News  

Kisah Pilu Warga Maba Sangaji Melawan Tambang: Alamnya Dirusak, Tanah Leluhur Diganjar Murah

Warga membentangkan spanduk protes di kawasan konsesi PT Position sebagai bentuk perlawanan. Foto: Istimewa

Upaya mempertahankan tanah leluhur, bagi warga yang hidup berdampingan dengan industri pertambangan, kini makin sulit dilakukan. Perjuangan mereka kerap berujung pilu karena harus menghadapi aparat penegak hukum dan rakusnya oligarki.

Kisah perlawanan berakhir di balik jeruji penjara, itulah yang sejatinya dirasakan. Cerita semacam inilah yang dirasakan warga Maba Sangaji di Halmahera Timur, Maluku Utara, saat mempertahankan tanah warisan leluhurnya dari penyerobotan lahan oleh PT Position–perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah setempat.

Ahmad, warga Maba Sangaji, menuturkan bahwa selain kerusakan alam, kehadiran tambang justru memberi ganjaran tanah leluhur mereka dipatok dengan harga murah. Tanah yang mereka jaga turun-temurun itu hanya dihargai Rp 2.500 permeter. Bagi Ahmad, itu adalah bentuk penghinaan yang nyata oleh perusahaan.

“Saya kira ini bukan cuma soal uang. Bahkan tanah kuburan tidak bisa dibayar Rp2.500 per meter. Ini soal harga diri dan masa depan anak cucu kami,” kata dia saat disambangi jurnalis di rumahnya, Minggu, 20 Juli 2025.

Kebanyakan warga Maba Sangaji menganggap tanah mereja sebagai identitas, sejarah, dan kehormatan yang diwariskan para leluhur. Ia tak hanya menjadi aset ekonomi yang dijualbelikan.

“Jadi kalau tanah itu dijual murah, leluhur kami seperti dilecehkan”.

Tambang Datang, Alam Rusak

Operasi tambang PT Position dinilai menjadi musabab kerusakan lingkungan di Halmahera Timur, terutama di Desa Maba Sangaji yang berdekatan dengan konsesinya. Perusahaan ini mulai leluasa beroperasi sejak mendapat SK Bupati Halmahera Timur dengan nomor 188.45/540-05/2010. Saat itu, IUP PT Position ditetapkan seluas 4.047 hektare dengan delapan titik koordinat resmi.

Semenjak tambang hadir, ancaman kerusakan paling nyata menurut Ahmad adalah tercemarnya Kali Sangaji, yakni sumber penyangga kebutuhan mereka.

“Sekarang Kali Sangaji keruh dan berbau. Tanaman seperti pala dan kelapa di sekitar sungai mulai mengering, ikan-ikan mati, dan air sudah tak bisa dikonsumsi,” sesal Ahmad, sambil mengerutkan jidatnya.

Baca Juga:  Cegah HIV/AIDS, 12 Pekerja di Tempat Hiburan Malam di Mangoli Utara, Periksa Kesehatan

Ia bilang, sungai itu dulu menjadi penopang hidup warga untuk mengolah sagu, mandi, memasak, hingga menjadi sumber air minum di kebun. Kini tak lagi dapat dimanfaatkan akibat perubahan warna air sejak aktivitas tambang.

“Kami takut ini berpengaruh pada kesehatan sehingga kami tak lagi berani untuk menggunakan air dari kali sangaji,” ujar Ahmad.

Ironisnya, kata dia, alih-alih mendapat perlindungan, warga justru dijerat hukum saat melakukan protes ke perusahaan. Aksi damai mereka dikriminalisasi, dan 11 dari mereka kini mendekam di tahanan.

Dituduh Preman Hingga Dipenjara

Pada Mei 2025 lalu, Polda Maluku Utara menangkap 27 warga Desa Maba Sangaji buntut aksi protes mereka terhadap PT Position, yang diduga menyerobot lahan warga. Dari jumlah tersebut, 11 orang ditetapkan sebagai tersangka.

Baca Juga:  Kapolda Maluku Utara Mutasi Ratusan Anggota, 14 Kapolsek Berganti

Polisi menyebut aksi warga sebagai bentuk premanisme yang dinilai mengganggu iklim investasi di wilayah tersebut. Pernyataan ini menjadi dasar penahanan terhadap para warga yang sejatinya sedang memperjuangkan hak atas tanah warisan leluhur mereka.

“Sekarang kami mau melawan, tapi ada rasa takut, jadi memilih diam,” ujarnya.

Penulis: Tim CermatEditor: Rian Hidayat Husni