News  

Gaung Transisi Energi Berkeadilan di Tengah Rencana Pembatasan Produksi Nikel

Industri nikel di Indonesia diharapkan dapat menimbang kembali implementasi transisi energi yang berkeadilan yang selama ini masih diabaikan.

Lokasi Harita Nickel di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Foto: Dokumentasi Harita Nickel

Mendorong transisi energi berkeadilan seiring dengan rencana pemerintah membatasi produksi nikel, menjadi upaya mendesak yang perlu dilakukan.

Hal itu disampaikan Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) Pius Ginting dalam siaran persnya pada Jumat, 13 Desember 2024.

Baca Juga:  Polda Jadwalkan Gelar Perkara Penetapan Tersangka Dugaan Korupsi di Dispar Halmahera Utara

Menurut Pius, sektor industri pertambangan nikel harus memperbaiki tata kelolanya sebab implementasi transisi energi selama ini belum memperhatikan aspek berkeadilan warga.

“Aspek lingkungan dan sosial terabaikan oleh aktivitas-aktivitas pertambangan nikel di Indonesia,” kata Pius.

Baca Juga:  Ini Pernyataan Sikap dari Temu Rakyat Menggugat Debat Cawapres

AEER menemukan berbagai masalah rentan dialami buruh industri nikel di Indonesia sepanjang 2024, sejalan dengan ambisi perusahaan meraup keuntungan.

“Eksploitasi tenaga buruh terjadi melalui penekanan upah dan perpanjangan jam kerja, buruknya standar K3, serta tindakan-tindakan sepihak perusahaan seperti pemotongan gaji, pemutusan hubungan kerja, dan pemberian sanksi kepada para buruh,” ujarnya.

Baca Juga:  Banjir Kembali Terjang Kawasan Tambang di Halmahera Tengah

Data AEER periode 2023-2024 mengungkap setidaknya 36 buruh tewas dan 47 terluka saat bekerja di industri nikel Morowali dan Morowali Utara. Demikian juga dampak pertambangan ini bikin kondisi lingkungan dan ekonomi memperitahinkan.

Industri ini turut mengakibatkan degradasi lingkungan seperti pencemaran air yang memengaruhi produktivitas pertanian dan perikanan.

“Banyak petani dan nelayan terpaksa menjual tanah mereka atau meninggalkan pekerjaan tradisionalnya lalu bekerja di industri nikel dengan kondisi kerja yang buruk dan upah rendah.”

Baca Juga:  Bawaslu Rapat Bersama Stakeholder, Netralitas ASN dan Kades Jadi Perhatian di Pilkada Halut

Lebih lanjut, menurut Pius, aktivitas pertambangan nikel di Morowali juga menghasilkan limbah industri. Sekitar 1,5 ton limbah dihasilkan dari satu ton nikel yang diolah.

Ia menambahkan, saat ini tersedia lokasi seluas 600 hektare di Morowali digunakan untuk menampung limbah industri tersebut.

Di sisi lain AEER juga mendorong agar industri nikel perlu memerhatikan metode pengelolaan penggunaan energi listrik yang lebih ramah lingkungan.

Baca Juga:  Banjir Halteng, Akademisi Desak Perusahaan Tambang dan Pemda Bertanggung Jawab

“Ketersediaan teknologi energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan hidroelektrik di wilayah Sulawesi menawarkan peluang besar untuk menggantikan penggunaan batubara dengan cara alternatif yang lebih ramah lingkungan,” ujarnya.

Pulau Sulawesi memiliki sebagian besar potensi energi terbarukan di Indonesia, terdiri dari angin 11 GW, matahari 27 GW, tenaga air 5 GW dan panas bumi sebanyak 3 GW. Secara total kapasitas energi terbarukan ini adalah 45 GW.

Baca Juga:  'Sulap' Kapal Patroli Jadi Perpustakaan, Polisi RW di Halbar Dapat Penghargaan dari Kapolri

Kapasitas ini mampu menghasilkan energi listrik besar 119 TWh, atau mencapai 78% dari kebutuhan energi Sulawesi sebesar 153 TWh pada tahun 2060 berdasarkan Draf RUKN Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2023.

“Artinya terdapat selisih 22 persen dari perkiraan kebutuhan energi yang tidak dipasok oleh energi terbarukan. Tingkat produksi mineral di wilayah Sulawesi harusnya dibatasi sebesar daya dukung energi terbarukan,” cetusnya.

Baca Juga:  Bangunan Peninggalan Belanda di Halmahera Selatan Alami Kebakaran