Oleh: Budhy Nurgianto*
PERBAHASAN dalam dua minggu terakhir mengenai rencana proyek pembangunan Jalan Trans Kie Raha yang merupakan proyek ambisius Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda terlihat semakin tajam dan panas. Saya melihat perdebatan itu melahirkan dua pandangan berbeda, ada yang setuju dan membela serta menganggap proyek “cerdas’, tapi tidak sedikit pula yang menganggap proyek ini membazir. Saya mengamati dan menikmati betul perdebatan dua gagasan itu.
Kondisi itu menandakan bila dialektika terkait isu-isu publik di Maluku Utara
masih benar-benar terjaga. Lebih menggembirakan lagi adalah diskursus
mengenai Maluku Utara tidak dituntun semata-mata berbicara tentang siapa dan bagaimana memimpin daerah ini, tetapi tentang bagaimana sebaiknya
membangun Maluku Utara. Tentunya pendekatan gagasan dan pikiran kritis
menjadi dasarnya. Itulah kenapa saya sangat senang melihat benturan dua poros pikiran soal proyek jalan trans kieraha. Memang sudah sepatutnya pikiran dibalas dengan pikiran, gagasan dibalas dengan gagasan.
Secara pribadi saya mempunyai keyakinan, bahwasannya merawat intelektualitas antar warga merupakan jalan baik membangun peradaban yang lebih maju, dapat membantu memberikan solusi terhadap tantangan yang dihadapi, bahwa setiap
Provinsi, terlepas dari ukuran dan kekayaannya, dapat berkembang secara
signifikan dalam dua atau tiga tahun tidak lepas dengan pikiran warganya.
Pandangan dari warga menjadi penanda, bahwa daerah tersebut dapat maju tidak
lepas dari pikiran warganya.
Kritik terhadap proyek ambisius Gubernur Sherly secara eksplisit
memperlihatkan warga Maluku Utara sudah jeli, cerdas dan kritis. Bisa berpikir mengamati kebijakan yang diputuskan kepala daerah. Kritik yang menyoroti soal rencana proyek jalan trans kieraha di Halmahera itu, memperlihatkan warga Maluku Utara bisa mempertanyakan dua aspek penting rencana proyek itu yaitu urgensi dan manfaat. Tak sedikit masyarakat yang berpendapat bahwa pada dasarnya, proyek itu tidak dirancang untuk kepentingan publik, melainkan melayani dan mempercepat konektivitas bagi industri ekstraktif, khususnya pertambangan nikel yang saat ini beroperasi secara luas di Halmahera. Proyek Jalan Trans Kieraha Halmahera dipandang hanya sebagai akselerasi kepentingan korporasi yang sarat muatan politik dan ekonomi oligarki.
Pandang itu tentu tak salah, mengingat proyek yang akan dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Maluku Utara seyogyanya memang sudah sepatutnya harus membawa kemaslahatan banyak orang. Apalagi dampak langsung terhadap kepentingan masyarakat Maluku Utara belum sepenuhnya benar dan terbukti. Karenanya kritik tajam terhadap rencana proyek itu sebenarnya adalah bentuk bentuk kecintaan publik terhadap Gubernur Sherly.
Kita semua tahu, pembangunan yang dirancang pemerintah kerap dimaknai
sebagai suatu proses perencanaan (social plan) untuk membuat perubahan yang
mengarah pada peningkatan kesejahteraan bagi warganya. Konseptualisasi pembangunannya merupakan proses perbaikan yang bertujuan mengurangi kemiskinan dan kelaparan, meningkatkan kehidupan sehat dan sejahtera, pendidikan berkualitas, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi. Dengan kata
lain pembangunan yang dirancang harus disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat secara langsung.
Proyek jalan Trans Kie Raha di Halmahera dipandang tidak hanya minim manfaat untuk masyarakat yang mayoritas tinggal di pesisir, namun juga tidak mempunyai semangat untuk kesejahteraan. Klaim Gubernur Sherly bahwa Trans Kieraha Halmahera akan dapat menjadi “jalur logistik pangan utama” yang menghubungkan lumbung pertanian Halmahera Timur dengan kawasan industri besar seperti Indonesia Weda Industrial Park (IWIP) tak sepenuhnya dikatakan benar. Realitas di lapangan justru memberikan gambaran yang berbeda dan lebih muram. Proyek itu dipandang hanya akan menimbulkan banyak persoalan seperti misalnya implikasi terhadap dimensi sosial, lingkungan dan keragaman hayati.
