Jere

“Kampung Ramadhan” Tomajiko (Bagian I)

Oleh: Wawan Ilyas
(Ketua Badan Kesejahteraan Masjid Nurul Aminin, Kel-Tomajiko, Pulau Hiri)

Secara umum, terdapat dua kategori budaya di dalam masyarakat. Pertama, budaya yang bisa dilihat, diraba, dan berupa atau bersifat materi (tangible), dan budaya yang tak bisa dilihat, tak bisa dirabah, tak pula berwujud atau bersifat non-materi (Intangible). Keduanya sama-sama punya basis ontologis dan prakteknya oleh masyarakat di mana kebudayaan itu diciptakan. Sebagaimana adanya budaya di Pulau Hiri, Kota Ternate, Maluku Utara.

Kegiatan “Kampung Ramadhan” di Tomajiko menegaskan identitas budaya intangible. Mulai dari tradisi ziarah jere, ceramah Nuzul Qur’an, hingga ada sayembara sastra lisan Ternate. Terdapat 10 item kegiatan Kampung Ramadhan bertemakan “Ramadhan Ma Parada (Cahaya Ramadhan).” Saya akan bahas ke dalam tiga bagian tulisan. Pada bagian ini, dibahas khusus mengenai ziarah Jere.

Jere dan karamat sering dilekatkan dengan makna berbeda. Jere sebagai makam orang-orang yang ahli perang. Sedangkan karamat adalah makam orang-orang Auliya semacam para penyiar Islam, atau orang-orang sufi (hasil diskusi pemuda Hiri, 2023). Tapi sepertinya pengertian itu masih ambigu. Sebab, secara antropologis, orang Ternate sepertinya tidak terlalu mengenal pembilahan dua istilah ini untuk mendudukan klasifikasi atau karomah ilmu orang yang telah meninggal.

Pada intinya, Jere maupun karamat sama-sama diyakini sebagai “tempat suci”, punya cerita dan taraf kesadaran akan kemampuan atau karomah yang tidak biasanya dimiliki orang-orang pada umumnya. Maka dalam tulisan ini, saya akan menggunakan dua istilah berbeda itu secara bergantian, tanpa harus menitikberatkan makna kategorikal satu sama lain.

Agenda ziarah jere dijadikan kegiatan pertama dari 10 item “Kampung Ramadhan “ 1444 Hijriah. Ziarah jere didasari dua kesadaran. Pertama, ini tradisi nenek moyang, maka perlu dilestarikan. Kedua, ada “cerita besar” bahwa warga di Tomajiko itu berketurunan marga Umasangaji dari Waitina, Mangoli Timur, Kepulauan Sula.

Nasab ini diketahui melalui tokoh Fanyira Hasan, Fanyira pertama Tomajiko yang hidup di era Sultan Muhammad Zain (sekitar 1823-1861), yang keramatnya tumbuh di belakang Fala Soa atau Rumah Adat Tomajiko saat ini. Berdasarkan catatan silsilah, sekarang sudah terlahir generasi kedelapan Fanyira Hasan di Soa Tomajiko. Sedangkan Sultan Muhammad Zain sendiri adalah keturunan langsung Boki Fartagu dari Soa Faudu, Pulau Hiri.

Cerita Doru Gam

Orang Tomajiko menjiarahi karamat untuk mengingatkan “asal-usul” dan kekerabatan satu garis turunan. Pagi itu, Senin (20 Maret 2023), anak-anak muda, baik laki-laki maupun perempuan, berpakaian sopan bersama tetuah kampung berkumpul di Fala Soa, lalu bersama-sama menuju karamat menabur bunga rampe atau daun pandan yang diiris halus. Dalam bahasa Ternate disebut Saya. Lalu dibacakan doa di atas nisan batu tanpa nama.

Setelah melafaskan doa, mereka kembali ke rumah adat dan membacakan lagi doa “kutub” dan “salamat” dengan filosofi nasi kuning dan telur di tengah-tengah kehadiran para tokoh adat, agama, dan masyarakat. Semua berlangsung penuh hikmad.

