Polda Maluku Utara merespons aksi unjuk rasa menolak aktivitas pertambangan nikel PT Sambiki Tambang Sentosa (STS) di Kabupaten Halmahera Timur.
Tanggapan ini disampaikan Kapolda setelah beredar video sejumlah warga melempari mobil milik anggota Polres Halmahera Timur yang sedang terparkir. Lemparan batu tersebut mengakibatkan kaca depan dan seluruh kaca pintu mobil pecah.

Kapolda Maluku Utara, Irjen Pol Waris Agono, menjelaskan keberadaan PT STS perlu dilihat dari sudut pandang regulasi kehutanan.
Menurutnya, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan semula hanya mengenal dua kategori status hutan, yaitu Hutan Hak dan Hutan Negara. Namun, setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012, status hutan kini terbagi menjadi tiga: Hutan Hak, Hutan Negara, dan Hutan Adat.
“Negara telah mengakui keberadaan Hutan Adat, sepanjang wilayah tersebut juga mengakui keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA),” ujar Waris, Selasa, 29 April 2025.
Ia menyambut pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat dapat dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi maupun Kabupaten/Kota, serta melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur atau Bupati/Wali Kota.
“Ketentuan ini diatur dalam Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat,” tandas Waris.
Kapolda tak menjelaskan titik perkara, bagaimana status hutan yang kini dipertahan warga di Haltim dari perusahaan tambang.
Ia sekadar menjelaskan MHA dapat mengajukan permohonan untuk mendaftarkan wilayahnya sebagai Hutan Adat sesuai dengan ketentuan dalam Permen LHK Nomor 21 Tahun 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak.