Deforestasi atau hilangnya tutupan hutan di Pulau Halmahera, Maluku Utara, akibat operasi pertambangan nikel dinilai menjadi ancaman serius di masa mendatang. Laju deforestasi di daerah kaya akan mineral ini terus meningkat seiring maraknya aktivitas pertambangan.
“Hilirisasi nikel sebagai proyek strategis nasional seperti di Pulau Obi, Halmahera Timur dan Halmahera Tengah menjadi penyebab utama kerusakan hutan makin tidak terkendali, hal itu bisa dilihat dalam laporan pemberitaan akhir-akhir ini,” kata Mahmud Ici, Direktur Forum Studi Halmahera (Foshal) dalam diskusi bertema ‘Deforestasi dan Kejahatan Hilirisasi di Hutan Halmahera’ yang digelar SIEJ Maluku Utara, Selasa, 5 Juni 2024 di Ternate.
Mahmud menuturkan perusahaan tambang seperti PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah terus bersiasat melakukan perluasan kawasan industri, hal itu berujung pada menipisnya hutan di kawasan tersebut.
Dia menyebut dari semula 4 ribu, IWIP kini ingin menambah 22 ribu hektar lagi untuk kawasan industrinya melalui rancangan perubahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) yang diajukan Pemerintah Daerah dan DPRD Halteng ke Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) Republik Indonesia.
“Sekitar tahun 2021-2023 pengajuan itu dilakukan. Dan kami memperoleh informasi tersebut dari Pemda dan DPRD setempat bahwa ada tambahan pengajuan 22 hektar. Anda bayangkan, 4 ribu hektar saja kondisi lingkar tambang di Halteng sudah memperihatinkan, apalagi ada penambahan ini,” ungkap dia.
Mahmud mengaku menyaksikan langsung dampak pertambangan terhadap warga yang mulai kehilangan lahan mereka. Dia mencontohkan di Desa Gemaf, Weda Tengah, Halmahera Tengah, warga tak lagi memiliki lahan untuk dijadikan tempat perkuburan.
“Saya pernah tanya ke pak kadesnya apakah tidak ada lagi lahan di sekitar sini yang harus dijadikan tempat perkuburan, kades jawab semua lahan sudah dijual dan diambilalih perusahaan. Warga pun jadikan pekarangan rumah sebagai kuburan,” ucapnya.
Auriga Nusantara pernah meneliti hilangnya tutupan hutan di Weda Tengah. Laporan deforestasi itu memperlihatkan bahwa Weda Tengah memiliki deforestasi tertinggi, yakni mencapai 7.827,60 hektar. Kemudian disusul Weda Utara 2.402,40 hektar, Weda Timur 914,93 hektar dan Weda Selatan 436,20 hektar.
Laju deforestasi tersebut dirangkum berdasarkan citra satelit mulai dari tahun 2001 hingga 2020. Jika ditotalkan, luas hutan hilang di Halmahera Tengah mencapai 14.876,43 hektar.
Tak tanggung-tanggung jumlah ini bahkan setara dengan 27.800 lapangan sepak bola. Sementara peta MapBiomas Indonesia menunjukkan tutupan hutan Halmahera Tengah saat ini tinggal 131.881 hektar.
Dinas Ketuhanan mencatat total luas hutan Maluku Utara adalah 2,5 juta hektar yang saat ini mengalami penurunan menjadi 2,486.616,91 hektar.
“Faktor menurunnya luas hutan ini karena perkembangan penataan batas dan perubahan fungsi, serta adanya program performa agraria yang saat ini berjalan di beberapa kabupaten,” papar Sekretaris Dinas Kehutanan Maluku Utara, Achmad Zakih, dalam diskusi tersebut.
Data Dinas Kehutanan Malut mencatat sebanyak 74 persetujuan penggunaan kawasan hutan (PPKH) telah dikeluarkan pemerintah hingga Januari 2024. Puluhan PPK ini diperuntukkan bagi perusahaan tambang yang mengantongi kawasan operasi dengan luas 7.855,33 hektar.
“Jadi SK PPKH ini memang sudah terbit dan izinnya tersebar di beberapa kabupaten di antaranya Halmahera Timur, Halmahera Selatan, Halmahera Tengah, Halmahera Utara dan Pulau Taliabu,” ujarnya.
Terkait deforestasi sektor tambang, menurut Zakih, pihaknya mengacu pada data yang dirilis oleh Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan (BPKHTL) wilayah Manado, Sulawesi Utara.
Zakih memang memaklumi kehadiran tambang di Maluku Utara berdampak serius di tengah kebijakan pemerintah pusat yang terkesan ugal-ugalan memberi izin. Namun di sisi lain menurutnya, pemerintah telah berupaya mendorong warga di kawasan tambang agar tetap mempertahankan hutannya terutama melalui program perhutanan sosial.
Kesempatan yang sama Akademisi Kehutanan Unkhair Ternate, Much. Hidayah Marasabessy mengajak masyarakat Maluku Utara terus mengampanyekan isu kerusakan lingkungan. Bagi ia, semua pihak harus memandang dampak pertambangan sebagai sebuah pandemi yang membahayakan.
“Andaikan masyarakat memandang kerusakan lingkungan ini sebagai pandemi, tentu saja isunya tidak dianggap kecil. Semua akan berbondong-bondong, bahu-membahu, untuk menyuarakan ini. Tentu saja kerusakan lingkungan akibat tambang perlu menjadi perhatian bersama,” ucapnya.