Singkat cerita, dari pelbagai sumber lisan tetuah di Hiri, Sultan Ternate Muhammad Zain mengadakan “doru gam” atau sultan menyapa bala kusu (rakyat) di Desa Waitina, Kepulauan Sula. Pada momen itu juga, Sultan berkesempatan meminang anak perempuan seorang Sangaji Waitina bernama Halima (bukan nama asli). Sangaji Waitina memiliki dua anak, perempuan semata wayang itu dan adiknya laki-laki.

Baca Juga:  Anggota DPR RI: Petani di Kepulauan Sula Butuh Bimtek

Setelah dua tahun pernikahan, doru gam kembali dilakukan. Sultan datang ke desa itu tanpa membawa istri. Begitu selesai “doru gam”, seorang anak kecil lebih dulu menyelundupkan dirinya di bawah geladak Juanga atau perahu khusus untuk sultan, tanpa diketahui seorang pun.

Pada saat sang Sultan dan bala kusu berlayar menuju Ternate, ternyata bocah laki-laki tadi keluar dari geladak ketika Juanga berada di sekitar Pulau Makian. Anak itu pun ditanya oleh seorang pasukan Sultan, siapa dan dari mana asal anak ini?

Si anak tersebut pun mengenalkan identitasnya, bahwa ia adalah anak dari Sangaji Kasiang, adik kandung istri Sultan. Dirinya mengaku rindu dan ingin bertemu kakaknya yang sudah dua tahun tak kelihatan wajah, juga suara yang lama tak terdengar. Sesampainya di Kedaton Ternate, Sultan memerintahkan Fanyira Manipe dari Faudu membawa ipar beliau itu ke Soa Faudu untuk dididik; diajarkan mengaji di Pangaji Soa Faudu, Pulau Hiri.

Hingga saat baligh, sang anak pun tahu mengaji hingga menikah. Fanyira Faudu kemudian fere suba (melaporkan ke Sultan Ternate), dan Sultan pun mengeluarkan idin kolano atau perintah untuk mengangkat putra keturunan Waitina itu menjadi Fanyira pertama Soa Tomajiko. Pada momen itu juga, Sultan menambahkan nama depan Fanyira Tomajiko ini menjadi “Muhammad Hasan”.

Penanda Budaya

Secara implisit, karamat dapat menjelaskan sejarah ekspansi geografis dan hubungan kekerabatan antara orang Waitina, orang Faudu, dan orang Tomajiko sejak dahulu kala. Pada cakupan lebih luas, karamat secara umum memungkinkan ragam cerita mengenai bagaimana kesultanan Islam “mensosialisasikan” nilai dan aqidah perjuangannya di bumi Moloku Kie Raha hingga ke wilayah terjauh. Bisa jadi, fungsi Jere dalam ini sebagai “penanda” budaya dan pengetahuan paling mendasar terkait kesadaran teologis pada tahapan tertentu perkembangan masyarakat Islam di Ternate.

Saya membaca “Jere” mengandung struktur budaya, dalam arti sosiologis. Jere punya makna kultural yang dapat memberi identifikasi struktur institusi ke dalam banyak maksud dan tujuan. Kita perlu membangun tesis bahwa apakah pada periode tertentu Kesultanan Ternate sebagai pusat konsolidasi Islam di Ternate pernah memandang Jere (secara konseptual dan strategis) sebagai kekuatan politik-kebudayaan membangun kesadaran agamais?

Kita butuh riset mendalam untuk mengungkap soal kompleksitas ini. Sebagai perkara sosio-agamais di Ternate, Jere butuh eksplorasi menjadi suatu kerja dan narasi intelektual berdasarkan data-data yang mencerminkan karakter dan kepercayaan orang-orang tempatan mengenai dunia.

Butuh memahami apa pandangan dunia (world of view) masyarakat Ternate mengenai Jere? Bisakah Jere menjadi nilai pembeda kesultanan Islam Ternate dengan kesultanan Islam lainnya di Indonesia? Penelusuran awal misalnya di Pulau Hiri, menemukan cerita Jere dapat mengungkap tipologi masyarakat Hiri yang dapat dilihat dari segi mata pencaharian pesisir.

