Ketika Sepakbola Tak Memberi Pilihan

Ilustrasi bola. (Pinterest)
*Oleh Raymond Latumahina

Kemenangan, dalam sepakbola, adalah pesta yang harus dirayakan dan boleh dihabiskan hanya semalam; minum bir puluhan kaleng, merayu wanita rambut merah, atau melempar pizza ke wajah pria Skandinavia yang sedang meratap usai putus cinta.
Jutaan rakyat Argentina, barangkali tak peduli bahwa negaranya sedang dihantam krisis ekonomi saat Lionel Messi dengan gagahnya memakai bisht layaknya ksatria Bedounis berdiri di podium juara Piala Dunia Qatar 2022.
Bagi mereka, tak ada yang lebih indah selain turun ke jalan sambil bertelanjang dada dan menyanyikan Himno Nacional Argentino selantang-lantangnya. Daripada menyusun rencana menculik Alberto Fernandez ke Rengasdengklok karena inflasi negara yang mencapai 88%.
Baca Juga:  Birahi Kuasa Farrel Adithama
Piala Dunia 2022 di Qatar memang menjadi milik Argentina, meski pada pertandingan pertama Grup C, mereka takluk di tangan Arab Saudi dengan skor 1-2. Toh, pada akhirnya, Tim Tango tetap menjadi jawara grup, sedangkan as-Suqur al-Khodur atau Si Elang Hijau terjerembab di dasar klasemen.
Atau ketika Kylian Mbappe lewat trigolnya ke gawang Martinez, lalu sepakan Kolo Muani tidak sengaja mengenai kaki kiper Aston Villa yang membuat partai puncak itu harus ditentukan lewat tos-tosan. Trofi tersebut tetaplah menjadi milik Argentina.
Dan, Messi, untuk kesekian kalinya, berdiri di panggung pemenang, sekaligus menamatkan karir sepakbolanya, atau setidaknya menyudahi perdebatan tentang siapa yang terbaik, Messi atau Ronaldo.
Baca Juga:  Merayakan Buku, Merayakan Imajinasi
Begitulah sepakbola, selalu memberi pilihan, bagi yang menang atau mereka yang kalah terkapar. Bagi mereka yang pasrah atau memberontak. Bagi mereka yang berduka atau bersuka.
Tapi, bagaimana jika sepakbola tak lagi memberi pilihan? Tak ada pesta kemenangan, puluhan kaleng bir, wanita rambut merah, atau pria Skandinavia yang tidak jadi putus cinta.
Kisah Italia pada Piala Dunia 1934 di Prancis menjadi satu di antara cerita-cerita sepakbola yang tak lagi memberi pilihan, kecuali hidup atau mati. Ketika seluruh penggawa Gli Azzuri saat itu bermain di bawah ancaman salah satu manusia paling kejam, Benito Mussolini.
Baca Juga:  Rasisme, Pers, dan Pesan-pesan Politik
Giuseppe Meazza dan kawan-kawan berangkat ke Prancis dengan status juara bertahan usai merengkuh trofi Julius Rimet di rumahnya sendiri empat tahun sebelumnya. Meski begitu, yang mendarat di Paris waktu itu bukanlah Italia sebenarnya.
Mereka bukan Italia dengan jersey biru langit kombinasi putih yang telah menjadi identitas sebagai negara di mana pizza itu dilahirkan. Mereka tampil dengan gaya baru, jersey hitam-hitam yang merepresentasikan Mussolini dengan ideologi fasisnya.
Sebagai juara bertahan, tentu saja, Mussolini ingin piala itu bisa pulang kembali ke negaranya. Maka dari itu, segala cara dihalalkan demi memuaskan nafsu Il Duce, termasuk mengirim telegram ke penggawa asuhan Vittorio Pozzo.
Baca Juga:  Abdul Basir, Sultan Djabir dan MacArthur
“Vincere o morire!” begitulah isi pesan telegram yang dikirim Mussolini, yang berarti skuad Italia harus menang atau mereka semua akan mati. Mussolini mengancam akan menembak seluruh pemain Italia jika kalah di laga final.
Italia lolos ke final setelah mengalahkan Brasil di semifinal dengan skor 2-1. Hungaria menjadi lawan Italia di partai pamungkas usai menang telak 5-1 saat bersua Swedia di laga empat besar yang lain.
