Departemen Advokasi YLPAI akan melaporkan sejumlah jaksa di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejagung dan Komisi Kejaksaan.
Laporan ini akan diajukan kerena setelah putusan MA, Kejati terkesan tidak menindaklanjuti kasus dugaan korupsi Kapal Nautika dan alat simulator.
Dalam laporan tersebut, Departemen Advokasi YLPAI mengadukan dugaan pelanggaran kode etik atau perilaku oknum jaksa yang menangani kasus korupsi Nautika.
Kepala Departemen Advokasi YLPAI Maluku Utara, Muhammad Tabrani Mutalib, S.H., M.H., CML., CPCLE, mengatakan, perkara korupsi Nautika yang ditangani Kejati diduga berujung ‘anti klimaks’ setelah adanya Putusan MA. Padahal, di awal penanganan perkara tersebut, Kejati begitu menggebu-gebu dan terkesan ‘overpublikasi’ melakukan penyidikan kasus tersebut.
“Sekarang setelah adanya putusan MA, justru kasus tersebut tidak jelas ujungnya seperti apa. Padahal dalam putusannya, MA telah memberikan petunjuk penting kepada Kejati untuk melakukan pengembangan penyidikan dan menetapkan calon tersangka lain, karena kasus a quo adalah kasus korupsi yang terbukti secara bersama-sama,” jelas Tabrani, Kamis, 20 Juli 2023.
Tabrani menambahkan, dalam Putusan MA No. 4257 K/Pid.Sus/2022 yang telah diputus tanggal 21 September 2022 telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) atas nama terdakwa Imran Yakub.
Pertimbangan hukum (ratio decidendi) MA menyatakan Imran Yakub sama sekali tidak memenuhi unsur-unsur pembentuk delik dari perbuatan pidana korupsi nautika, baik dari aspek fisik perbuatan/actus reus maupun unsur batin tidak ditemukan niat jahat/mens rea.
“Sebaliknya, MA justru berkesimpulan yang harus dimintakan pertanggungjawaban hukum atas kasus tersebut ialah Mantan Kadis Djafar Hamisi dan Imam Makhdy dan Kadis saat ini,” tegasnya.
Tabrani bilang, secara a contrario, Djafar Hamisi dan Imam Makhdy terbukti membubuhkan tandatangan terhadap perbuatan hukum pencairan uang muka 20 persen dan 70 persen untuk paket kapal Nautika dan alat simulator. Termasuk pencairan 100 persen untuk paket alat simulator.
“Karena itu, sudah terang berdasarkan fakta hukum tersebut, bahwa Djafar Hamisi dan Imam Makhdy terbukti memiliki hubungan atau keterlibatan dalam kasus ini,” katanya.
Praktisi Hukum Maluku Utara ini mempertanyakan mengapa hingga saat ini keduanya tidak dilakukan penyidikan dan penetapan tersangka oleh Kejati.
Publik juga bertanya-tanya mengapa sehingga Kejati beralasan bahwa mereka perlu menelaah lagi Putusan MA. Alasan itu, bagi ia tidak berdasar hukum dan terindikasi melanggar kewajiban jaksa dalam kode etik jaksa berdasarkan Pasal Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Jaksa Agung RI No. PER-014/A/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa.
“Padahal kewenangan jaksa berdasarkan UU kejaksaan hanyalah menjalankan putusan pengadilan dan/atau penetapan-penetapan pengadilan. Tidak ada kewenangan jaksa untuk menelaah lagi putusan apalagi ini putusan MA,” ucapnya.
Dalam pertimbangan hukum ‘ratio decidendi’, kata Tabrani, putusan Majelis Hakim sifatnya mengikat, tidak hanya amar putusan semata, karena amar putusan baru bisa ada karena adanya latar belakang kesimpulan dan penerapan hukum hakim terhadap fakta-fakta hukum terungkap di persidangan. Maka tidak ada alasan dari Kejati Malut untuk tidak segera melakukan penyidikan lanjutan terhadap calon-calon tersangka lain dalam kasus a quo.
“Atas dasar itulah, kami dalam waktu dekat akan segera mengirimkan pengaduan ke Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejagung dan Komisi Kejaksaan terhadap persoalan ini, dengan tujuan peran serta pengawasan publik terhadap kinerja kejaksaan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya,” katanya.
Dengan begitu, sambung ia, tidak ada lagi asumsi-asumsi yang muncul di publik bahwa dalam perkara Nautika, Kejaksaan Tinggi Maluku Utara melakukan penegakan hukum secara tebang pilih dan terkesan diskriminatif terhadap siapa saja yang terlibat dalam kasus tersebut,” pungkasnya.
————
Penulis: Samsul Laijou
Editor: Ghalim Umabaihi