Rejimentasi Politik Pragmatisme Transaksional

(Sebuah titik temu lagu 100 Juta dan skor 100 poin politik uang di Maluku Utara) 

*Oleh Faizal Ikbal

 

Sebagai pembuka, perlu diperkenalkan arah dan orientasi artikel ini. Niatnya, bukan untuk mengulik secara serius periodesasi perkembangan musik, genre, komunitas pendengar, dan serba-serbi musikologi Maluku Utara yang gandrung diteliti kebanyakan spesialis sejarah seni dan etnomusikolog. Tetapi ini hanya penelusuran sederhana di balik viralnya lagu ”100 juta” yang sedang membawa pelantunnya mengisi beragam acara dan berhasil menembus kelas pendengar: tua dan muda, janda dan perawan, semuanya berada dalam satu garis komando irama tarian wayase lagu 100 juta, dan hubungannya dengan keberadaan skor 100 poin politik uang di maluku utara yang direport katadata.com (lima provinsi kerawanan politik uang, Malut urutan pertama).

Trendingnya lagu 100 Juta dan skor 100 poin kerawanan politik uang di Malut sejatinya telah mendorong kita untuk melipir sebentar dan mengingat lagi argumentasi dari opung Theodor Adorno tentang musik. Baginya, musik mengatakan sesuatu mengenai realitas dan menyingkap kondisi terdalam dari masyarakat. Itu artinya, lagu berjudul 100 Juta benar-benar menggambarkan kontur sosial dan politik kita yang kalkulatif dan sudah terkooptasi akut dengan praktik politik uang.

Pemicunya bisa dilihat pada dua hal, pertama: orientasi pada kekuasaan yang begitu kuat, mengilhami aktivitas politik, hingga politisi dibangun dengan dominan uang. Kedua, ada kerelaan masyarakat untuk menerima politik uang, disebabkan dari melemahnya kepercayaan turun-temurun dari politisi yang tidak bisa berbuat banyak hal tentang kesejahteraan.

Bayangkan kondisi yang naik (orientasi berkuasa) dan turun (kerelaan warga) bisa dibilang turut dipanas-panasi oleh lagu 100 Juta, sehingga memungkinkan ada standar baru politik uang yang makin tinggi nominalnya.

Bila pada 2019, pemilih (perorang) ditebus dengan dana Rp100-200 ribu, kemudian ada modus pembagian kaos tim sepak bola di komunitas pemuda desa dan pemberian baju seragam ibu-ibu pengajian dan lain-lain. Di 2024, tebusan dana pemilih dan pola kampanye lewat bantuan akan semakin tinggi. Hal ini berkaitan dengan anekdot masyarakat yang menyebut Maluku Utara telah menjelma menjadi daerah dolar, karena dihuni oleh banyaknya investasi pertambangan. Tentu dapat dipastikan, mahalnya harga sembako dan barang-barang kebutuhan lain di Maluku Utara akan turut mempengaruhi mahalnya belanja voters pada momentum Pemilu 2024.

Baca Juga: Politik ‘Merah-Biru’

Kuatnya buzz (dengung) lagu 100 Juta jelang dan selama masa pemilu 2024 membuat masyarakat Maluku Utara dalam setiap hari menerima notifikasi musik yang memperuncing preferensi politik uang dan membiarkan eksisnya rejimentasi politik pragmatisme-transaksional. Musik yang diplay berulang-ulang akan membentuk perangkat keyakinan (terideologisasi) dalam karakter dan mengalir dalam pola laku kita. Dalam catatan Mohammad Amin (2021), menunjukkan hubungan musik dan politik telah menggambarkan bagaimana musik sangat berperan mengkonstruksi politik. Musik menjadi tempat bertemu dan bernegosiasinya ideologi-ideologi yang dipengaruhi semua aspek, terutama motivasi politik. Ujung pangkal dari motivasi politik adalah terselenggaranya sindrom pragmatis yang sarat dengan hal-hal nominal dan kalkulatif dalam praktik ritus sosial kita, kendati itu dalam menikah dan pemilu, sebagaimana standar ampuh dalam meminang perempuan dengan dana 100 Juta, begitu pula dengan praktik politik uang, akan dipandang sebagai dinamika yang normal dalam siklus demokrasi elektoral hari ini.