Tak hanya bagi penggawa Italia, final itu juga akan selalu dikenang oleh pemain-pemain Magyar Magyar (julukan Hungaria). Termasuk Antal Szabo yang membiarkan empat gol bersarang ke gawangnya demi menyelamatkan puluhan nyawa manusia.
Baca Juga:  Konflik PSN dan Janji Kepala Daerah 
Jauh di seberang dataran Eropa yang lain, di Ukrania lebih tepatnya, pemain FC Start mungkin tak akan mengira bahwa sisa hidup mereka akan habis di kamp konsentrasi, mendengar pekik-pekik makian tentara Jerman.
FC Start, klub yang lahir di Kiev, dan dihuni oleh pemain-pemain kelas satu jebolan Dynamo Kiev, Lokomotiv Kiev, Spartak Odessa, serta klub-klub lokal lain. Mereka lebih dari sekadar klub sepakbola, tapi simbol perjuangan dan perlawanan bangsa Ukrania terhadap rezim Adolf Hitler dan Nazi.
Ketika itu, Hitler beserta pasukan Nazi yang telah menginvasi Ukrania pada 1941 menggelar pertandingan sepakbola sebagai hiburan bagi masyarakat Ukrania. Laga itu mempertemukan antara FC Start kontra Flakelf yang selanjutnya akan tercatat sejarah sebagai “The Death Match.”
Baca Juga:  Baju Dinas ASN dalam Lintasan Sejarah
FC Start yang didominasi oleh pemain-pemain bintang menyudahi perlawanan Flakelf dengan skor yang membuat Hitler tidur tidak tenang, 5-1. Nikolai Trusevich dan kawan-kawan pun menari-menari manja di atas ranjang sang diktator.
Kekalahan itu membuat langit sore di Berlin yang awalnya biru teduh seketika menjadi merah temaram. Hitler dan pasukan Nazi geram. Mereka kemudian merencanakan pertandingan ulang demi membalas hasil yang mendompleng nama Jerman.
Nazi ternyata telah menyusun skenario pertandingan kedua antara FC Start dan Flakelf tersebut. Pemain-pemain baru pun didatangkan agar tak menelan pil pahit yang sama seperti laga pertama.
Namun, FC Start masih terlalu tangguh bagi Flakelf meski dengan pemain-pemain barunya dengan mengakhiri paruh pertama dengan keunggulan 3-1. Tetapi, dari sini lah, cerita pilihan sepak bola tak memberi pilihan itu muncul.
Salah satu pejabat militer Nazi diyakini masuk ke ruang ganti pemain FC Start untuk melakukan intimidasi terhadap lawan. “Hanya tim Jerman yang boleh menang!” begitulah kata pejabat militer Nazi itu kepada pemain-pemain FC Start.
Baca Juga:  Malut United dan Bangkitnya Sepakbola di Timur Indonesia
Ancaman itu ternyata sedikit membuat nyali dan mental pemain FC Start ciut. Flakelf berhasil menyamakan skor menjadi 3-3 saat memasuki 45 menit babak kedua. Tetapi, seperti takdir FC Start dilahirkan, mereka adalah pejuang, pemberontak yang tidak akan pernah sekali pun menundukan kepala di bawah kaki penguasa.
Menjelang babak kedua berakhir, FC Start mencetak dua gol lagi ke gawang Flakelf sekaligus mengakhiri laga, lagi-lagi, dengan kemenangan. Untuk kedua kali, pemain-pemain FC Start menari-menari di atas ranjang Hitler yang kembali tidur dengan tidak tenang.
Baca Juga:  Kutukan Sumberdaya Alam dan Kemiskinan di Daerah
Rupanya kemenangan itu menjadi awal dari garis hidup yang tak berpihak bagi pemain-pemain FC Start. Nazi menculik para pemain yang merupakan karyawan pabrik roti. Mereka disiksa, dikirim ke penjara dan kamp kosentrasi, disuruh melakukan kerja paksa, hingga dieksekusi.
Setelah ditelisik, ternyata bukan karena hasil pertandingan sepakbola yang membuat hidup merema hanya sepelemparan batu dengan kematian. Melainkan, karena sebagian dari mereka merupakan informan bagi Uni Soviet yang saat itu musuh bebuyutan Jerman.