Baca Juga:  Bukti Linguistik Keasalan Rempah-rempah

Dua desa nelayan terbesar di Hiri adalah Soa Faudu dan Soa Dorari Isa. Orang Dorari Isa dikenal sangat mahir gunakan alat tangkap “kalase”. Sedangkan orang Faudu punya ciri khas “Hau Sirofu”. Kita bisa melihat karakter antropologis dua desa itu hingga sekarang. Begitu ditanya bagaimana muasal sehingga masyarakat di dua desa ini mahir di dalam dua tipologi melaut itu, maka Jere menjadi cerita musababnya (hasil diskusi pemuda Hiri, 2023). Artinya, melalui kajian Jere, kita bisa menerangkan karakter sosio-antropologis suatu masyarakat.

Di lokasi “Kampung Ramadhan” sekarang, posisi gam mahimo-himo (tetuah kampung) yang disebut Sangaji Soa, adalah keturunan kelima Fanyira Hasan. Sedangkan Fanyira Tomajiko saat ini merupakan zuriyat keenam Fanyira Hasan. Keduanya dari garis laki-laki. Fanyira Hasan punya empat orang anak. Dari empat itulah, sekarang anak keturunannya (ngofa se ngiri) menyebar di Pulau Hiri, Jailolo, Ternate, Mangoli, dan di Sula.

Paling tidak, melalui Fanyira Hasan, Soa Tomajiko memiliki legitimasi politik untuk pertama kalinya secara institusional Kesultanan Ternate. Karena semenjak itu baru dilantik pemimpin adat (Fanyira) di level bawah di Tomajiko. Meskipun secara kultural, status Soa (kampung) sudah ada jauh sebelum masa hidup Fanyira Hasan.

Dua Kutub, Satu Dunia

Mempersamai pengetahuan atau keyakinan berbeda cukuplah sulit dan mustahil diterima akal sehat. Yang diperlukan adalah, memetakan dua kutub keberagaman itu sebagai khazanah keindahan di dalam satu dunia; Dunia Islam.

Disinilah, kita perlu masuk ke dalam nuansa pemikiran tetuah lokal yang merepresentasi kutub kewalian Allah SWT menjadi dua; kutub Anbiya dan kutub Auliya. Pada kutub Anbiya, Islam dipahami sebagaimana cerita Al-Qur’an dan sunnah para Nabi dan Rasul Allah SWT. Sedangkan pada kutub Auliya, nilai-nilai Islam diterjemahkan, direpresentasi, disimbolkan pada karakter, personifikasi, kepercayaan, dan bahasa tertentu.

Dua bentuk pengetahuan ini senada anggapan Nurkholis Madjid dalam tulisan “Neo-Sufisme”, yang menilai Islam memberi keleluasaan Ummat pada dua jenis penghayatan keagamaan sekaligus; yaitu penghayatan esoterik dan eksoterik, lahiriah dan batiniah. Keberbedaan dua kutub kewalian dalam term pengetahuan lokal-religius ini, diyakini tanpa harus menegasi satu dengan yang lain.

Dalam alam pikiran tetuah, Jere bukanlah benda mati. Jere menjadi yang “di-hidupi.” Para tetuah merangkai kosmologi pemikirannya meliputi empat unsur penciptaan sekaligus; Api (Uku), Air (Ake), Tanah (Kaha), Udara (Kore). Maka dalam tradisi ziarah jere, terdapat dua doa yang dinamakan “Doa Kutub Alam” dan “Doa Karamat”, dibaca dalam keagungan akan ciptaan-NYA.

Para himo-himo percaya, bahwa Jere adalah makam orang-orang yang mempunyai derajat ilmu dan kelebihan tertentu. Maka dari itu, Jere punya pemaknaannya tersendiri dari kubu (Kubur), dan Jere lebih bermakna sosio-religius dalam tradisi amaliah masyarakat Hiri.

Boleh dibilang, tradisi ziarah jere atau karamat hampir tidak menjadi perhatian serius anak-anak muda di Pulau Hiri saat ini. Sebagai anak Hiri, saya perlu menyadari, bahwa ada banyak nilai yang intangible (tak bisa diraba dan dilihat) sebagai basis kebudayaan paling dasar dalam tradisi religius Moloku Kie Raha. Meskipun secara ilmu pengetahuan modern, Jere dapat dijamah melalui bidang ilmu arkeologi (ilmu yang mempelajari artefak).