Baca Juga:  Negara Boneka dan Pemimpin Masa Depan

Berebut Pelantun Nada Komunikasi Politik

Semua Parpol akan mengincar dan rebut-rebutan aktor pelantun lagu 100 Juta itu untuk dijadikan sebagai instrumen komunikasi politik meraih kuasa dan pengaruh atas banyak orang. Partai politik yang berhasil mendapatkan jasa penyanyi lokal ini akan turut membantu menciptakan konstruksi sosial politik ketergerakan pemilih, bertindak dan menentukan sikap. Apalagi sudah punya banyak pengikut (fans) di Maluku Utara. Tentu ini, sebagai sumber daya dukung dalam kampanye untuk mengumpulkan massa. Belum lagi dengan dinamika kampanye partai politik yang kerap dipandang sebagai panggung hiburan rakyat yang sarat dengan goyang-goyangan akan mengundang penantian atas pentas penyanyi lokal itu.

Kebiasaan menggaet penyanyi dalam politik sudah lama dipraktikkan negeri ini. Tak heran, anggaran kampanye partai politik, jor-joran dihabiskan untuk membayar artis dan penyanyi. Ada kecenderungan tersendiri parpol dalam melihat ketenaran dan popularitas aktor sebagai peluang menggerakan mesin politik merebut simpati dari simpul-simpul pemilih. Menariknya, sejumlah partai politik menarik kader-kader karbitan dari panggung hiburan dan memasangnya mengisi kompetisi politik 2024. Di Maluku Utara, pertarungan politik yang melibatkan aktor dan penyanyi lokal belum terlihat berlangsung, tetapi komodifikasi lagu mulai merayu suara pemilih sudah cukup berlangsung lama. Buktinya, warna-warni lirik lagu tercipta dalam beragam genre musik, diendors langsung dari politisi sebagai bentuk pesan komunikasi politik membangun hubungan dengan grass root.

Maraknya musik yang bernada politis pada kompetisi politik 2024 nanti adalah bentuk dari merchandise politik untuk menarik perhatian masyarakat luas, meningkatkan eksistensi politik dan meningkatkan citra positif politisi, sehingga tingkat publisitas dalam masa kandidasi dapat mendorong pembentukan popularitas dan elektabilitas melalui saluran-saluran komunikasi seperti musik dan lainnya. lirik-lirik lagu yang mengandung pesan politik akan memiliki pengaruh terhadap perubahan sikap pendengar, karena mendengar lagu dapat membangkitkan semangat, menyatukan unsur-unsur yang berbeda, memengaruhi emosi, dan perasaan pendengar dapat terbentuk nilai-nilai yang pada akhirnya dapat dianggap wajar, benar dan layak oleh khalayak.

Baca Juga:  Sahril dan Lakon Jurnalis Jihad

Lihat, figur Rhoma Irama dalam Pilkada DKI 1977, bisa dibilang mengekplorasi nilai musik dangdut populer yang berbuah kemenangan politik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di 01 DKI Jakarta tahun 1977. Dalam medio itu, Alfan Alfian mencatat, nama Rhoma telah melesat sebagai ikon budaya populer yang turut menghingarbingar dalam politik tanah air. Bagimana tidak, dengan gaya dangdut yang khas Rhoma Irama meletakkan isu-isu sensitif seperti ketidakadilan sosial dalam lirik-lirik lagunya, dan berhasil sebagai penarik dukungan (vote geter) politik bagi Partai Persatuan Pembangunan. Sebagai penyanyi dangdut yang telah berhasil menciptakan poros fanatisme pendengar dengan balutan lirik islamisme yang selalu trendi, Rhoma juga disebut-sebut sebagai pengumpul massa paling banyak dalam kampanye politik PPP di pemilu 1977 dan 1982 melebihi tokoh-tokoh PPP, seperti Ridwan Saidi, Sudarji, dan lainnya.

Baca Juga: Manusia Sastra dan Lingkungannya

Melalui catatan apik ini, mengkonfirmasi bahwa musik kerap kali dipandang sebagai alat politik mengembus propaganda merebut barisan opini publik, dan kekuatan lintas bawah dan juga membentuk pertarungan fanatisme dukungan politik. Tidak melulu musisi nasional yang bisa melakukan dominasi politik lewat musik, tetapi ini akan berkembang pula di musisi lokal seperti Alan Darmawan yang lagi trendi dengan lagu berjudul 100 juta dan akan membuka jalan-jalan panjang keyakinan pemilih Maluku Utara untuk menglorifikasi take in give.

Populernya lagu ini, punya pengaruh pada kaum hawa yang mulai menjadikan judul lagu itu sebagai istilah. banyak dari mereka yang tidak segan mempostingnya di lini masa media sosial, seolah mengalirkan habits baru dalam proses sosial yang sedang kita hadapi dan jalani. Kendati itu menikah dan pemilu, semuanya diikat pada nilai guna sesaat. Kalau sudah begitu, kita akan jatuh pada satu bentuk intonasi sosial yang kurang lebih begini ilustrasinya: menikah yang dibanderol dengan dana 100 juta, akan mengantarkan mempelai wanita dan laki-laki jadi pangeran dan ratu sehari, dan bisa jadi gembel berlarut-larut, dan dalam pemilu, orang yang rela suaranya ditransaksi dengan nominal 200-300 ribu dia akan bertahan sehari, tetapi akan merasakan barisan kemiskinan yang menimpanya selama kurun waktu 1 periode.

Baca Juga:  Aliong Mus Kantongi Rekomendasi PBB Maju Pilgub Maluku Utara 2024

Menambal Lirik-Lirik Sosial

Bangunan sosial kita yang berciri materialistik-transaksional sebagaimana ilustrasi di atas dianggap sebagai lirik-lirik sosial yang berpola lurus dalam masyarakat dan akan menciptakan jejaring kepatuhan dan ketundukan. Untuk menambal itu, kita butuh perangkat kerja yang kuat berotasi dalam struktur sosial masyarakat kita, diantaranya: Pertama, institusi pengawasan (Bawaslu) dan penyelenggara (KPU) harus menggaet pelantun lagu 100 Juta yang sedang naik daun itu, untuk menciptakan lagu dengan lirik-lirik yang mengkondisikan tertib sosial (membiasakan orang dengan lirik-lirik lagu seperti tolak politik uang) jelang tahun politik 2024. Ini dimaksud untuk menepis reduksi lirik lagu 100 Juta yang diprediksi jadi istilah baru dalam kontestasi politik, seperti bayar tunai, kandidat seratus juta, suara mahal, dan sederet istilah lain yang berkaitan.

Kedua, semua elemen harus menempatkan politik uang sebagai lawan bersama (social enemy), tentu ini adalah bentuk dari permenungan atas proses politik kita yang banal dan meruntuhkan moral. Sikap mengeliminasi politik uang berarti menolak reifikasi membangun patronase figur atau menolak berbagai bantuan, santunan, termasuk jual-beli suara. konsistensi tersebut akan mendorong praktik politik kita akan lebih jujur, bersih dan bermartabat.

Ketiga, kesunguhan partai politik untuk menyudahi pola tanam dan balas budi dalam kerja-kerja programatik parpol. alih-alih mengintegrasi konstituen dalam kerja-kerja pragmatik, partai melalui kadernya lebih menempatkan konstituen sebagai tempat balas budi sambil menabung jasa untuk momen pemilu berikutnya. Dominannya, karakter patronase yang digawangi partai politik, membuktikan partai politik tidak mampu menyiapkan oksigen demokratisasi dan tidak berupaya mereformasi kinerjanya ditengah kompetisi yang sangat kompleks.

Kondisi perpolitikan kita makin mencekam, kita berharap ada moral movement untuk menyelamatkan proses Pemilu kita yang sudah dicekik oleh paragmatisme, patronase-klientelisme. Semua dari kita butuh kesadaran kunci dalam memandang pemilu sebagai momentum keterpangilan untuk menyiapkan lagi model kesejahteraan dan keadilan di Kabupaten, Provinsi bahkan Negara. Kalau sudah berkaitan kesejahteraan dan keadilan, maka dalam proses pemilu tidak harus menggadaikan suara kita dengan kopi dan gula, perahu katinting, baju bola, beras, karpet mesjid, dan lain-lain.

——–

Penulis adalah pegiat Kajian Komunikasi Politik Maluku Utara dan Ketua Bidang Riset dan Inovasi di Forum Mahasiswa Pascasarjana Halmahera Tengah.