News  

SPK Minta Elit Kampus hingga Pemerintah Berpihak pada Hak Pekerja Kampus 

Ilustrasi serikat pekerja kampus (SPK). Foto: Istimewa

Regulasi Perguruan Tinggi Semakin Karut Marut, Elit Kampus Semakin Arogan, Saatnya Pekerja Kampus Berserikat

Dalam rangka peringatan satu tahun terbentuknya Serikat Pekerja Kampus (SPK), SPK berusaha merefleksikan perjalanan perjuangan pemenuhan hak pekerja kampus secara hybrid yang diikuti oleh beberapa perwakilan anggota.

Serikat Pekerja Kampus yang telah hadir dalam setahun terakhir mengalami peningkatan jumlah anggota secara pesat. Saat ini, SPK telah memiliki 570 anggota yang terdiri dari dosen, tendik, dan peneliti di perguruan tinggi, yang tersebar di 34 provinsi.

Pada tahun 2023, kenaikan jumlah anggota telah mencapai 30 orang per bulan dan pada tahun 2024 kenaikan anggota tiap bulan bisa mencapai hingga 100 orang. SPK juga telah tercatat sebagai perkumpulan dosen tendik perguruan tinggi berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor AHU-0006654.AH.01.07. Tahun 2024.

Ketua Umum SPK, Dhia Al Uyun dalam rilis tertukis yang diterima cermat mengungkapkan, SPK mencatat masih banyaknya permasalahan tentang kesejahteraan dosen dan tendik, standardisasi kelayakan, ekosistem yang tidak mendukung pengembangan pendidikan, dan hak-hak pekerja yang tereduksi.

“Terdapat pula berbagai konflik antara dosen dan elit kampus yang beriringan dengan berbagai karut-marutnya aturan hukum, Beban Kerja Dosen (BKD), dan tunjangan kinerja (tukin) dosen juga menjadi perhatian dalam diskusi SPK,” jelas Dhia, Selasa, 20 Agustus 2024.

Dhia menambahkan, SPK mendapatkan laporan kasus pekerja kampus yang mengalami penahanan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN), eksploitasi dalam kerangka program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), tukin tidak terbayarkan oleh negara, dan tersendatnya proses kenaikan jabatan fungsional guru besar akibat feodalisme kampus.

“Di dalam kondisi ini, elit kampus semakin menunjukkan arogansinya dalam memaknai regulasi, sehingga menghilangkan penghormatan terhadap hak asasi pekerja kampus. Pengabdian dan relasi kuasa seringkali menjadi narasi untuk memaksakan upaya-upaya yang menjadikan pekerja tidak mungkin memperjuangkan haknya sendirian,” katanya.

Baca Juga:  HMI Ternate Apresiasi Langkah Polisi Blokir Aktivitas Tambang Batu di Halut

Pada kondisi ini, kata Dhia, para pekerja kampus terjebak dalam tekanan yang menghilangkan kebebasan akademiknya. Dalam contoh nyata, mereka harus siap dimutasi tanpa persetujuan, diubah keahliannya karena rumpun pohon keilmuan sesuai arahan pimpinan, juga dipaksa untuk melanjutkan studi S3 tanpa jaminan beasiswa dan pengakuan. Status kepegawaian dengan menguatnya perburuan akreditasi atau peningkatan kampus menjadi world class university menghasilkan tawaran sepihak, menuruti apa yang diperintahkan atau diberhentikan.

“Kawan-kawan SPK Jabodetabekjur melihat adanya penyelewengan orientasi tridarma bidang pendidikan yang seakan-akan mewajibkan dosen, khususnya di perguruan tinggi swasta, untuk memberi nilai mata kuliah setinggi-tingginya,” ucapnya.

Fenomena ini hadir karena perguruan tinggi lebih mementingkan kuantitas mahasiswa dibandingkan kualitas lulusan. Hal ini berkaitan dengan liberalisasi dan komersialisasi pendidikan untuk mendapatkan mahasiswa sebanyak-banyaknya. Kawan-kawan SPK Jawa Barat menceritakan kontribusinya pada solidaritas koalisi masyarakat sipil di Bandung dan komunikasi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung.

“Kawan-kawan Jawa Barat melihat adanya sentimen negatif pada isu kesejahteraan pekerja kampus. SPK juga perlu berkontribusi pada isu-isu etik, permasalahan tugas belajar, dan sertifikasi dosen yang terpotong,” akunya.

Dhia bilang, SPK Jawa Timur menggarisbawahi pentingnya basis data anggota berbasis pengetahuan. Sedangkan kawan-kawan SPK Sulawesi melihat makin kuatnya tekanan di lingkungan perguruan tinggi sehingga SPK perlu merumuskan indikator dan pedoman kampus ‘sehat’.

“Kami menyadari adanya keapatisan disertai ketakutan untuk melakukan kritik-kritik di luar kampus bahkan untuk bergabung di serikat pekerja,” tambahnya.

Beberapa rekan tenaga kependidikan, sambung ia, mendapat arahan langsung dari pimpinan perguruan tinggi atau tepatnya larangan untuk terlibat dalam serikat pekerja kampus. Untuk itu pada ulang tahun SPK ini, SPK menyatakan:

  1. Mengecam segala bentuk arogansi, kesewenang-wenangan, dan pendisiplinan yang mengurangi dan/atau menghilangkan hak-hak pekerja kampus.
  2. Menuntut pemerintah dan perguruan tinggi untuk berpihak pada hak-hak pekerja kampus dan menghapus segala bentuk peraturan, kebijakan, serta perilaku yang menghambat kesejahteraan pekerja kampus.
  3. Mendesak Kementerian Ketenagakerjaan, Komnas HAM, dan Ombudsman untuk mengawasi dan menindak upaya-upaya yang mereduksi hak-hak pekerja kampus, termasuk hak berserikat.
  4. Mengajak seluruh pekerja kampus untuk bersuara memperjuangkan hak dan kesejahteraan.
Baca Juga:  Jadi Korban Jual Beli Mobil, Seorang Warga di Ternate Minta Polda Malut Bertindak

—-

Penulis: Samsul Laijou

Editor: Ghalim Umabaihi