Akademisi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Masri Anwar, meminta pemerintah daerah dan perusahaan tambang di Halmahera Tengah bertanggung jawab atas dampak banjir yang dirasakan warga.
Menurut Masri, kebijakan pemerintah yang melanggengkan izin pertambangan untuk mengeksploitasi hutan sejatinya menjadi pangkal bencana alam banjir kerap terjadi.
“Rata-rata kawasan operasi pertambangan di Halmahera Tengah berada di area pegunungan. Begitu bukaan hutan masif, ketika hujan tiba, bencana banjir sangat lazim terjadi. Akibatnya, masyarakat yang berada di pesisir atau di kawasan sekitar daerah aliran sungai (DAS) sangat rentan terdampak,” kata Masri kepada cermat, Senin, 22 Juli 2024.
Banjir bandang menerjang kawasan lingkar industri Halmahera Tengah pada Sabtu 19-21 Juli 2024 lalu. Banjir setinggi dua meter lebih menggenangi Kecamatan Weda Tengah setelah hampir sepekan hujan mengguyur wilayah tersebut.
Masri menilai pemerintah daerah perlu memberi sanksi kepada perusahaan tambang nikel yang menyalahi undang-undang lingkungan hidup hingga berujung membuat kejahatan lingkungan.
“Dalam undang-undang lingkungan hidup kita (UU nomor 32 tahun 2009) mengatur secara jelas bagaimana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan kewajiban yang harus dilakukan perusahaan, supaya mencegah terjadinya kerusakan lingkungan,” ujar Masri.
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye LSM Forum Studi Halmahera (FOSHAL) Julfikar Sangaji mengatakan, operasi perusahaan nikel seperti PT Tekindo Energi dan PT Weda Bay Nickel (WBN) yang memiliki konsesi di Weda Tengah justru menimbulkan ancaman serius terhadap kerusakan lingkungan.
“Kedua perusahaan ini terus menggusur hutan, membongkar bukit-bukit serta mengeruk tanah lalu diangkut ke kawasan Industri Weda Bay Industrial Nickel (IWIP) untuk diola. Aktivitas itu sepenuhnya menghancurkan sistem alami pengaturan air,” kata Julfikar.
Dengan begitu, kata dia, debit air saat hujan mudah mengalir ke dataran rendah bersamaan dengan material lumpur tanah yang dibawa menuju badan sungai. Hal ini mengakibatkan sungai mengalami pendangkalan karena erosi.
“Pendangkalan badan sungai karena penurunan daya tampung serta intensitas alir air inilah yang kemudian membuat sungai bisa meluap dan menerjang permukiman warga sekitar,” ujarnya.
Julfikar turut membantah soal anggapan bahwa bencana banjir Halmahera Tengah merupakan peristiwa alam. “Ini murni kejahatan lingkungan korporasi dan pemerintah,” tegasnya.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Halmahera Tengah sebelumnya mengaku banjir ini dipicu oleh buruknya sistem drainase yang tak lagi berfungsi. Curah hujan tinggi dan meluapnya sungai di beberapa desa juga menjadi pemicunya.