Bupati Ikram dan Narasi Akal Sehat

Bupati Halmahera Tengah, Ikram M. Sangaji

Oleh: Budhy Nurgianto*

 

SATU pernyataan menarik dari Bupati Halmahera Tengah, Ikram M Sangadji pada saat rapat koordinasi dan evaluasi Kepala Daerah se-Maluku Utara pada Rabu 17 Desember 2025 adalah pernyataan menolak menjadikan upah pungut dari orang sakit sebagai sumber pendapatan daerah. Bupati dan Wakil Bupati yang menerima upah pungut dari RSUD “sama saja dianggap makan darah dan nanah masyarakatnya”.

Pernyataan ini mungkin terdengar keras, namun sesungguhnya itu merupakan ungkapan bentuk kegelisahan moral yang mendalam dan bisa dikatakan sebagai bentuk kepedulian kepala daerah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan untuk warganya. Menolak upah pungut di rumah sakit berarti sama dengan memihak pada keadilan.

Pada titik ini Bupati Ikram terlihat benar-benar bisa membaca dan merasakan kebatinan masyarakat kecil, bahwasanya di ruang pelayanan kesehatan, dimana orang datang membawa sakit, luka, dan harapan hidup, dan setiap rupiah yang dipungut dari penderitaan rakyat memiliki makna etis yang sangat berat. Rumah sakit daerah yang telah menjadi simbol kehadiran negara dalam melindungi warganya, memang tidak sepatutnya menjadi badan usaha yang mengejar laba.

Institusi ini hadir sebagai ruang pengabdian pada publik yang memastikan setiap warga mendapatkan haknya dalam pelayanan kesehatan, tanpa memandang kemampuan ekonomi. Ketika Bupati Ikram menolak menjadikan layanan kesehatan sebagai ladang pendapatan daerah, ia sesungguhnya sedang menegaskan kembali jati diri negara, melindungi warganya, bukan memungut dari penderitaan. Menolak praktik upah pungut di rumah sakit sama halnya menjaga harapan sehat masyarakat.
Kita semua tahu, Rumah Sakit dan Puskesmas adalah wajah Pemerintah di mata rakyat kecil. Ketika wajah itu muram dan mengecewakan, kepercayaan publik runtuh. Dampaknya bukan hanya pada citra pemerintahan, tetapi juga pada keselamatan warga. Keterlambatan layanan dan kualitas yang buruk bisa berujung pada hilangnya nyawa—sesuatu yang tidak boleh dianggap wajar.

Baca Juga:  Menyoal Peran Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

Secara pribadi saya sependapat dengan Bupati Ikram, bahwa rumah sakit seyogyanya memang harus menjadi sektor pengabdian dan tidak dijadikan sebagai sektor yang harus menyumbang pendapatan untuk daerah. Mengambil keuntungan, langsung maupun tidak langsung, dari orang sakit adalah bentuk ketidakpekaan sosial yang sulit dibenarkan secara moral. Orang datang ke rumah sakit bukan untuk bertransaksi, melainkan untuk bertahan hidup. Mereka datang dengan rasa sakit, ketakutan, dan ketidakpastian.

Menjadikan kondisi tersebut sebagai sumber pendapatan daerah—baik melalui pungutan, upah pungut, maupun target pendapatan—adalah bentuk komersialisasi penderitaan yang tidak pantas dilegalkan oleh negara. Membiarkan atau menerima upah pungut berarti membiarkan rakyat menanggung beban tambahan di saat paling rentan. Ini adalah kegagalan empati dan tanggung jawab moral.

Bupati Ikram memang harus berani mengambil tanggung jawab dalam menjamin pelayanan kesehatan untuk warganya. Keberanian mengambil tanggung jawab adalah langkah awal yang baik bagaimana mewujudkan pelayanan kesehatan berkualitas untuk warga. Menjamin pelayanan kesehatan berkualitas berarti berani membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat. Mengalokasikan anggaran lebih besar untuk kesehatan, memperbaiki manajemen RSUD, serta memastikan tidak ada pungutan yang membebani pasien adalah bentuk nyata tanggung jawab tersebut. Pelayanan kesehatan tidak boleh tunduk pada logika untung-rugi.

Apalagi secara prinsip, kesehatan telah menjadi hak dasar setiap warga negara. Itulah mengapa Pemerintah harus hadir menjamin pelayanan kesehatan yang baik dan berkualitas untuk warganya. Menghentikan praktik upah pungut—terutama yang mengalir ke pucuk kekuasaan—adalah cara paling sederhana untuk menunjukkan bahwa darah dan nanah rakyat bukan komoditas.

Di wilayah seperti Halmahera Tengah, akses terhadap layanan kesehatan yang murah dan berkualitas telah mimpi semua masyarakat dan tentu hingga saat ini masih menjadi tantangan nyata. Tiga kali periode kepemimpinan masalah ini belum juga bisa diselesaikan.

Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Bahasa Ibu di Kampung Sendiri

Masyarakat sesungguhnya tidak menuntut pemimpin yang sempurna, tetapi pemimpin yang memiliki empati. Mereka hanya hanya ingin dilayani dengan layak saat sakit. Dan pada titik itulah, tanggung jawab seorang bupati benar-benar dibutuhkan, berani bertanggung jawab demi kesehatan rakyatnya. Bupati Ikram harus bisa terus menjaga narasi akal sehat seperti itu demi masyarakatnya. (***)

—–

*Penulis merupakan Jurnalis dan Pengajar Lepas