Baca Juga:  Abang Gha dan Tulisan-Tulisannya

Namun, tanpa harus menafikkan nilai dasar pengetahuannya, bahwa yang bersifat arkeologis juga dapat menjelaskan muatan sejarah dan praktek sosial semacam kekerabatan, kerja-sama dan kontak-kontak kebudayaan lainnya antar masyarakat satu dengan lainnya. Pendeknya, arkeologi memuatkan tatanan kehidupan sosio-antropologis, dan dalam tatanan sosial itu pula, hiduplah nilai-nilai yang intangible tadi, termasuk nilai-nilai keagamaan yang bersifat lokalitas.

Saya meyakini, nilai- nilai intangible inilah yang menjadi dasar kehidupan dan membuat orang Maluku kuat dalam percaturan sejarah internasional masa silam. Selain itu, daya tarik Jere bisa menjadi potensi “wisata religi dan budaya” yang butuh dikemas melalui program perencanaan kepariwisataan berbasis adat dan budaya di Pulau Hiri. Berusaha mendatangkan wisatawan di Pulau Hiri bukan sekadar melepas penat orang kota atau berhura-hura, tetapi menciptakan momen spiritualitas di Pulau Hiri.

Meskipun saya sadari, kerja-kerja besar memakan pikiran dan energi sosial seperti itu, tidak mungkin sekali dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah. Tapi pemerintah daerah (dimulai dari pemerintah kelurahan) tidak boleh tutup mata dengan potensi ini. Perlu gerakan massif melibatkan semua pihak bekerja-sama, sehingga Pulau Hiri betul-betul di-“konstruksi” sebagai prototipe pengelolaan pulau kecil dalam gugusan kepulauan Maluku Utara, khususnya mengenai keberlangsungan adat, agama, dan budaya.

Komitmen pengembangan budaya oleh pemerintah “Kota Ternate Andalan” harus meletakkan lokus kepulauannya. Karena menurut saya, Pulau Hiri punya segudang potensi, baik secara geografis, bahasa, maupun budaya. Biar agak lebih serius, Pulau Hiri harus jadi “laboratorium adat dan budaya pesisir”.

Pertanyaannya, dalam wujud seperti apa Pulau Hiri dijadikan destinasi baru wisata oleh Pemerintah Kota Ternate? Apa saja programnya? Target jangka panjangnya bagaimana? Pendeknya, selama ini master-plan perencanaan wisata Pulau Hiri bagaimana? Kita masih belum menemukan peta jalan perencanaan kepariwisataan dari Pemerintah Kota Ternate yang benar-benar dapat diukur secara rasional.

Berdasarkan pengalaman dan hasil diskusi bersama teman-teman pemuda dan mahasiswa Hiri, kurang lebih saya rangkum keberadaan sejumlah Jere di Pulau Hiri sebagai berikut;

1] Jere Mado dan Jere Fau-Fau di Soa Mado.
2] Jere Manuru, Jere Obo, Karamat Aba Tuang, Jere Parang, Karamat (Toloa) di Soa Dorari Isa.
3] Jere Fanyira Hasan di Soa Tomajiko.
4] Jere Togolobe di Soa Togolobe.
5] Karamat Ngusu Ma Adu, Karamat Buku Manguro, Karamat Gura Mangofa, Jere Japang di Soa Faudu.

Agenda Kampung Ramadhan berupa ziarah Jere di sisi tertentu mengingatkan anak-anak muda agar tidak lupa identitas sosio-religius yang bernuansa intangible. Sebagai tahap awal, perlu ada identifikasi terkait Jere, dan butuh penjelasan lebih lanjut mengenai makna sosio-antropologi dan agama.

Semua itu harus didukung kerja-kerja intelektual melalui riset secara serius. Semoga Kampung Ramadhan dengan tema “Ramadhan ma Parada” di Tomajiko ini memicu semangat anak-anak muda Hiri dan membawa berkah untuk kitorang semua.*

Selamat menunaikan Ibadah Puasa 1444 Hijriah.