan komunitas di berbagai tempat di dunia, ternyata telah terjadi dan memiliki pengaruh kuat. Kini, nilai-nilai demokrasi atau keadilan dan kesetaraan menjadi fokus pembicaraan masyarakat.

Ketika nilai-nilai global tersebut semakin ramai diperbincangkan dan menjadi tuntutan masyarakat luas, saat itu pula kita melihat suatu perubahan nilai-nilai baru akan dan sedang berlangsung dalam sebuah komunitas tertentu, dengan segala kecepatan dan variasi yang berbeda di berbagai tempat di dunia.

Atas dasar itu pula kita melihat peraturan perundang-undangan mengenai keterwakilan kaum perempuan dalam dunia politik formal tampak mengemukan karena dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner, namun soal kuota 30 persen perempuan yang dapat dicalonkan sebagai anggota parlemen misalnya, hingga kini tetap menjadi bahan perdebatan yang tak kunjung usai.

Hal tersebut umumnya terjadi dan berkembang di beberapa negara, khususnya negara-negara berkembang yang menerapkannya sebagai salah satu media transformasi budaya. Dampak turunan dari ketentuan mengenai kuota 30 persen itu dapat dilihat melalui angka partisipasi perempuan anggota parlemen. Sejak Pemilu 1955, trend presentase perempuan dalam legislatif semakin bertambah dari pemilu ke pemilu.

Pada Pemilu tahun 1955, tercatat ada 16 perempuan atau 5,88%. Pemilu 1971 jumlah anggota legislatif perempuan hanya 31 orang (6,74%), menjadi 37 perempuan atau 8,04 % pada pemilu 1977. Naik menjadi 42 orang atau 9,13% pada pemilu Tahun 1982. Naik menjadi 59 perempuan atau 11,80% saat Pemilu Tahun 1987. Lima tahun berikutnya yakni saat Pemilu 1992 menjadi 62 orang (12,4%).

Tapi pada Pemilu 1997 dan 1999 jumlah perempuan anggota DPR RI sempat turun menjadi 58 orang (11,6%) dan 44 orang (8,8%). Meningkat positif pada Pemilu 2004 yakni menjadi 65 orang, dan bertambah menjadi 100 (17,86%) pada Pemilu 2009. Pemilu 2014 tercatat ada perwakilan perempuan sejumlah 97 orang atau 17,32%. Jumlah perempuan di parlemen DPR RI kembali meningkat pada periode 2019-2024, yakni ada 120 orang atau sebesar 20,87% dari 575 orang anggota DPR RI.

Baca Juga:  Kunjungan Sultan Ternate ke Tidore Murni Silaturahmi Keluarga, Jangan Dipolitisir

“Peningkatan keterwakilan perempuan dalam politik, terutama dalam Pemilu, tersebut tidak terjadi secara serta merta, namun karena upaya dan kerja keras serta perjuangan yang terus menerus untuk mewujudkan hak setiap orang untuk mencapai persamaan dan keadilan.” Perempuan mempunyai banyak pilihan dalam politik, ikut berkompetisi dalam parlemen atau sekedar mengunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara.

Peran serta perempuan dalam Pemilu lainnya yakni terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan; mengawasi setiap tahapan Pemilu dan Pemilihan; membantu sosialisasi Pemilu dan Pemilihan; membantu pendidikan politik bagi pemilih; memantau Pemilu dan Pemilihan; survei atau jajak pendapat dan hitung cepat hasil Pemilu dan Pemilihan; menjadi peserta Pemilu dan pemilihan.

Mewujudkan Partisipasi Pemilih Perempuan yang rasional bisa dilakukan dengan menggunakan hak pilih tanpa tekanan, menggunakan hak pilih tanpa iming-iming, menggunakan hak pilih karena program kerja calon, mengawal hasil pemilihan, mengawal janji-janji saat kampanye.

Tapi peran perempuan sering dipandang sebelah mata. Peran perempuan di bidang politik sampai sekarang masih dipertanyakan. Kontribusi perempuan Indonesia dalam kehidupan demokrasi dan politik tidak terlepas dari peran para tokoh dan pelopor pergerakan perempuan pada zaman sebelum kemerdekaan, dan revolusi kemerdekaan RI. Terlihat dari konggres organisasi perempuan di masa lalu.

Hak perempuan dalam politik yakni hak untuk memilih dan dipilih; Hak untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah dan implementasinya; Hak untuk memegang jabatan dalam pemerintahan dan melaksanakan segala fungsi pemerintahan di segala tingkat; Hak berpartisipasi dalam organisasi dan perkumpulan non pemerintah yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik bernegara; Berpartisipasi dalam pekerjaan untuk mewakili pemerintah dalam organisasi internasional.

“Urgensi kaum perempuan di ranah politik yaitu sebagai representasi akan aspirasi perempuan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan. Dalam konteks inilah figur perempuan perlu dikedepankan. Dengan demikian, keputusan yang dihasilkan dapat mengakomodasi kepentingan perempuan dan sebagai representasi perempuan untuk mengurangi problem yang dialami perempuan.”

Untuk mewujudkan sistem politik yang berkeadilan dan berkesetaraan gender memang bukanlah hal yang mudah dilakukan, mengingat budaya patiarki di Indonesia masih melekat kuat. Oleh sebab itu, sinergitas antara semua pihak harus dilakukan secara bersama- sama, antara lain pemerintah, lembaga non pemerintah, akademisi, dan masyarakat.

Apabila sinergitas ini dibangun, maka upaya dalam mempercepat terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender dalam politik dapat dilakukan. Partisipasi dan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif sangat penting, karena di parlemen perempuan berada dalam posisi yang strategis untuk mengikuti proses pengambilan keputusan.