Proyek jalan Trans Kieraha di Halmahera berpotensi membuat masyarakat adat O’Hongana Manyawa misalnya semakin terisolasi. Konektivitas yang dijanjikan pemerintah di lapangan akan memperlebar kesenjangan antara warga dengan ruang produktivitas.
Pembangunan infrastruktur di tengah-tengah konsesi tambang sering kali memotong akses masyarakat adat ke hutan dan sumber daya alam tradisional. Ujung-ujungnya menimbulkan rasa ketidakadilan yang lebih mendalam.
Infrastruktur jalan itu bahkan dipandang hanya akan mengancam kawasan hutan primer Halmahera yang telah menjadi bantalan ekosistem keragaman hayati.
Konstruksi jalan baru di area yang masih berhutan memerlukan penebangan pohon dan pembersihan lahan. Meski proyek jalan ini diklaim tidak menyentuh hutan lindung, namun jalur yang dilewati kemungkinan besar adalah hutan primer atau sekunder yang memiliki fungsi ekologis penting. Perubahan fungsi lahan yang dulunya sebagai kawasan hutan penyangga atau habitat satwa akan dikonversi menjadi infrastruktur keras seperti jalan beraspal.
Gubernur Sherly mungkin boleh saja mengklaim bahwa proyek itu telah memiliki dokumen Studi Kelayakan (FS) dan dokumen analisis dampak lingkungan (AMDAL), namun yang perlu Gubernur Sherly tahu bahwa sejarah pembangunan di wilayah kaya sumber daya alam seringkali menunjukkan bahwa dokumen-dokumen formal seperti itu dapat dengan mudah diabaikan atau disalahgunakan di tengah tekanan kepentingan modal besar. Gubernur Sherly harus belajar bagaimana sejarah pembangunan infrastruktur di Halmahera sejak era 1990-an yang selalu diarahkan untuk kepentingan investasi besar-mulai dari
kayu (logging) hingga tambang.
Membangun jalan baru seperti trans kieraha di Halmahera bukan sekedar
membangun infrastruktur semata. Gubernur Sherly perlu tahu bahwa jalan
menjadi bagian penting dari mitigasi sosial lingkungan. Mitigasi kerusakan
lingkungan menjadi menjadi faktor penting mengingat Halmahera memiliki hutan yang luas dan memiliki fungsi sebagai mitigasi bencana.
Awalnya banyak orang yang berharap, proyek ambisius Gubernur Sherly di tahun pertama menjabat adalah peningkatan kualitas, perbaikan dan memperluas ruas jalan status provinsi di seluruh wilayah Maluku Utara, yang kita tahu hingga 2024 ini masih ada 715 kilometer atau 53,9 persen jalan status provinsi dengan kondisi rusak parah. Itu artinya masih ada hampir setengah jalan status provinsi dari total ruas 1.276,8 km yang memerlukan perhatian serius. Itulah mengapa, publik menantikan gerakan Gubernur Sherly untuk bisa membangun jalan yang bisa memfasilitasi kemandirian ekonomi dan mobilitas sehari-hari masyarakat -petani,
nelayan, dan pedagang lokal. Terutama jalan provinsi yang menjadi urat nadi
utama konektivitas antar-kabupaten.
Dengan demikian, memperbaiki jalan status Provinsi di Halmahera yang rusak
menjadi “Jalan Rakyat”, adalah simbol konektivitas yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan bagi Maluku Utara yang sesungguhnya. Masih ada kebutuhan infrastruktur rakyat yang lebih mendesak untuk didanai daripada rencana proyek jalan raksasa yang rute utamanya dicurigai hanya memfasilitasi logistik tambang. Jalan Trans Kieraha di Halmahera adalah proyek ujian moralitas bagi pembangunan di Maluku Utara dan bukan pula prioritas mendesak bagi masyarakat. Konektivitas adalah keniscayaan untuk pemerataan dan peningkatan kualitas hidup.
—–
*Penulis adalah seorang jurnalis dan bekerja sebagai pengajar lepas
